tirto.id - Rasya Ramadhania, mahasiswa Universitas Nasional (Unas), Pasar Minggu, dilaporkan ke Polres Jakarta Selatan oleh kampusnya sendiri pada 23 Juni lalu. Mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2018 itu 'dipolisikan' setelah berunjuk rasa mendesak transparansi keuangan dan pengurangan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di masa pandemi COVID-19.
Rasya tergabung dalam aliansi mahasiswa yang dinamakan UnasGawatDarurat alias UGD.
"Saya yang dilaporkan, hanya saya," kata Rasya saat dikonfirmasi wartawan Tirto, Rabu (15/7/2020) sore. Kampus juga menjatuhkan sanksi kepada 11 mahasiswa: tiga di-drop out (DO), dua skors, dan enam diberikan peringatan keras.
Rasya dijerat pasal 170 KUHP karena diduga ikut "dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang." Hukumannya penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Sejauh ini Rasya telah dipanggil polisi dua kali, namun kuasa hukum dari LBH Jakarta Nelson Simamora memintanya tidak datang. Nelson menilai pemanggilan itu cacat prosedural karena surat pemanggilan Rasya menggunakan pasal 170 KUHP untuk lebih dari satu orang.
"Kalaupun saya datang, saya bukan jadi saksi maupun tersangka, hanya klarifikasi saja. Tapi bisa jadi nanti saat pemeriksaan saya diapain-diapakan, ujung-ujungnya jadi pengembangan, dan bisa jadi tersangka," katanya.
Rektor Unas El Amry Bermawi Putera mengatakan apa yang kampus lakukan adalah bukti mereka tidak menoleransi kekerasan di area kampus. Tindakan kekerasan yang ia maksud termasuk merusak mobil, membakar ban, mengunci gerbang kampus, memukul karyawan dan satpam, hingga membakar jaket almamater.
"Di sini, kami adalah korban dari tindakan demonstrasi anarkis dan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh oknum mahasiswa. Sehingga sangat wajar, apabila tindakan yang tidak terpuji ini kami laporkan ke pihak berwenang," kata El Amry, melalui keterangan tertulis, Senin (6/7/2020).
Ditarik ke belakang, Rasya bukanlah satu-satunya mahasiswa yang 'dipolisikan' kampus sendiri. Sejumlah mahasiswa Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang Jawa Timur juga diperlakukan serupa setelah menyegel kampus pada 11 Maret 2019.
Menurut pihak yayasan, tindakan mahasiswa itu jelas mengandung unsur pidana, sehingga wajar dilaporkan.
Bergerak ke timur, pada 15 Juni lalu empat mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), Albert Yatipai (24), Marthen Pakage (25), Semmy Gobay (22) dan Ones Busop (22), ditangkap polisi usai membuka Posko Pembebasan 7 Tahanan Rasisme di Kalimantan Timur di lapangan kampus. Rencananya, posko itu bakal jadi tempat diskusi maupun mimbar bebas.
Menurut Kapolresta Jayapura AKBP Gustav Urbinas, mereka menangkap para mahasiswa "atas dasar laporan dan aduan rektorat."
Ketika itu Wakil Rektor III USTJ Isak Rumbarar menyatakan alasan mereka lapor ke polisi adalah karena khawatir terjadi pengumpulan massa dan jadi tempat penyebaran Corona. "Saya memang komunikasi dengan pihak kepolisian atas dasar COVID-19. Saya khawatir [USTJ] jadi klaster." kata saat dikonfirmasi Tirto.
Kampus Institusi Otoriter
Program Manager Lokataru Foundation Mirza Fahmi menilai kasus-kasus di atas membuktikan "kampus sekarang bukan lagi ruang aman buat mahasiswa menuntut ilmu, buat mahasiswa berpikir." Namun, kata dia kepada Tirto, Selasa (21/7/2020), "sekarang kampus sudah jadi semacam birokrasi yang tugasnya mengatur, mendisiplinkan, dan menghukum mahasiswa."
Tak hanya pidana, hukuman seperti skors, drop out, hingga pembubaran membuktikan mundurnya demokrasi di kampus. "Kampus katanya fungsinya sebagai pendidik, pelindung komunitas akademik, namun kenyataannya kampus malah menjadi ujung tombak yang menghancurkan kebebasan akademik mahasiswa."
Atas dasar alasan tersebut ia mendesak agar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengatasi persoalan ini. Jangan berdalih dan melempar semua permasalahan yang ada di kampus kepada rektorat maupun yayasan, seolah-olah pemerintah tak bisa ikut campur, katanya.
Seharusnya Nadiem dapat menjamin kebebasan akademik dan mengatur mekanisme banding apabila terjadi skors, DO, pembubaran kegiatan, hingga pidana.
Ia lantas mengaitkan dengan slogan Nadiem tentang 'Kampus Merdeka'. "Harusnya kampus merdeka, bagaimana mahasiswa menjamin kebebasan akademik."
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai sikap pimpinan kampus merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Mereka menunjukkan sikap anti kritik, tidak pro kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum, yang semua itu bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.
"Seharusnya membangun iklim kebebasan, karena universitas itu tempat berpikir. Mana bisa berpikir baik kalau tidak bebas?" kata Asfin kepada reporter Tirto.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino