tirto.id - Orang Indonesia tidak akan asing dengan musisi berdarah Ambon. Anak muda masa sekarang tentu kenal Glenn Fredly. Pada dekade sebelumnya ada Harvey Malaiholo atau Utha Likumahua. Jauh sebelumnya lagi ada kakek Glenn dan Harvey, Bram Aceh. Suara merdu mereka telah melanglang buana hingga ke mancanegara.
Musik adalah bagian dari hidup orang Ambon. Kota Ambon sendiri, kini sedang menata diri untuk menjadi kota musik. Wacana ini sudah dicanangkan Walikota Ambon dan Gubernur Maluku sejak 2011. Badan Ekonomi Kreatif di Ambon pun juga ikut mendukungnya. Rencananya, pada 28 Oktober 2016, akan ada Deklarasi Ambon sebagai Kota Musik Dunia.
Menurut Rudy Fofid, salah satu pekerja seni di Ambon, banyak studio musik rumahan mulai dibangun di wilayah tersebut. Sudah banyak album yang dihasilkan dari studio rumahan itu, baik dari musisi muda maupun musisi tua seperti Bing Lekatompessy. Meski hasil rekaman di studio rumahan itu tak sebagus daripada studio besar di Jakarta atau luar negeri, setidaknya banyak CD-CD lagu-lagu Ambon beredar di pasaran. Salah satu yang cukup populer adalah Beta Mati Rasa.
Dari Era Hawaiian
Ambon hanya nama sebuah pulau. Belakangan, Ambon juga merujuk pada semua daerah Maluku. Hingga semua orang Maluku, baik Islam dan Kristen, baik dari kota Ambon maupun luar kota Ambon, disebut Ambon. Orang Ambon tak bisa jauh dari musik. Lagu-lagu daerah mereka menjadi lagu daerah yang dinyanyikan di Indonesia. Sebutlah Manise Manise.
Salah satu orang Ambon yang namanya terkenal sebagai musisi adalah Bram Aceh. Ia adalah anak dari Vientje alias Paulus Titaley yang merupakan tentara KNIL yang ditugaskan di Kotaraja, Banda Aceh. Nama aslinya adalah Abraham Titeley. Karena besar di Aceh, Bram pun akhirnya dikenal dengan nama Bram Aceh.
Menurut RZ Leiriza, dalam Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan (1990), bermodal suara merdunya, Bram muda akhirnya bertolak ke Jakarta. Ia berhasil masuk dapur rekaman pada tahun 1934. Pada era 1940an, Bram dikenal sebagai salah satu “buaya keroncong”. Pada tahun 1955, ia berhasil memenangkan kontes keroncong Jakarta Raya. Di luar keroncong dan hawaiian, Bram terkenal dengan Sapa Suruh Datang Jakarta (1977). Di masa tuanya, Bram masih terus bernyanyi. Kebiasaan bernyanyi Bram menurun ke cucu-cucunya. Cucunya yang terkenal di jalur musik pop antara lain Harvey Malaiholo, Irma June, dan Glenn Fredley.
Orang Ambon lain yang bermain musik hawaiian adalah George de Fretes. Dia pemain Steel Giutar atau hawaiian guitar. Dari namanya dia campuran Ambon dengan Eropa. Seperti Bram, ada sumber menyebut, George anak militer KNIL juga. George anak dari Anton Balthazar de Fretes yang lahir di Bandung. Di tahun 1930an, George dikenal sebagai pemain gitar hawaiian yang piawai. Tahun 1936 dia memenangkan kontes Hawaiian Little Boy. George membangun band hawaiian bernama The Royal Hawaiian sejak 1938. Band ini sering diundang pentas hingga tahun 1942. Mantan istri George, Joyce Aubrey juga musisi. Begitu pun Wanda de Fretes, anak mereka.
Rudy Wairata, yang jauh lebih muda daripada George, juga lihai memainkan gitar. Rudy bersama istri George dalam band Mena Moeria Minstreals. Rudy belajar memainkan gitar itu ketika usia sebelas tahun di Yogyakarta. Rekan satu grup Rudy adalah Ming Luhulima yang memainkan ukulele di band hawaiian itu. Musisi-musisi Hawaiian berdarah Ambon itu justru terkenal di Negeri Belanda.
Ketika musik rock belum berjaya di Indonesia, di Surabaya, terdapat sebuah band yang "gatal" memainkan musik ngak ngik nguk itu. Di dalam band Bhineka Ria itu, pernah bergabung pemuda berdarah Ambon seperti Didi Patirani, Awad Suweileh dan Bob Totupoli. Nama terakhir terkenal sebagai penyanyi. Didi pemain gitar, sementara Awad pemain drum. Posisi Awad lalu digantikan adiknya yang pernah diajarinya bermain perkusi, Dullah Suweileh.
Pemuda-pemuda ini belakangan tidak bermain rock n roll lagi. Namun, di kota tempat AKA dan Boomerang berasal itu, mereka dianggap pemain rock terkemuka. Termasuk kolega Mando mereka Lodi Item, ayah dari Yopie Item dan kakek dari Audi Item. Sementara itu, Awad dan Dullah punya adik bernama Karim. Ketiga bersaudara berdarah Ambon tak jauh dari perkusi dan drum.
Era Pop
Setelah tumbangnya orde lama, seorang pemuda kelahiran Kediri berdarah Ambon bergabung dengan salah satu band legendaris asal Bandung, The Rollies. Pemuda itu piawai bermain bass dan trombone. Tak hanya bermain musik rock dengan sentuhan Brass Section ala Chicago, Benny belakangan dikenal publik sebagai musisi jazz. Darah musik Benny, juga popularitasnya dalam musik jazz, mengalir juga pada anaknya, Barry. Benny juga punya adik yang tak kalah populer, yakni Utha Likumahua yang gemilang sebagai penyanyi di tahun 1980 hingga 1990.
Penyanyi Ambon yang lebih tua dari Utha tentu saja Bob Tutupoly dan Broery Pasolima atau Broery Marantika. Dia pernah ikut lomba menyanyi tingkat Asia Pasifik di Jepang, meski kalah. Masih satu angkatan dengan Bob dan Broery adalah Melky Goeslow. Penyanyi asal Morotai ini pernah mempopulerkan lagu Pergi Untuk Kembali, yang Minggus Tahitoe. Minggus juga orang Ambon. Belakangan, lagu Pergi Untuk Kembali dinyanyikan kembali oleh anak Minggus dari perkawinannya dengan penyanyi pop 1970an Diana Nasution, Marcello Tahitoe alias Ello.
Melky juga punya anak yang dikenal generasi 1990an hingga sekarang, Melly Goeslaw. Melly dikenal sebagai penyanyi solo dan di band Potret. Melly juga dikenal sebagai pencipta lagu. Dua anak Melly, dari perkawinannya dengan Anto Hoed, Ale dan Abe juga terjun bermusik tanpa maksud sepopuler orangtuanya. Dua anak Melly dan Anto itu, bersama anak Titi DJ, membawakan kembali lagu Bimbang dengan irama beat yang diciptakan Melly dalam film Ada Apa Dengan Cinta. Broery sendiri punya adik yang terjun ke dunia musik bernama Helmi Pesolima. Broery punya kawan satu band Ambon juga di The Pros, bernama Hein Tanamal alias Enteng Tanamal. Enteng juga punya rekaman solo di tahun 1960an. Dari perkawinannya dengan Tanty Yosepha, Enteng punya anak bernama Yoan. Di tahun 1977, Yoan terkenal dengan lagunya Aku Sedih, Mandi Pagi, dan Si Kodok.
Franky Sahilatua, termasuk penyanyi balada legendaris Indonesia, seperti halnya Iwan Fals. Franky di awal-awal kariernya sering berduet dengan adiknya, Jean Sahilatua. Mereka berdua sering membawakan lagu-lagu balada bertema sosial sejak akhir 1970an.
Di luar musisi keluarga tadi, ada nama Andre Hehanusa yang terkenal dengan tembang Bidadari dan Kuta Bali (1995). Satu angkatan dengan Andre ada Melly Manuhutu, Jean Pattikawa dan pastinya Diva Indonesia Ruth Sahanaya juga berkarier di dunia musik pada era 1990an. Di blantika musik dunia, laki-laki gondrong kriting bernama Daniel Sahuleka pernah berjaya dengan lagu You Make My World So Colorful di tahun 1976, lalu Don't Sleep Away the Night di tahun 1981. Meski besar dan dianggap warga Belanda, Daniel berdarah Ambon-Sunda.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti