Menuju konten utama

Perubahan UU MD3 Menguntungkan PDI Perjuangan

Ada tambahan kursi pimpinan di DPR yang diperuntukkan untuk PDI Perjuangan.

Perubahan UU MD3 Menguntungkan PDI Perjuangan
Supratman Andi Agtas didampingi Yasonna H Laoly melakukan penandatangan hasil rapat kerja pengambilan keputusan revisi UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD) disaksikan para pimpinan dan sejumlah anggota Badan Legislasi, Kamis (8/2/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat akan memiliki tambahan kursi pimpinan baru. Penambahan jumlah pimpinan juga akan terjadi di MPR dan DPD setelah revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) diketok Rabu malam (7/2/2018).

Dalam revisi tersebut, ada penambahan satu kursi pimpinan DPR, tiga kursi pimpinan MPR dan satu kursi pimpinan DPD dan tertuang dalam pasal 84 perihal pimpinan DPR, pasal 15 perihal pimpinan MPR, dan pasal 260 perihal pimpinan DPD. Penambahan kursi disetujui dalam rapat kerja pengambilan keputusan tingkat I antara pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly atas usulan panitia kerja (Panja) RUU MD3.

“Setelah kami bicara dan membaca dinamika politik [serta] perdebatan yang disampaikan teman-teman di fraksi-fraksi, maka kami dapat menyetujui,” kata Yasonna.

Penambahan satu kursi pimpinan DPR yang baru disepakati itu diberikan kepada PDIP, sedangkan tiga kursi pimpinan MPR disepakati diberikan kepada PDIP, Gerindra, dan PKB sebagai partai peraih suara terbanyak dalam pemilu 2014. Untuk DPD akan dipilih dari dan oleh anggota DPD melalui mekanisme sidang paripurna DPD.

Yasonna memberi catatan bahwa UU ini hanya berlaku sampai 2019. Setelah itu, jumlah pimpinan DPR, MPR dan DPD akan kembali seperti semula, yakni terdiri dari seorang ketua dan empat wakil ketua untuk DPR dan MPR, serta seorang ketua dan empat wakil ketua untuk DPD.

“Kesepakatan kami [mekanisme pemilihan pimpinan DPR] adalah proporsional sesuai dengan hasil pemilu pada tingkat DPR dan pada pimpinan MPR sesuai dengan ketentuan yang ada," kata Yasonna.

Mekanisme pemilihan pimpinan DPR dengan sistem paket seperti pada 2014 tidak lagi berlaku dengan direvisinya pasal 427a butir C perihal mekanisme penambahan pimpinan MPR dan pasal 427c terkait mekanisme pemilihan dan susunan pimpinan DPR dam MPR hasil pemilu 2019.

PDI Perjuangan Menang Kompromi

Kesepakatan penambahan jumlah kursi pimpinan di DPR, DPD, dan MPR menunjukkan sikap pemerintah yang melentur. Pada rapat Panja DPR dan pemerintah tanggal 20 April 2017 dan 7 Februari 2018, pemerintah masih bersikukuh pimpinan MPR hanya ditambah satu kursi dan tidak ada penambahan kursi pimpinan DPD.

Kala itu, pemerintah beralasan penambahan satu kursi pimpinan DPR dan MPR karena hanya dimaksudkan untuk mengakomodasi PDI Perjuangan sebagai partai pemenang pemilu sesuai dengan azas proporsional. Sementara, DPD dipandang tidak perlu menambah pimpinan karena yang ada saat ini sudah dianggap memenuhi keterwakilan wilayah Indonesia bagian Barat, Timur, dan Tengah.

Argumentasi pemerintah mendapat tentangan dan dukungan dari fraksi-fraksi di DPR. Terutama dalam konteks penambahan kursi pimpinan DPR dan MPR.

PDIP dan PPP mendukung keputusan pemerintah agar pimpinan DPR ditambah satu kursi untuk PDIP. Sebaliknya, Gerindra, PKB, dan Golkar menginginkan kursi pimpinan DPR ditambah menjadi dua kursi, yakni untuk PDIP dan PKB.

Terkait kursi pimpinan MPR, sempat muncul usulan penambahan dua hingga tujuh kursi. Gerindra secara terbuka melalui Wakil Ketua DPR Fadli Zon pernah mengusulkan penambahan tujuh kursi pada Mei 2017, berbeda dengan Golkar yang mengusulkan empat kursi dan PDI Perjuangan yang mengusulkan satu kursi.

Perbedaan sikap ini membuat rapat Panja antara pemerintah dan DPR berulangkali deadlock dan akhirnya harus dijembatani dalam beberapa kali pertemuan informal, seperti pada Selasa (6/2/2018).

Pada pertemuan informal tersebut, pemerintah akhirnya mengendur dengan menyetujui penambahan dua kursi untuk pimpinan MPR sebagai jalan tengah atas beragam usulan yang ada. Jalan tengah itu rupanya tidak membuat selisih pendapat lantas mengendur. Kejadian berulang saat rapat Panja antara DPR dan pemerintah Rabu kemarin.

Anggota Fraksi PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno menyatakan deadlock terjadi lantaran masih beragamnya usulan dari fraksi perihal tambahan jumlah kursi pimpinan MPR dan DPD. Sementara, untuk DPR sudah sepakat satu kursi untuk PDI Perjuangan.

“PDIP mengusulkan tiga kursi untuk MPR. PAN mengusulkan satu kursi untuk DPR dan satu kursi untuk MPR," kata Hendrawan.

Deadlock akhirnya dapat disudahi sekitar pukul 22.00 WIB dan kemudian dilanjutkan dengan pengambilan keputusan tingkat I dengan pemerintah dan memutuskan menambah satu kursi pimpinan DPR, tiga kursi pimpinan MPR dan tiga kursi pimpinan DPD.

Keputusan itu tepat seperti usul dari PDIP, hanya saja Yasonna membantah berubahnya sikap pemerintah lantaran untuk memenuhi keinginan PDIP. Menurutnya, perubahan sikap ini wajar dalam dinamika politik.

“Kami pikir ini hanya untuk 2014-2019 dan agar ada kompromi untuk kembali kepada sistem azas proporsionalitas yang akan datang. Ya itulah dinamika politik, demokrasi,” kata Yasonna.

Yasonna juga menyebut persetujuan ini agar seluruh fraksi partai di DPR kompak dalam menjalankan tugas kedewanan. “Kami mengakomodasi dinamika politik ke depan supaya masing-masing kompak saja. Supaya antar-fraksi bisa lebih baik dan lebih bersatu dalam memimpin kelembagaan,” kata Yasonna.

Revisi Ditentang Dua Fraksi

Meski begitu, bukan berarti pengambilan keputusan revisi UU MD3 ini berjalan mulus. Fraksi Nasdem dan Fraksi PPP menolak keputusan ini.

Anggota Fraksi PPP Arsul Sani menyatakan penolakan PPP terdapat pada pasal mekanisme pemilihan pimpinan MPR dalam pasal 427a butir c. Menurutnya, tidak tepat jika kursi Ketua MPR diberikan kepada partai pemenang pemilu karena MPR terdiri dari perwakilan DPR dan DPD dan berpotensi melanggar konstitusi.

Dalam pandangan PPP, seperti yang diungkapkan Arsul, frasa ‘diberikan’ dalam pasal mengenai pemilihan pimpinan MPR, bertentangan dengan putusan MK Nomor 117/PUU-VII/2009 yang menyatakan frasa ‘ditetapkan’ dalam UU MD3 tahun 2009 harus dimaknai dengan frasa ‘dipilih’.

“Ada satu materi yang jika ini diteruskan menjadi UU akan menjadi problem konstitusionalitas yang berat. Materi yang dibuat 427 a ayat c dari RUU ini,” kata Arsul.

Arsul menyatakan F-PPP tidak setuju revisi UU MD3 dibawa ke paripurna untuk mendapat persetujuan tingkat II dari seluruh anggota DPR.

Ada pun Fraksi NasDem menolak seluruh komposisi penambahan pimpinan DPR, MPR dan DPD. Anggota F-NasDem Hamdani mengungkapkan penambahan pimpinan DPR, MPR dan DPD tidak akan berpengaruh terhadap kinerja dewan. NasDem meminta revisi UU MD3 dilakukan secara menyeluruh dan dapat berlaku untuk hasil pemilu 2019.

“Fraksi NasDem berpendapat revisi ke-2 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 masih perlu pendalaman,” kata Hamdani.

Penolakan ini tak banyak berarti lantaran delapan fraksi lainnya yakni PDIP, Hanura, PKS, PKB, Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PAN menyetujui, sehingga keputusan tetap dianggap sah secara suara mayoritas.

Hasil keputusan tingkat I revisi UU MD3 ini pun akan dibawa kepada Rapat Paripurna DPR pada 14 Februari mendatang untuk disahkan.

Baca juga artikel terkait UU MD3 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Mufti Sholih & Maulida Sri Handayani