Menuju konten utama

MUI Halalkan Investasi Dana Haji Asal Memenuhi 4 Syarat

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menganggap pemanfaatan dana haji dalam bentuk investasi diperbolehkan asal memenuhi empat syarat.

MUI Halalkan Investasi Dana Haji Asal Memenuhi 4 Syarat
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin membahas program kerja Kemenag 2017, pengelolaan dana haji, dan potensi konflik sosial dalam rapat kerja dengan Komite III DPD RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (27/2/2017). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempersilahkan pemerintah memanfaatkan dana haji untuk investasi pembangunan infrastruktur. Tapi, MUI mengatakan pemanfaatan dana haji itu harus memenuhi empat syarat.

Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Asrorun Niam menjelaskan lembaganya sejak jauh hari telah melakukan kajian sekaligus penetapan fatwa mengenai pemanfaatan dana haji.

"Penetapan fatwa MUI ini agar tidak ada tarik-menarik kepentingan politik sehingga memunculkan pro-kontra," kata Asrorun dalam diskusi "Investasi Infrastruktur dari Dana Haji" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, pada Selasa (1/8/2017) seperti dikutip Antara.

Asrorun melanjutkan, syarat pertama dana haji boleh diinvestasikan ialah harus digunakan untuk jenis usaha yang memenuhi prinsip-prinsip syariah.

Syarat Kedua, kata dia, terkait dengan prudensialitas atau keamanan investasi. Logikanya seperti pengelolaan dana wakaf, yakni dana haji tidak boleh berkurang setelah diinvestasikan, tapi harus berkembang dan memiliki nilai manfaat.

Sedangkan syarat ketiga, menurut Asrorun, investasi dana haji itu harus membawa manfaat bagi jamaah haji sendiri dan kemaslahatan bagi umat Islam.

"Bukan investasinya tapi hasil investasinya. Bisa saja diinvestasikan untuk pembangunan gedung, hasilnya baik untuk kemaslahatan sepanjang ketentuannya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah," kata Asrorun.

Terakhir, syarat keempat terkait dengan prinsip likuiditas. Asrorun mengatakan syarat ini penting mengingat dana haji dibutuhkan dalam waktu terus-menerus. Sementara rata-rata kebutuhan kegiatan semua jamaah haji adalah Rp3,5 triliun per-tahun.

"Ini harus ada bampernya, artinya ada prinsip likuiditas. Kalau kepentingannya untuk infrastruktur dan sebagainya, disinilah (perlu) kecerdasan BPKH (Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji)," kata dia.

Pendapat MUI itu, menurut Asrorun, sesuai dengan hasil forum ijtima` di salah satu pondok pesantren di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada Juli 2012 silam.

Forum ijtima` tersebut, menurut dia, diikuti oleh Komisi Fatwa MUI Pusat, Komisi Fatwa MUI Provinsi se-Indonesia, lembaga-lembaga fatwa dan ormas Islam tingkat pusat, serta pimpinan pondok pesantren dan perwakilan perguruan tinggi se-Indonesia.

Forum itu menyepakati bahwa hubungan antara calon jamaah haji dengan bank penerima setoran biaya haji bisa berdasar dua akad perjanjian. Pertama, akad wadiah atau berarti dana milik calon jamaah haji itu sekedar dititipkan sehingga tak ada manfaat lanjutannya atau semacam bagi hasil. Jenis akad perjanjian kedua, menurut Asrorun ialah akad mudhorobah.

"Dana tersebut (dana haji) kalau ditidurkan kan menyusut karena inflasi, sehingga kemudian (perlu) diproduktifkan (diinvestasikan)," kata dia.

Baca juga artikel terkait DANA HAJI atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: antara
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom