tirto.id - Industri penerbangan Indonesia harus gigit jari karena sebagian pesawat mereka tidak akan bisa mendatangkan pundi dari sejumlah rute ke Cina. Alasannya, per 5 Februari pemerintah memberlakukan penundaan penerbangan dari dan ke Cina sebagai antisipasi wabah virus Corona yang masih berkecamuk sampai hari ini.
Keputusan ini berasal dari rapat terbatas Presiden Joko Widodo dengan para menteri Kabinet Indonesia Maju di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Minggu, (2/2/2020). Pembatasan ini berlaku untuk waktu yang tidak ditentukan karena sampai saat ini belum ada tanda-tanda vaksin atau obat segera ditemukan.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Irfan Setiaputra mengatakan pembatasan penerbangan ini sedikit banyak akan berdampak pada industri penerbangan Indonesia terutama maskapai.
Dalam pesan singkat kepada reporter Tirto, Irfan berkata, “Tentu saja kami akan mengalami penurunan pendapatan.”
Hanya saja, Irfan belum mau membeberkan potensi kerugian atau potential loss maskapai pelat merah itu. Irfan berkilah, “Kita lebih fokus ke upaya mendukung keputusan pemerintah.”
Ia bilang saat ini Garuda Indonesia melayani sekitar 40 penerbangan dari dan ke Cina dalam seminggu. Sudah pasti ke semuanya akan terganggu.
Garuda Indonesia saat ini menyarankan calon penumpang melakukan pengalihan jadwal, tetapi Irfan bilang maskapainya cukup fleksibel dan membuka kemungkinan kompensasi lainnya.
Sementara itu, maskapai Lion Air mencatat sekitar 40 penerbangan Lion Air dan 4 penerbangan Batik Air dalam seminggu terpaksa batal gara-gara wabah ini. Frekuensi penerbangan mereka pun bermacam-macam di kisaran 2 hingga 4 kali per minggu.
Saat ini Lion Air melayani rute penerbangan menuju ke 15 bandar udara di Cina melalui 5 kota di Indonesia seperti Denpasar, Manado, Surabaya, Jakarta, dan Batam.
Per 28 Januari 2020 atau seminggu sebelum pembatasan berlaku, sudah ada 6 penerbangan yang dibatalkan. Selebihnya semua rute penerbangan dari dan ke Cina pada Februari 2020 dinyatakan batal sementara oleh manajemen.
“Lion Air Grup sudah menginformasikan kepada seluruh tamu atas perubahan dan pembatalan penerbangan sementara pada rute dimaksud,” ucap Corporate Communication Lion Air Danang Mandala Prihantoro dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Selasa (4/2/2020).
Soal potensi kerugian, Danang pun mengaku belum bisa memberi keterangan.
Direktur Arista Indonesia Aviation Center (AIAC) Arista Atmadjati mengatakan wabah ini sudah pasti akan memukul industri penerbangan Indonesia. Ia menyebutkan maskapai seperti Garuda, Lion, dan Sriwijaya akan kesulitan mencapai target pendapatannya di tahun 2020.
Arista menjelaskan penerbangan dari dan ke Cina berkontribusi sekitar 35-40 persen dari total penerbangan internasional maskapai Indonesia. Dengan demikian, efeknya bisa dipastikan cukup drastis bagi maskapai.
Belum lagi, kata dia, sudah ada temuan baru kalau wabah lain, yaitu flu burung juga merebak di Cina. Alhasil pembatasan ini diperkirakan akan berlangsung lama padahal untuk virus Corona saja belum tersedia vaksin.
“Misal 6 bulan ke depan enggak bisa terbang, kerugian bisa puluhan triliun ini,” ucap Arista saat dihubungi reporter Tirto, pada Selasa (4/2/2020).
Arista mengatakan potensi kerugian juga akan semakin besar mengingat di awal tahun ini, maskapai Indonesia memasuki low season. Menurut dia, pemerintah perlu memberi insentif untuk meringankan beban maskapai seperti pajak spare part, biaya navigasi, biaya parkir bandara dan lainnya.
Pada kondisi seperti ini, kata dia, akan banyak pesawat yang turun keterisian atau utilisasinya. Di samping itu, tidak mudah bila maskapai mengalihkan rute penerbangan ke Cina ke rute internasional atau domestik lain.
“Karena wabah pas low season, revenue bisa drop sampai dengan 15 persen dari target,” ucap Arista.
Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Bayu Sutanto mengatakan industri penerbangan akan mengalami masa cukup sulit karena ada pengurangan penerbangan dari dan ke Cina untuk sementara waktu. Belum lagi sepanjang 2019, industri penerbangan nasional mengalami tren menurun.
Misalnya okupansi angkutan udara internasional cuma tumbuh 4,12 persen atau melambat dibandingkan periode Januari-Oktober 2018 yang tercatat tumbuh 7,15 persen.
Selain dampak serius bagi maskapai, Bayu menjelaskan sektor pendukung lainnya juga akan ikut terpengaruh. Ia mencontohkan bandara, penjualan avtur, suku cadang sampai industri pendukung lainnya.
“Tentu dengan berkurangnya penerbangan dari dan ke Cina berdampak bagi pendapatan bandara dan industri dari avtur dan suku cadang. Tapi nilai belum tahu ya,” ucap Bayu saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (4/2/2020).
Ketua INACA Denon Prawiraatmadja menambahkan terlepas pukulannya pada industri penerbangan, ia yakin kebijakan ini langkah yang tepat. Sebab bila tidak, Denon khawatir ada kerugian lebih besar yang bisa diderita industri penerbangan.
“Kendati demikian saya menilai akan ada dampak kerugian yang lebih besar jika kebijakan tersebut tidak dilakukan,” ucap Denon dalam pesan singkat, Selasa (4/2/2020).
Sementara itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyatakan pemerintah akan segera menginventarisir dampak-dampak yang ditimbulkan dari kebijakan pembatasan penerbangan ini. Ia berjanji pemerintah akan mencarikan solusinya.
“Dalam 2-3 hari mendatang (sejak Senin 3 Februari 2020) akan dibahas di rapat terbatas dengan presiden terkait dampak-dampak ekonomi dari adanya penundaan penerbangan,” ucap Budi dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Selasa (4/2/2020).
Budi juga menambahkan kalau ia telah meminta Dirjen Perhubungan Udara untuk mencarikan solusi bagi maskapai maupun penumpang yang telah memiliki tiket dari dan ke Cina.
“Refund tiket bisa ditukar dalam bentuk pengalihan tujuan penerbangan lain yang tidak dilarang pemerintah maupun untuk tujuan yang sama (Cina) jika nanti penundaan sudah dicabut,” ucap Budi.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz