Menuju konten utama

Narogong Ubah Adendum PNRI 9 Kali Demi Muluskan Proyek E-KTP

Jaksa KPK mengungkap perubahan adendum proyek 9 kali untuk pengadaan e-KTP agar konsorsium PNRI bentukan Andi Narogong tetap mendapat bayaran.

Narogong Ubah Adendum PNRI 9 Kali Demi Muluskan Proyek E-KTP
Terdakwa kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) Andi Agustinus alias Andi Narogong, akan menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin, (14/7). Tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Andi Narogong menjalani sidang dakwaan di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) di Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (14/8/2017). Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK membeberkan keganjilan dalam kinerja konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) yang dibentuk oleh Andi Narogong.

Dalam penuturannya, jaksa KPK merunut bahwa sejak awal konsorsium PNRI sudah diatur untuk memenangkan proyek pengadaan e-KTP oleh Andi Narogong. Konsorsium PNRI yang kemudian terpilih untuk menjalankan proyek pengadaan e-KTP dengan nilai kontrak sekitar Rp5,9 triliun tersebut ternyata tidak dapat memenuhi target pekerjaan sesuai dengan kontrak. “Seharusnya konsorsium PNRI tidak dapat menerima hasil pembayarannya,” kata Jaksa.

Demi memuluskan hal itu, Andi Narogong pun melakukan perubahan adendum sebanyak 9 kali. Perubahan pertama dimulai pada tanggal 12 Oktober 2011 dan terakhir pada 27 Desember 2013.

“Tujuan 9 kali adendum tersebut adalah agar konsorsium PNRI tetap menerima pembayaran meski belum menyelesaikan pekerjaannya sebagaimana yang telah ada dalam kontrak. Pembayaran ini juga untuk diberikan kepada Setya Novanto, Drajat Wisnu Setyawan, Gamawan Fauzi, Diah Anggraini, dan yang lainnya. Selain itu, pembayaran ini juga digunakan untuk mengganti anggaran yang telah dikeluarkan oleh terdakwa (Andi Narogong),” lanjut jaksa.

Persoalan paling utama yang ditudingkan oleh jaksa KPK terkait dengan konsorsium PNRI tidak melakukan personalisasi dan distribusi terhadap 127.114.500 keping blangko e-KTP. PNRI juga tidak memenuhi sistem sidik jari yang seharusnya ada dalam e-KTP, tetapi hanya menggunakan sistem iris yang tidak menjamin ketunggalan identitas dari e-KTP.

Sistem yang digunakan dalam proyek e-KTP juga bukan sistem lanskap menjadi sistem AFIS sehingga pemerintah harus membayar lebih mahal untuk sistem pembuatan e-KTP. Konsorsium PNRI juga tidak memenuhi sistem keamanan kartu seperti yang ditetapkan dalam acuan kerja. PNRI juga melakukan subkontrak proyek tersebut kepada Indosat untuk sistem e-KTP dan pembayarannya tidak sesuai dengan kontrak.

Lebih lanjut, jaksa juga menuding bahwa PT Sucofindo selaku anak dari konsorsium PNRI hanya menyediakan 84 orang untuk pengerjaan layanan keahlian pendukung kegiatan penerapan e-KTP, padahal seharusnya menyediakan 199 orang di bagian tersebut.

Atas dasar itu, jaksa menilai ada pelanggaran di dalam proyek e-KTP karena konsorsium PNRI tetap mendapatkan pembayaran proyek e-KTP meski tidak berhasil menyelesaikan pembuatan e-KTP. Bahkan, Andi Narogong membuat seakan-akan konsorsium PNRI berhasil menyelesaikan pembuatan e-KTP sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Konsorsium PNRI juga tidak mendapat teguran atas kegagalannya tersebut. Pembagian tugas perusahaan yang tergabung dalam konsorsium pun juga berubah-ubah.

“Padahal sampai akhir hanya 122.109.759 keping blangko e-KTP (yang selesai). Masih jauh dari target pengadaan personalisasi dan distribusi sebesar 172.015.200 keping,” kata jaksa.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Maya Saputri