Menuju konten utama

Pakar Hukum Tata Negara Soroti Revisi UU MD3 Soal Pemanggilan Paksa

"Jangan semua hal yang sangat politis kemudian dipaksakan menjadi pasal peraturan perundangan," kata Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Ferry Amsari.

Supratman Andi Agtas didampingi Yasonna H Laoly melakukan penandatangan hasil rapat kerja pengambilan keputusan revisi UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD) disaksikan para pimpinan dan sejumlah anggota Badan Legislasi, Kamis (8/2/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Ferry Amsari menilai revisi UU No 17 tahun 2014 atau UU MD3 pasal 73 yang mengizinkan pemanggilan paksa kepada setiap orang oleh DPR menggunakan instrumen kepolisian dianggap merupakan represif.

"DPR jangan membangun represifitas baru dengan undang-undang itu," kata Ferry pada Tirto, Kamis (8/2/2018).

Ferry pun menilai pasal tersebut erat kaitannya dengan Pansus Hak Angket KPK yang sampai saat ini belum berhasil memanggil KPK untuk mengadakan rapat dengar pendapat.

"Jangan semua hal yang sangat politis kemudian dipaksakan menjadi pasal peraturan perundangan," kata Ferry.

Selain itu, menurut Ferry, pasal tersebut akan sangat mudah untuk dipatahkan dalam uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan sifatnya yang otoriter dan berlawanan dengan demokrasi.

"Itu undang-undang yang sia-sia saja," kata Ferry.

Selain itu, Ferry juga menyoroti perubahan pasal 245 UU MD3 bahwa penyidikan pada anggota DPR harus melalui izin tertulis presiden dan pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

"Kesannya pasal itu malah membangun tameng baru untuk anggota DPR yang kemungkinan akan terlibat perkara-perkara tertentu di masa depan," kata Ferry.

Lagi pula, menurut Ferry, pasal tersebut tidak sesuai dengan putusan MK 76/PUU-XII/2014. Menurutnya dalam putusan itu penyidikan atas anggota DPR harus seizin presiden, tapi tanpa mempertimbangkan putusan MKD.

Ferry tidak setuju bila pasal tersebut dikatakan untun menjaga imunitas DPR. Pasalnya, menurutnya, imunitas anggota DPR hanya berlaku ketika menjalankan tugas kemudian dikriminalisasi.

"Yang tidak boleh itu melindungi kriminalisasi yang dilakukan anggota DPR," kata Ferry.

Dalam rapat kerja antara DPR dan pemerintah terkait revisi UU MD3 dini hari tadi (8/2/2018) menyepakati adanya revisi pasal 73 perihal tugas dan wewenang DPR dan pasal 245 perihal penyidikan di UU MD3.

Untuk pasal 73 disepakati adanya perubahan frasa pejabat negara, badan hukum dan masyarakat menjadi setiap orang sesuai usulan pemerintah. Sehingga, pasal ini berubah bunyi menjadi "DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya dapat memanggil setiap orang secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR."

Pasal ini juga menekankan DPR dapat memanggil secara paksa setiap orang dengan menggunakan kepolisian Republik Indonesia.

"Ini (perubahan frasa) agar tidak diskriminatif dan (panggilan paksa) sesuai dengan ketentuan sebelumnya di keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)," kata Yasonna.

Lalu, pada pasal 245 disepakati adanya penambahan 'presiden' untuk menyidik anggota DPR, tidak lagi hanya atas persetujuan tertulis Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), sesuai dengan usulan dari pemerintah.

Sehingga, pasal ini berbunyi "pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden dan Mahkamah Kehormatan Dewan."

Pemerintah juga mengusulkan agar ditambahkan pengecualian pada pasal ini bagi anggota DPR yang tertangkap tangan, melakukan pidana yang diancam hukuman mati dan atau pidana seumur hidup, tindak pidana kejahatan melawan negara berdasarkan bukti yang cukup, dan tindak pidana khusus.

Ketua Panja Revisi UU MD3, Supratman Andi Agtas menyatakan salah satu pertimbangan perubahan atas pasal 73 adalah atas dasar ketidakhadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam setiap undangan rapat dengar pendapat dengan Pansus Hak Angket KPK.

"Jadi begini kemarin itu kan berlaku menyiasati apa yang terjadi bukan hanya dalam Pansus angket, tapi ada satu pemanggilan yang dilakukan komisi 3 terhadap seorang pejabat gubernur yang sampai hari ini tidak hadir di DPR," kata Supratman usai rapat.

Sedangkan, menurut Supratman, Polri menolak untuk memanggil paksa keduanya dengan alasan UU MD3 belum jelas mengatur hal itu.

KPK tercatat dua kali menolak panggilan rapat dengar pendapat dengan Pansus Hak Angket KPK. Terakhir, terjadi pada Oktober 2017. Saat itu, Pimpinan KPK beralasan menunggu putusan MK soal gugatan uji materi UU MD3.

Pansus Hak Angket KPK pun saat itu merespons dengan meminta kepada Polri untuk memanggil paksa KPK. Namun, Kapolri Jenderal Tito Karnavian saat itu menolak permintaan tersebut lantaran menganggap UU MD3 belum memiliki hukum acara yang jelas untuk pemanggilan paksa.

Alasan revisi pasal 245, kata Supratman, adalah untuk menguatkan hak imunitas anggota DPR. "Di mana-mana di seluruh dunia memberi hak imunitas pada parlemen," kata Supratman.

Baca juga artikel terkait UU MD3 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Yantina Debora
-->