Menuju konten utama

Mobil Toyota Hilux Sering Seliweran di Arena Konflik, Kok Bisa?

Toyota Hilux lazim dibuat kendaraan taktis karena memang tangguh dan onderdilnya mudah didapat.

Mobil Toyota Hilux Sering Seliweran di Arena Konflik, Kok Bisa?
Toyoyta Hilux Double Cabin. (FOTO/toyota.astra.co.id)

tirto.id - Naiknya Hissène Habré menjadi Presiden Chad pada 1982 menuai amarah Muammar Gaddafi yang, selama bertahun-tahun, telah mengerahkan segala upaya agar Chad bisa lepas dari cengkeraman kolonial Prancis.

Gaddafi, Pemimpin Libya, sebetulnya memiliki hubungan baik dengan Presiden Chad sebelumnya, Goukouni Oueddei, yang memerintah dari 1979 hingga 1982. Gaddafi dan Goukouni pada 1981 bahkan sempat bersepakat untuk melakukan unifikasi Chad dan Libya.

Akan tetapi, manuver Gaddafi di Chad itu berakhir sia-sia ketika Goukouni digulingkan oleh Habré. Habré sendiri didukung oleh Prancis yang tidak ingin Chad yang kaya emas dan uranium jatuh ke dalam pengaruh Libya.

Singkat cerita, Habré kemudian menjadi Presiden Chad pada 1982 dan Goukouni menjadi pemimpin kelompok pemberontak bernama GUNT (Pemerintahan Transisi Persatuan Nasional). Gaddafi yang menolak mengakui Habré sebagai Presiden Chad pun mendukung pemberontakan GUNT. Namun, upaya Libya ini lagi-lagi kandas setelah Prancis turun tangan.

Kendati gagal menggulingkan pemerintahan Habré, pasukan Gaddafi berhasil menguasai Chad bagian utara yang berbatasan dengan Libya. Posisi Libya ini didukung oleh GUNT sampai 1986, ketika kelompok pemberontak itu berubah sikap menjadi anti-Libya. Momentum ini kemudian dimanfaatkan oleh Habré untuk menggandeng pasukan GUNT dan kemudian mengusir Libya.

Yang kemudian terjadi adalah apa yang dicatat sejarah sebagai "Perang Toyota". Pasukan Chad yang dikerahkan Habré kala itu dimobilisasi dengan menggunakan Toyota Hilux dan Land Cruiser. Tak cuma itu, mobil-mobil Toyota itu pun ada yang dimodifikasi menjadi mobil taktis, yaitu mobil bak terbuka yang dilengkapi dengan senjata, entah senapan mesin, peluncur roket, dan senjata-senjata serupa.

Mobil Toyota di Arena Perang

Sebenarnya, Perang Chad-Libya pada 1987 itu bukanlah konflik pertama yang melibatkan penggunaan mobil Toyota sebagai kendaraan taktis. Menurut pakar otomotif Edward Niedermeyer—dalam kolomnya di Bloomberg yang kemudian diunggah ulang oleh Chicago Tribune pada 2015, mobil Toyota bak terbuka bahkan sudah digunakan dalam peperangan sejak dekade 1970-an.

Ketika itu, dalam konflik antara Maroko dan Mauritania, Tentara Pembebasan Rakyat Sahrawi menggunakan mobil bak terbuka bikinan Toyota. Namun, pamor pikap Toyota dalam zona konflik benar-benar mulai meroket tatkala pasukan Chad sukses mengusir Libya pada 1987 dengan menggunakan Hilux serta Land Cruiser.

Hingga kini, baik Hilux maupun Land Cruiser masih sama-sama marak digunakan di wilayah konflik. Namun, karena jumlah Hilux sendiri masih jauh lebih banyak (17,7 juta unit terjual hingga 2017) ketimbang Land Cruiser (10 juta unit terjual sampai 2019), pada akhirnya Hilux-lah yang lebih sering digunakan sebagai "kendaraan kombatan".

Setelah Perang Toyota 1987, Hilux semakin populer di kalangan kelompok insurgensi. Taliban di Afghanistan menjadi salah satu kelompok yang paling bertanggung jawab atas terbentuknya citra Toyota Hilux sebagai kendaraan kombatan. Memasuki dekade 1990-an, Toyota Hilux seakan sudah jadi “kendaraan dinas” kelompok Islam fundamentalis tersebut.

Tak hanya itu, dalam konflik di Somalia, kelompok pemberontak pimpinan Mohamed Farrah Aidid juga menjadikan Toyota Hilux sebagai kendaraan andalan. Di wilayah-wilayah konflik lain seperti Sudan, Pakistan, Nikaragua, Etiopia, Rwanda, dan Kongo pun situasinya serupa.

Toyota Hilux menjadi andalan bagi mereka yang membutuhkan mobil tahan banting, berkapasitas penumpang cukup besar, dan, mungkin yang paling penting, bisa dengan mudah dipasangi senjata.

"Iklan" yang Tak Diinginkan

Pada 2001, seorang juru bicara Toyota pernah berkata seperti ini kepada New York Times, "Tentunya ini bukan product placement yang bisa kami banggakan. Namun, [dari banyaknya unit Hilux yang mereka gunakan] terlihat bahwa Taliban punya kriteria yang sama dalam memilih truk seperti pengguna kebanyakan. Mereka ingin truk yang tahan banting dan bisa diandalkan."

Faktanya, Toyota Hilux memang sebandel itu. Dalam sebuah episodenya, acara televisi otomotif Top Gear pernah menguji sampai mana batas ketahanan sebuah unit Hilux.

Setelah ditabrakkan sampai kapnya remuk, ditenggelamkan di laut, ditimpa dengan karavan, dihantam dengan bola baja, bahkan diledakkan, Hilux berwarna yang mereka uji masih bisa berfungsi! Bentuknya memang sudah tidak keruan, tapi mobil itu betul-betul masih bisa dikendarai.

Selain memang dari asalnya bandel, pemilik Hilux juga diuntungkan dengan banyaknya onderdil mobil yang tersedia di pasaran. Maka dengan perawatan yang begitu mudah, mobil ini pun jadi begitu populer, khususnya untuk digunakan di daerah-daerah dengan kondisi jalan yang sulit dilalui.

Sebenarnya, yang menyukai Toyota Hilux bukan cuma para kombatan. Organisasi kemanusiaan seperti PBB dan Palang Merah pun menyukai mobil yang satu ini karena ketahanannya. Akan tetapi, yang membuat mobil ini jadi populer justru kelompok-kelompok teroris dan insurgen, alias kelompok-kelompok yang justru mustahil mendapatkan Toyota Hilux (dan Land Cruiser) dari jalur resmi.

Toyota sendiri, terutama sejak marak beredarnya foto serta video kombatan ISIS menaiki Hilux, sudah berkomitmen untuk tidak menjual mobil kepada siapa pun yang ditengarai bakal menggunakannya untuk kepentingan terorisme. Mereka juga sudah memperingatkan dealer-dealer untuk patuh pada kebijakan resmi perusahaan.

Khusus Toyota Land Cruiser, Toyota bahkan sampai memaksa calon pembeli untuk berjanji tidak menjual mobil tersebut dalam kurun satu tahun.

"[Model ini] sangat populer di berbagai negara dan kami khawatir dengan maraknya penjualan mobil ini dari Jepang ke luar negeri tak lama setelah dirilis. Selain itu, kami juga khawatir dengan adanya kemungkinan mobil-mobil ini diekspor ke sejumlah wilayah dengan regulasi keamanan khusus."

Lewat Jalur Ilegal

Toyota, sebagai sebuah perusahaan, sudah memberlakukan aturan untuk mencegah mobil-mobil mereka digunakan untuk kepentingan terorisme. Namun, hal itu tak membuat jaringan teroris kehilangan akal.

Pada 2015, misalnya, di Australia, tiba-tiba saja ada lonjakan pencurian unit Toyota Hilux di negara bagian New South Wales. Ada setidaknya 473 unit curian yang gagal ditemukan dan, diperkirakan, mobil-mobil itu dikirimkan ke zona konflik di Timur Tengah.

Di saat yang bersamaan, ISIS sedang aktif-aktifnya di wilayah Suriah dan sekitarnya. Kala itu, mereka benar-benar identik dengan Hilux seperti halnya Taliban pada dasawarsa 1990-an. Ditengarai, pencurian-pencurian ini dilakukan oleh diaspora yang memiliki ikatan dengan organisasi tersebut.

Selain bandel dan "mudah didapatkan" lewat jalur ilegal, satu keunggulan lain Toyota Hilux adalah mobil ini tidak terlihat seperti mobil pasukan bersenjata. Artinya, siapa pun yang menggunakan mobil ini bisa menyaru dengan lingkungan sekitar dan mengelabui lawannya. Hal ini pulalah yang membuat militer Amerika Serikat sendiri kepincut dengan mobil seperti Toyota Hilux.

Akhirnya, melalui kontraktor Pentagon, Navistar, militer AS pun sampai memiliki "Toyota Hilux" versi mereka sendiri. Mobil ini dinamai Navistar SOTV-B. Bentuknya persis seperti Toyota Hilux tetapi dilengkapi dengan pelindung yang biasa ditemukan pada mobil-mobil pengangkut personel seperti Humvee. Menurut Navistar, SOTV-B ini adalah perpaduan sempurna antara keamanan dan penyamaran.

Dengan demikian, makin lengkaplah alasan untuk memilih Toyota Hilux sebagai "kendaraan tempur". Apalagi, saat ini peperangan sudah tak seperti dulu yang lebih banyak berlangsung secara inkonvensional lewat penyergapan dan gerilya. Maka mobil-mobil seperti Hilux serta Land Cruiser yang bandel, tahan banting, bisa mengangkut banyak orang, mudah dimodifikasi, mudah dicari onderdilnya, dan bisa menyaru dengan lingkungan sekitar niscaya bakal menjadi idola.

Baca juga artikel terkait TOYOTA atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Mild report
Reporter: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi