Menuju konten utama

Narapidana Tidak Diijinkan Mencalonkan Diri di Pilkada

Keputusan Pemerintah dan DPR RI memberi ijin pada narapidana mencalonkan diri dalam Pilkada 2017 menuai kritik dari Ketua MPR Zulkifli Hasan dan pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Jakarta Yenti Ganarsih. Keduanya menyebut,kesepakatan terpidana hukuman percobaan dapat maju sebagai calon kepala daerah adalah melanggar UU dan dapat menjadi preseden buruk.

Narapidana Tidak Diijinkan Mencalonkan Diri di Pilkada
Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan melambaikan tangan kepada wartawan seusai melakukan pertemuan di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Kamis (18/8). Menurut Zulkifli Hasan kedatangannya di Kantor DPP PDI Perjuangan selaku Ketua MPR untuk membahas rencana mengambil keputusan penting soal haluan negara yang akan dipaparkan pada 22 Agustus mendatang. ANTARA FOTO/Reno Esnir.

tirto.id - Narapidana tidak diijinkan mencalonkan diri pada Pilkada 2017. Hal itu tercantum dalam undang-undang (UU) Pilkada Pasal 7 Ayat (2) butir g.

"Kita ikuti undang-undangnya, selama belum diubah, mereka tidak boleh ikut pilkada, kecuali suatu saat ada undang-undang baru yang membolehkan mereka ikut pilkada", kata Ketua MPR, Zulkifli Hasan, dalam keterangan pers diterima di Jakarta, Rabu (14/9).

Ia menyatakan akan mendukung dan mempertahankan ketentuan tersebut, sampai ada UU yang memperbolehkan narapidana mancalonkan diri dalam Pilkada.

Ia menyebut, sebagai negara hukum, masyarakat harus taat dan patuh terhadap hukum yang berlaku, tidak terkecuali masalah Pilkada. Selama undang-undang melarang, narapidana tidak boleh ikut dalam pilkada.

"Kita ikuti UU nya, selama belum diubah, mereka tidak boleh ikut pilkada, kecuali suatu saat ada UU baru yang membolehkan mereka ikut pilkada," tegasnya.

Ketegasan Zulkifli Hasan diamini oleh pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Jakarta Yenti Ganarsih. Ia mengatakan kesepakatan terpidana hukuman percobaan dapat maju sebagai calon kepala daerah adalah melanggar UU dan dapat menjadi preseden buruk.

"Terpidana hukuman percobaan adalah terpidana yang oleh majelis hakim dengan perimbangan tertentu tidak menjalani hukuman penjara. Meskipun seseorang tersebut tidak menjalani hukuman penjara tapi dia adalah terpidana," kata Yenti Ganarsih di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta.

Selain melanggar UU dan menjadi preseden buruk, terpidana hukuman percobaan yang dapat maju sebagai calon kepala daerah akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas pilkada.

Masyarakat, kata dia, berharap dapat memilih pemimpin yang baik dan memiliki rekam jejak yang bersih, tapi dengan kesepakatan Pemerintah dan DPR RI tersebut mendulang kecurigaan kelak berpotensi muncul calon pemimpin yang kurang bersih. “Kesepakatan itu pemikiran yang keliru,” ujarnya.

Doktor hukum pidana alumni Universitas Indonesia ini menjelaskan pada pasal 7 ayat (2) UU No 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota atau UU Pillada tidak membedakan terpidana hukuman tetap dan terpidana hukuman percobaan.

Pasal 7 Ayat (2) butir g UU Pilkada tertulis: "Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana".

Dalam pasal tersebut telah disebutkan dengan jelas, tidak membedakan hukuman tetap dan hukuman percobaan serta tidak membatasi masa hukuman.

Anggota DPR RI, kata Yenti, lebih mengetahui dan memahami amanah undang-undang seharusnya memberikan edukasi yang baik kepada masyarakat, bukannya malah memanfaatkannya.

"Solusi dari persoalan adalah, tidak memilih calon yang tidak bersih," katanya.

Baca juga artikel terkait NARAPIDANA atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Hukum
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh