tirto.id - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) membuat nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menghadapi demonstrasi dan mogok kerja pada Selasa, 23 Januari 2018. Kesepahaman itu dituangkan dalam MoU Nomor B/2/1/2018 dan Nomor Kerma 2/2/2018 yang akan berlaku untuk lima tahun ke depan.
Nota kesepahaman ini membuat TNI terlibat aktif menghadapi demonstrasi dan mogok kerja, kerusuhan massa, konflik sosial, mengamankan kegiatan masyarakat/pemerintah di dalam negeri yang bersifat lokal, nasional maupun internasional, serta situasi yang memerlukan bantuan TNI.
Pelibatan TNI dalam menghadapi demonstrasi ini dinilai Koordinator KontraS Yati Andriani sebagai tindakan yang tidak tepat lantaran berseberangan dengan pasal 7 ayat 3 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
“Ada prasyarat yang harus berdasarkan keputusan politik,” kata Yati kepada Tirto, Jumat (2/2/2018). Keputusan politik yang dimaksud, kata Yati, merujuk ke Presiden sebagai Panglima Tertinggi di TNI.
Tak hanya berseberangan dengan pasal 7 ayat 3 UU TNI, Yati menilai, MoU ini menunjukkan ada kemunduran dalam reformasi sektor pertahanan yang didengungkan pasca-Reformasi 1998. Reformasi yang dimaksud tertuang dalam TAP MPR Nomor VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri.
Dalam TAP MPR itu disebutkan, TNI adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan negara, sementara Polri alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan. Menurut Yati, fungsi TNI dan Polri ini jelas berbeda.
“MoU ini kemunduran paling nyata reformasi sektor keamanan,” sebut Yati.
Pandangan ganjil juga disampaikan pengamat sektor keamanan dan pertahanan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhammad Haripin. Ia menilai, ada kejanggalan dalam MoU yang baru disahkan kemarin.
“MoU ini tidak memuat keterangan secara jelas dan terukur soal "derajat kegentingan/kerawanan" dari situasi yang mengganggu harkamtibmas,” kata Haripin kepada Tirto.
Lagi pula, kata Haripin, unjuk rasa dan mogok kerja merupakan hak penyampaian pendapat. Ia menjadi heran dengan langkah Polri mengajak TNI dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). “Kapan dan dalam skala apa Polri dapat dan akan meminta perbantuan TNI? Pertanyaan yg sama juga menyangkut situasi dan kegiatan. Bentuk kegiatan masyarakat yang seperti apa?” kata Haripin.
Pada sisi lain, Haripin menyoroti masalah pertanggungjawaban MoU untuk publik sebab MoU ini merupakan kelanjutan dari MoU yang pernah dibikin pada 2013. Menurut Haripin, Polri dan TNI harus mampu memberi pertanggungjawaban soal urgensi perpanjangan MoU dan perbantuan ini.
Kembali ke Orde Baru
Soal pertanggungjawaban ini juga disinggung Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid. Usman menilai, MoU ini tidak tepat diberlakukan lantaran sistem akuntabilitas menyangkut pertanggungjawaban negara atas pelanggaran yang dilakukan TNI atau Polri tidak berjalan adil.
Menurut Usman banyak kasus kekerasan aparat terhadap warga yang mengakibatkan kematian seperti kasus La Gode, tidak pernah diselesaikan secara adil. “Jadi secara hukum ketatanegaraan, hukum pertahanan, dan sistem kemiliteran, MoU ini keliru,” kata Usman.
Tak hanya soal pertanggungjawaban, Usman merasa ada tendensi untuk mengembalikan semangat Orde Baru dalam MoU TNI-Polri ini dengan beragam isu yang diembuskan bersamaan dengan kemunculan MoU ini. Usman pun meminta DPR bersikap lantaran ada semangat Orde Baru dalam MoU dan keberadaan MoU ini berseberangan dengan UU yang dibuat di parlemen.
“Harus di-review oleh parlemen,” kata Usman menegaskan.
Poin kembalinya semangat Orde Baru ini juga dirasakan Yati Andriani. Menurut Yati, MoU ini punya rasa Orde Baru karena mengembalikan dwifungsi TNI untuk mengontrol masyarakat, padahal seharusnya TNI tunduk pada kontrol sipil.
“Jad harus mengacu ke UU TNI,” kata Yati.
MoU Mengada-ada
Wakil Ketua Komisi I DPR Hanafi Rais menilai, TNI memang punya memiliki tugas militer selain perang (OMSP) seperti diatur dalam UU, hanya saja Hanafi menilai, regulasi soal kerja sama semestinya tidak diatur lewat MoU melainkan peraturan pemerintah (PP). Selain punya dasar hukum yang kuat, PP sejalan dengan kaidah peraturan perundangan.
“Jadi kalau ada apa-apa dalam materi peraturan pemerintah itu mungkin ada keberatan atau yang lain tentu akan ada prosedurnya sendiri. Kalau MoU itu kan tidak sekuat PP apa lagi undang-undang,” ucap Hanafi.
Hanafi juga menyesalkan isi MoU yang salah satunya membawa TNI untuk menangani masalah demonstrasi. Hanafi sependapat dengan Usman dan Yati soal ada kecenderungan semangat Orde Baru dalam MoU tersebut. Ia berpandangan Polri sudah punya kapabilitas menangani kasus besar sehingga tak perlu berlebihan menyeret TNI mengamankan unjuk rasa.
“Bahkan aksi terbesar di Indonesia seperti 212 juga bisa berjalan secara damai. Enggak perlu terlalu berlebihan kekhawatiran mengenai unjuk rasa seperti MoU begitu,” kata Hanafi.
Sementara soal konflik sosial, Hanafi menegaskan, MoU ini mengada-ada lantaran sudah ada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Isi MoU akan mengulang apa yang sudah tertera dalam UU tersebut.
“Jadi sebenarnya kalau ditambahi dengan MoU yang substansinya tidak jauh berbeda dengan yang ada di UU terkait, kenapa perlu diadakan,” kata Hanafi menegaskan.
Konteks MoU
Kapuspen TNI Mayjen Sabrar Fadhillah menjelaskan perbantuan TNI dalam MoU itu merupakan perpanjangan dari MoU yang dibikin sejak 2013. Kala itu, TNI-Polri bekerja sama lantaran untuk menyiasati tidak adanya undang-undang yang mengatur TNI, dalam melaksanakan pengamanan massa bersama Polri.
“Itu bukan barang baru. [Itu] diperpanjang karena yang kemarin habis,” kata Sabrar.
MoU ini kemudian jadi landasan dalam pembuatan perjanjian kerja sama, yang mengatur secara rinci, perkara teknis apa saja yang bakal diatur kemudian.
Sabrar mengatakan bahwa sebelum MoU baru ini disepakati, TNI-Polri sudah melakukan evaluasi atas penerapan MoU yang diterbitkan pada 2013. "Sudah ada evaluasi, tiap tahun. Di sana ada masukan, pembicaraan, demi kerja sama yang lebih baik," katanya.
"Pertimbangan MoU ini agar kerja sama TNI-Polri ada payung hukumnya. Agar tidak ada penjabaran yang berbeda-beda. Apalagi tahun ini ada Pilkada," katanya, sebelum menutup sambungan telepon.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih & Maulida Sri Handayani