tirto.id - Partai Nasdem menginginkan agar pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 7 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) ditunda agar bisa dikaji kembali.
"Pada prinsipnya kami mengajak pimpinan fraksi khususnya untuk melihat kembali revisi ini. Menunda pengesahannya," kata Sekjen Nasdem Johnny G Platte, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (9/2/2018).
Johnny pun meminta kepada seluruh pimpinan fraksi di DPR agar mengkaji kembali revisi yang ada di dalam UU MD3 agar hasilnya lebih komprehensif dari yang telah diputuskan dalam raker antara DPR dan pemerintah pada Kamis (8/2) lalu.
"Karena revisi ini undang-undang yang sangat unik di Indonesia ini. Undang-undang ini dibuat oleh pembuat undang-undang untuk kepentingan pembuat undang-undang itu sendiri," kata Johnny.
Menurut Johnny, Nasdem menyoroti dua pasal yang rancu dalam revisi UU MD3. Pertama, terkait pasal 84 yang mengatur perihal penambahan 1 kursi pimpinan DPR.
Dalam revisi tersebut, ada penambahan satu kursi pimpinan DPR, tiga kursi pimpinan MPR dan satu kursi pimpinan DPD dan tertuang dalam pasal 84 perihal pimpinan DPR, pasal 15 perihal pimpinan MPR, dan pasal 260 perihal pimpinan DPD.
Penambahan kursi disetujui dalam rapat kerja pengambilan keputusan tingkat I antara pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly atas usulan panitia kerja (Panja) RUU MD3.
Penambahan satu kursi pimpinan DPR yang baru disepakati itu diberikan kepada PDIP, sedangkan tiga kursi pimpinan MPR disepakati diberikan kepada PDIP, Gerindra, dan PKB sebagai partai peraih suara terbanyak dalam pemilu 2014. Untuk DPD akan dipilih dari dan oleh anggota DPD melalui mekanisme sidang paripurna DPD.
Penambahan tersebut menurut Johnny menunjukkan inkonsistensi DPR. Terutama dalam hal sistem penambahan kursi pimpinan DPR, pasalnya tidak bisa sistem proporsional dan sistem paket disatukan.
"Jangan ditambah lagi sistem paket dan sistem perolehan suara. Konsekuensi sistem paket ya kita punya perolehan suara tinggi bisa kalah," kata Johnny.
Kedua, menurut Johnny, yang tidak tepat adalah pasal 73 terkait tugas dan wewenang DPR. Menurutnya, adanya panggilan paksa kepada setiap orang oleh DPR merupakan sebuah bentuk arogansi.
Pada pasal 73 itu ada perubahan frasa pejabat negara, badan hukum, dan masyarakat menjadi setiap orang sesuai usulan pemerintah. Sehingga, pasal ini berubah bunyi: “DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya dapat memanggil setiap orang secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR.”
Pasal ini juga menekankan DPR dapat memanggil secara paksa setiap orang dengan menggunakan kepolisian Republik Indonesia.
"DPR ini kan bukan untuk kepentingan perseorangan. Tapi lembaga negara," kata Johnny.
Ada pun revisi UU MD3 rencananya akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 14 Februari 2018 nanti. Sampai saat ini baru Nasdem dan PPP yang menyatakan menolak pengesahan revisi UU MD3.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Dipna Videlia Putsanra