tirto.id - Mahkamah Konstitusi atau MK menolak permohonan dua mahasiswa Universitas Indonesia (UI) tentang perubahan waktu pelaksanaan pilkada serentak serta keharusan anggota DPR/DPD RI dan DPRD maju untuk ikut Pilkada 2024.
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi, Suhartoyo, saat membacakan putusan nomor 12/PUU-XXII/2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta pada Kamis (28/2/2024).
Dalam pertimbangan putusan, Mahkamah menyatakan tahapan pemilu tetap harus berjalan sesuai aturan. Mahkamah memandang tahapan penyelenggaraan pilkada yang berlaku akan membawa implikasi pada pelaksanaan pilkada secara nasional. Oleh karena itu, Mahkamah menegaskan bahwa jadwal pilkada yang ditetapkan sesuai Pasal 201 ayat 8 UU Pilkada tetap berlaku.
“Pilkada harus dilakukan sesuai dengan jadwal dimaksud secara konsisten untuk menghindari adanya tumpang tindih tahapan-tahapan krusial Pilkada serentak 2024 dengan tahapan Pemilu 2024 yang belum selesai. Artinya, mengubah jadwal dimaksud akan dapat mengganggu dan mengancam konstitusionalitas penyelenggaraan pilkada serentak,” kata Mahkamah dalam pertimbangannya.
Selain itu, dalam putusan perkara yang dilakukan Ahmad Alfarizy dan Nur Fauzi Ramadhan dalam pengujian Pasal 7 ayat 2 huruf s UU 10 tahun 2016 tentang Pilkada juga menegaskan bahwa calon anggota DPR, DPD dan DPRD terpilih belum melekat hak dan kewajiban mereka sebagai anggota.
Oleh karena itu, kekhawatiran pemohon yang menyatakan berpotensi tidak dapat jaminan adanya pemilihan kepala daerah dinilai berlebihan. Mahkamah beralasan, masih ada selisih waktu untuk para anggota legislatif terpilih untuk ikut Pilkada 2024 yang saat ini direncanakan berjalan 27 November 2024.
Akan tetapi, Mahkamah menilai KPU sebaiknya mensyaratkan para calon anggota yang maju sebagai calon kepala daerah untuk membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika dilantik sebagai anggota legislatif apabila tetap ingin menjadi kepala daerah.
Mahkamah pun menilai dalil belum diakomodirnya pengunduran diri terhadap calon anggota DPR, DPRD dan DPD yang menjadi kepala daerah bukan penyebab calon anggota dewan atau kepala daerah mengingkari amanat yang diberikan pemilih, termasuk menjadi second opinion dalam memilih jabatan.
Mahkamah menilai hal tersebut menjadi keleluasaan atau kebebasan bagi pemilih menentukan pilihan karena tidak tertutup kemungkinan penilaian kapabilitas dan integritas calon diketahui dan dirasakan publik.
Meskipun putusan tersebut menyatakan menolak, sejumlah hakim menyatakan perbedaan pendapat. Hakim konstitusi Guntur Hamzah menilai permohonan sebaiknya dikabulkan sepanjang frasa “menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota DPR, DPRD dan DPD sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilih inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk juga calon anggota DPR, DPRD dan DPD yang terpilih berdasarkan hasil rekapitulasi suara yang ditetapkan KPU.”
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz