Menuju konten utama

Nasib Ahok dan Djarot di Tangan DPRD DKI

Surat pengunduran diri Ahok akan diumumkan dalam sidang paripurna DPRD DKI Jakarta, Rabu (31/5/2017).

Nasib Ahok dan Djarot di Tangan DPRD DKI
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (kiri) dan Djarot Saiful Hidayat (kanan). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah mengajukan pengunduran diri dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, pada 24 Mei lalu. Surat tersebut baru akan diumumkan dalam sidang paripurna DPRD DKI Jakarta, Rabu (31/5/2017).

Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi mengatakan sidang paripurna tersebut sekaligus akan mengusulkan pelantikan Pelaksana Tugas (Plt) gubernur Djarot Saiful Hidayat sebagai gubernur definitif.

Pengangkatan Djarot sebagai gubernur definitif akan dilakukan setelah Ahok resmi mengajukan surat pengunduran diri sebagai gubernur DKI, pasca divonis dua tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sejatinya, kasus Ahok ini belum memiliki kekuatan hukum tetap karena Jaksa Penuntut Umum masih mengajukan banding.

Akan tetapi, karena Ahok sudah terlebih dahulu mengajukan surat pengunduran diri, maka sesuai regulasi yang berlaku, Djarot sebagai wakil gubernur sekaligus Plt. Gubernur dapat diangkat sebagai gubernur definitif.

Prasetyo menjelaskan, secara administratif, usulan tersebut akan diajukan kepada Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mendapat persetujuan. Setelah disetujui oleh Presiden, Djarot akan segera dilantik sebagai Gubernur Jakarta definitif, dengan sisa masa jabatan hingga pertengahan Oktober 2017.

“Kita sekaligus akan bahas pengusulan Pak Djarot agar segera dilantik sebagai gubernur definitif," ungkapnya di gedung DPRD Jakarta, Selasa (30/5/2017).

Sebelumnya, dalam acara koordinasi Kemendagri dengan pihak eksekutif dan legislatif Provinsi DKI Jakarta, di Balai Kota, Jumat (26/5/2017) lalu, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Sumarsono meminta agar DPRD DKI segera mempercepat proses pengunduran diri Ahok.

Alasannya, kata Sumarsono, Pemprov DKI Jakarta hanya memiliki sedikit waktu untuk menyelesaikan agenda-agenda sampai bulan Oktober mendatang.

“Saya minta Senin diselesaikan. Kenapa? Semakin cepat semakin baik. Tapi karena tidak bisa, lalu kita diskusikan, lalu disepakati hari Selasa, kemudian siangnya antar ke Kemendagri. Sore kita antar ke Presiden. Makin cepat makin baik,” ujarnya.

Saat itu, di hadapan pejabat eksekutif dan legislatif di DKI Jakarta, Sumarsono juga menjelaskan bagaimana proses transisi di Jakarta harus dilakukan. Ia menuturkan, pemberhentian Ahok sebagai gubernur harus berdasarkan pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah (Pemda) Nomor 23 tahun 2014, bukan Undang-Undang DKI Nomor 29 tahun 2007.

Sebab, menurut pria yang akrab disapa Soni ini, UU DKI tidak mencantumkan pasal perihal pengunduran diri gubernur provinsi DKI Jakarta, melainkan hanya soal ambang batas Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

"Kenapa enggak pakai UU DKI? UU DKI itu tidak mengatur transisi seperti ini. Tapi yang diatur hanya ambang batas Pilkada saja. Makanya, kita atur di UU Pemerintah Daerah Nomor 23 tahun 2014," ungkapnya.

Soni menambahkan, dalam Pasal 78 ayat (1) UU Pemda disebutkan bahwa pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dilakukan karena 3 sebab, yaitu: meninggal dunia, permintaan sendiri, dan diberhentikan.

Lantaran Ahok telah mengirimkan surat pengunduran diri kepada Presiden melalui Kemendagri, maka selanjutnya Mendagri akan mengeluarkan keputusan pemberhentian Ahok atas nama Presiden.

“Karena Pak Ahok mengundurkan diri. Maka SK-nya [Surat Keputusannya] diberhentikan tetap,” kata dia.

Simpang Siur Aturan Pemberhentian

Kendati aturan dalam UU Pemda yang disampaikan Kemendagri sudah jelas, akan tetapi DPRD DKI Jakarta punya cara sendiri untuk memberhentikan Ahok.

Dalam sidang Badan Musyawarah (Bamus) di gedung DPRD, pada Selasa (30/5/2017), Ketua DPRD DKI, Prasetyo memutuskan bahwa pemberhentian Ahok tidak menggunakan Undang-Undang Pemda, melainkan menggunakan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Nomor 10 tahun 2016.

“Nah di sini pakai Pasal 173, gubernur, bupati, walikota berhenti karena beliau mengundurkan diri, meninggal dunia, atau dengan pemintaan sendiri, atau diberhentikan. Maka wakil gubernur wakil bupati atau walikota menggantikan. Saya melihat, pasal inilah yang kebetulan cocok," ungkapnya usai memimpin sidang Bamus.

Keputusan itu diambil setelah peserta menyepakati usulan Wakil Ketua DPRD Muhammad Taufik yang mengatakan bahwa undang-undang tersebut lebih cocok dipakai ketimbang UU Pemda.

"Saya kira dasarnya itu lebih baik kita pakai Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 Pasal 173," kata Taufik.

"Apakah sepakat pakai Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016?" tanya Prasetio.

"Sepakat," jawab peserta sidang.

Dalam hemat Taufik, UU Pilkada akan lebih mempermudah proses pemberhentian Ahok seperti tercantum dalam pasal 173 regulasi tersebut. Sebab, ia menafsirkan, pada Undang-Undang Pemda, DPRD harus bekerja lebih lama karena pemberhentian Ahok dapat bermasalah karena statusnya sebagai terpidana.

“Ya kalau pakai UU Pemda maka ada dua polanya. Diberhentikan terhormat atau tidak terhormat. Saya khawatir. Ahok itu kan terpidana, ya. Bisa diberhentikan dengan tidak terhormat, loh," ungkapnya.

"Ini beda. Mengumumkan sama memberhentikan. Kalau memberhentikan ada proses yang masih panjang," tambahnya.

Perspektif Hukum Tata Negara

Lantas benarkah aturan pemberhentian dalam dua undang-undang tersebut berbeda?

Hifdzil Alim, pengamat hukum tata negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengatakan bahwa dalam hal pemberhentian kepala daerah sebenarnya substansi kedua regulasi tersebut sama saja. Menurutnya, tidak menjadi masalah jika DPRD memakai UU Pilkada sebagai dasar pemberhentian Ahok. Sebab, pada intinya, DPRD hanya menyampaikan usulan kepada Kemendagri untuk disampaikan kepada Presiden.

“Tidak masalah itu. Substansinya sama saja. Lagi pula Pak Ahok, kan, sudah mengundurkan diri. Jadi terlepas dengan statusnya, dia tetap diberhentikan terhormat," kata pria yang juga peneliti di PUKAT FH UGM ini, saat dihubungi Tirto.

Terkait wakil yang akan mendampingi Djarot sebagai gubernur, ia mengatakan bahwa hal tersebut tidak bisa dilakukan lantaran sisa masa jabatan Djarot kurang dari 18 bulan. Hal itu sesuai dengan bunyi Pasal 176 ayat (4) Undang-Undang Pilkada.

"Enggak bisa. Itu diatur di UU Pilkada. Ayat 4 Pasal 176. Karena sisa jabatan Pak Djarot, kan, tingal sampai Oktober," ungkapnya.

Aturan yang dimaksud Hifdzil Alim berbunyi: “Pengisian kekosongan jabatan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dilakukan jika sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan terhitung sejak kosongnya jabatan tersebut,” demikian bunyi Pasal 176 ayat (4).

Sementara itu, Plt Gubernur DKI, Djarot Saiful Hidayat mengaku tak tahu-menahu telah sampai di mana proses pengunduran diri Ahok di DPRD berlangsung. Namun, ia mengatakan masih menunggu proses yang berlangsung di DPRD.

"Sesuai aturan saja. Jadi kita serahkan saja pada DPRD, sama proses yang ada. Itu yang penting," kata Djarot di Balai Kota, Jakarta Pusat, Selasa (30/5/2017).

Artinya, jika DPRD Jakarta telah resmi mengumumkan pengunduran diri Ahok, dan Djarot diangkat sebagai gubernur definitif, maka DKI Jakarta akan mengukir sejarah baru, yaitu: satu periode pemerintahan 2012-2017 dipimpin oleh tiga gubernur, mulai dari Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, dan Djarot Saiful Hidayat.

Baca juga artikel terkait DPRD DKI JAKARTA atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz