Menuju konten utama

Nasib MP3: Divonis Mati, Hidup Kembali Untuk Menjadi Legenda

Sekali berarti sudah itu mati. Pepatah ini tak berlaku buat mp3.

Nasib MP3: Divonis Mati, Hidup Kembali Untuk Menjadi Legenda
Ilustrasi Podcast. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - “Kematian mp3 diumumkan dalam suatu konferensi yang diselenggarakan di Erlangen, Jerman, musim semi tahun 1995 silam,” tulis Stephen Witt dalam bukunya How Music Got Free: A Story of Obsession and Invention (2015). Kala itu, Moving Picture Expert Group (MPEG) memilih mp2, format musik yang dibuat MUSICAM dengan dukungan Philips--konglomerasi asal Belanda--dan menjadikannya default pada kepingan CD (yang produksinya dikuasai Philips). Mp3 praktis tergusur hanya empat tahun setelah diperkenalkan.

Sebagai format audio ciptaan lembaga penelitian milik pemerintah Jerman bernama Fraunhofer Institute for Integral Circuits, kegagalan mp3 mengalahkan mp2 membuat sebagian warga Jerman marah--khususnya yang tahu perkara mp3 dan mp2. Uang pajak mereka, yang sebagian disetor untuk membiayai penciptaan mp3, berakhir dengan kesia-siaan. Di antara banyak warga Jerman yang kecewa, Karlheinz Brandenburg menanggung derita paling perih. Sebagai “bapak mp3”, Brandenburg bukan hanya gagal mengembalikan uang pajak rakyat, tetapi juga gagal meyakinkan dunia bahwa mp3 jauh lebih baik dibandingkan mp2.

Namun, seperti pepatah kalangan boomer, “kegagalan merupakan awal kesuksesan,” Brandenburg seharusnya tak kecewa-kecewa amat atas keunggulan mp2, yang menurutnya sukses karena “politik di tubuh MPEG” itu. Di kemudian hari, mp3 justru menjadi legenda dan menenggelamkan nama mp2.

Ironisnya, perubahan status mp3 dari “pecundang” menjadi “legenda” dibantu oleh para pembajak, yakni Justin Frankel, Shawn Fanning, dan Bram Cohen, yang masing-masing merupakan aktor di balik Winamp, Napster, dan BitTorrent.

Mp3: Superioritas Jerman yang Sukses Karena Lagu-Lagu Bajakan

Dalam dunia akademik Jerman--khususnya di bidang pendengaran, audio, dan musik--tak ada sosok yang lebih melegenda dibandingkan Eberhard Zwicker. Zwicker, tulis Stephen Witt dalam How Music Got Free: A Story of Obsession and Invention adalah bapak “psychoacoustic”, ilmu yang mempelajari bagaimana manusia merasakan suara. Sosok penyandang gelar profesor penuh sejak 1967 untuk kerjanya di Technical University of Munich ini adalah orang pertama yang memahami bahwa telinga manusia memiliki cara kerja yang berbeda dengan microphone. Telinga manusia, menurut Zwicker merupakan organ adaptif dengan setelan khusus yang mampu menyeleksi apa yang harus didengarkan dan menafsirkan bahasa. Telinga juga bisa memberikan sistem peringatan dini terhadap suara-suara yang mengancam.

Dalam tataran audio, telinga manusia mendengarkan dua nada yang berbeda tatkala dipisahkan hanya melalui setengah nada. Tapi menurut temuan Zwicker, ketika dua nada itu sedikit dirapatkan dalam tala (pitch)--dalam perbedaan milidetik, telinga hanya akan mendengarkan satu nada. Selama bertahun-tahun meneliti, Zwicker menemukan banyak fakta menarik terkait bagaimana telinga manusia mendengar, termasuk nada-nada yang sesungguhnya tidak ada tetapi didengar telinga manusia. Temuan-temuan ini lantas ia kategorikan sebagai “psychoacoustic masking”.

Salah satu mahasiswa bimbingan Zwicker adalah Dieter Seitzer. Seperti Zwicker, Seitzer adalah penggila audio. Kembali merujuk karya jurnalistik Witt, karena tahu bahwa telinga manusia memiliki keunikan dan keterbatasan sebagaimana yang dijelaskan Zwicker, Seitzer kemudian bertekad menciptakan semacam algoritma audio sesuai temuan akademik sang guru.

Pikirnya, andai saja ada algoritma audio, maka besar data audio yang dihasilkan tatkala merekam lagu dapat dapat diperkecil. Tatkala compact disk (CD) lahir pada 1982, Seitzer berpendapat bahwa file-file audio yang ada di CD terlalu besar. Ia membayangkan algoritma yang baru ia gagas dapat mereduksi besaran file di CD menjadi satu per dua belasnya saja. Untuk menyimpan 1 detik audio, perlu 1,4 juta bit yang ditulis dalam CD. Dalam bayangan Seitzer, 1 detik audio seharusnya hanya memerlukan 128.000 bit.

Dengan data audio yang mengecil, pikir Seitzer, CD dapat memuat lebih banyak lagu. Atau, ia dapat mentransmisikan lagu ke banyak orang melalui internet dari sebuah server. Sayangnya, cita-cita Seitzer menciptakan algoritma luhur di bidang audio tersebut gagal direalisasikan. Pada 1982, dengan modal imajinasi belaka, Seitzer mendaftarkan paten “music streaming”. Sial, cikal bakal Spotify itu ditolak Kantor Paten Jerman. Bukan karena ide Seitzer mengada-ngada (dan belum menciptakan algoritmanya), melainkan karena saat itu dunia komputer dan internet belum sanggup memfasilitasi keinginan Seitzer.

Bertahun-tahun kemudian, Seitzer akhirnya memiliki titel yang sama dengan pembimbingnya. Sebagai akademisi, ia akhirnya memiliki mahasiswa bimbingannya sendiri. Mahasiswa itu bernama Karlheinz Brandenburg, yang disebutnya “jenius”. Berkat kejeniusannya itu, Seitzer meminta Brandenburg bergabung dengan lembaga penelitian Fraunhofer Institute for Integral Circuits.

Di tangan Brandenburg, mimpi Seitzer menciptakan algoritma yang dapat memperkecil file audio tanpa mengorbankan kualitas perlahan menjadi kenyataan. Untuk mewujudkannya, Brandenburg memecah file audio, dan beberapa pecahan audio itu ia masukkan dalam kurungan digital khusus bernama “filter bank”. Brandenburg mengotak-atik filter bank, mengulik bit-demi-bit pecahan audio, dan mengamati apakah kualitasnya berkurang ketika diperkecil. Brandenburg memperoleh kemajuan untuk memperkecil ukuran file audio selepas mempelajari “Huffman coding”.

Pada dekade 1950-an, peneliti Massachusetts Institute of Technology (MIT) bernama David Huffman menyatakan bahwa untuk menghemat bit dalam suatu file digital, hal paling utama yang harus dilakukan adalah memahami pola. Pada hampir setiap file digital, terkandung unsur pengulangan. Foto mengandung piksel yang sama, yang membentuk pola. Begitu pula video dan audio. Maka, untuk memperkecil ukuran, Brandenburg membongkar file audio lebih jauh. Ketika ada unsur bit yang serupa, ia hanya perlu menulis beberapa baris kode dan mengatakan bit yang terkandung di titik A sama dengan titik B. Dengan cara ini, pengulangan pola bit dihindari dan ukuran audio pun mengecil. Karena tidak terlalu ahli dalam hal pemrograman komputer, Brandenburg mendelegasikan kerja ini pada Bernhard Grill, ilmuwan Jerman lainnya.

Selain dibantu Grill, kerja Brandenburg untuk merealisasikan mimpi Seitzer juga dibantu oleh empat peneliti lain: Heinz Gerhauser, Harald Popp, Ernst Eberlein, dan Jurgen Herre. Meskipun acap kali menghadapi kendala dan bahkan beberapa kali Brandenburg menganggap audio yang dihasilkan algoritmanya berbunyi “mabuk”, usaha Brandenburg, dkk, untuk mengecilkan ukuran file audio tanpa mengorbankan kualitas perlahan-lahan berhasil dicapai. Mereka sukses menciptakan format coding audio yang mempertahankan kualitas audio, mirip seperti saat direkam, tetapi dengan ukuran yang kecil.

Pada 1986, Brandenburg memperoleh paten untuk kerjanya ini. Senjak 1987, Brandenburg berusaha menjual hasil kerja intelektualnya. Pikirnya, coding audio ciptaannya bakal digemari banyak pihak, khususnya stasiun radio hingga label-label musik yang menjual lagu-lagu mereka melalui CD. Sayangnya, meskipun coding audio ala Brandenburg memiliki kualitas mumpuni, hanya sedikit pihak di dunia komersial yang berminat. Tercatat hanya lagu-lagu lawas yang mau menggunakan koding audio itu, misalnya lagu 1912 Overture dan lagu-lagu Gloria Estefan. Lalu, sebuah radio misionaris Kristen di Micronesia tercatat sebagai stasiun radio pertama yang memanfaatkan coding audio Brandenburg.

Karena MPEG menjadi konsorsium video/audio yang mendikte coding mana yang dipakai industri, sekitar awal dekade 1990-an Brandenburg pergi ke konsorsium itu. Untunglah, karena MPEG tahu butuh coding audio baru, mereka mengadakan semacam perlombaan coding audio, yang diikuti Brandenburg dan MUSICAM. Dalam perlombaan itu, setiap peserta harus sukses memperkecil file beberapa lagu pilihan, misalnya lagu solo dari Ornette Coleman dan lagu “Fast Car” dari Tracy Chapman.

Brandenburg sesungguhnya unggul dalam perlombaan itu. Masalahnya, seperti disinggung di awal, karena besarnya kekuatan Philips, MUSICAM dipilih oleh MPEG sebagai juara pertama dan menjadi default untuk digunakan industri audio/video. Brandenburg dipilih sebagai juara kedua. Pada April 1991, MPEG memperkenalkan coding audio MUSICAM sebagai “Moving Picture Experts Group Audio Layer II” alias mp2 dan “Moving Picture Experts Group Audio Layer III” alias mp3 untuk coding audio milik Brandenburg. Karena hanya ditempatkan sebagai runner-up, perlahan tapi pasti tidak ada perusahaan yang menggunakan mp3 sebagai coding audio produk-produk audio mereka.

Lalu tibalah musim semi 1995. Mp3 akhirnya divonis mati. Uniknya, sebelum benar-benar menyerah, Brandenburg memerintahkan Grill untuk menciptakan pemutar musik berbasis mp3 untuk komputer bersistem operasi Windows 95. Grill lantas menyelesaikan pekerjaan itu dan menamainya WinPlay3. Tak lama kemudian, Brandenburg, dkk pun menciptakan codec mp3 bernama L3Enc, untuk DOS, Windows, dan Linux untuk menutup perjuangan mereka membesarkan mp3.

Tak disangka, langkah akhir yang dianggap sebagai “salam perpisahan” ini diartikan berbeda oleh beberapa geek komputer. Dua tahun setelah vonis mati, Frankel, mahasiswa baru University of Utah, menciptakan Winamp. Empat tahun mp3 mati suri, tepatnya pada Juni 1999, pemuda yang baru saja drop-out dari Northeastern University bernama Shawn Fanning meluncurkan Napster--situs web file-sharing musik. Baik Winamp dan Napster memilih menggunakan mp3, yang audionya berkualitas dan ukurannya kecil, sangat cocok untuk sebuah era yang internetnya masih lambat. Mereka menggunakan mp3 karena codec dan fondasinya telah ada di internet, WinPlay3 dan L3Enc.

Tentu, bukan file lagu orisinal yang diputar dan dibagikan Winamp dan Napster, melainkan lagu-lagu bajakan. Seketika, sejak awal dekade 2000-an, mp3 akhirnya populer di seluruh dunia sebagai coding audio lagu-lagu bajakan. Karena kepopuleran mp3 digunakan sebagai medium lagu-lagu bajakan, banyak pihak menuding mp3 sebagai salah satu biang keladi hancurnya industri musik.

Pada awal 2000, misalnya, 14.000 lagu-lagu bajakan dibagikan melalui Napster (dan diputar di Winamp) setiap menitnya. Dalam publikasi Recording Industry Association of America, industri musik terus-terusan digempur kesialan finansial sejak mp3 lahir. Dalam sebuah laporan yang terbit tahun ini, mereka menyatakan bahwa pembajakan menghilangkan potensi pendapatan hingga $12,5 miliar setiap tahunnya.

Masalahnya, kembali merujuk Stephen Witt, mp3 sebetulnya tidak dapat disalahkan atas kemunculan pembajakan yang merugikan industri musik. Yang terjadi adalah mp3 menjadi teknologi yang memacu industri musik mengubah barang dagangan mereka, yakni lagu. Sebelum mp3 lahir, lagu dijual dalam paket, dalam bundle. Lagu dijual dalam kepingan vinyl, kaset, ataupun CD, yang umumnya memiliki sekitar 12 lagu. Yang gagal dipahami industri musik, jualan dalam paket-paket ini adalah pemaksaan. Mengapa konsumen harus membeli satu album A Rush of Blood to the Head jika mereka hanya menyukai lagu “The Scientist” dari Coldplay?

Mp3 (kemudian didukung iTunes) merevolusi praktik bisnis ini. Pecinta musik pun dipersilakan memperoleh satu atau beberapa lagu dari album yang dijual label.

Baca juga artikel terkait MP3 atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Musik
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf