tirto.id - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan fatwa terkait boleh atau tidaknya Jusuf Kalla (JK) maju kembali sebagai calon wakil presiden dalam pemilu 2019. Sebab kata Tjahjo, aturan yang ada saat ini multitafsir.
"Kalau perlu, minta fatwa MK karena kan menyangkut tata negara," kata Tjahjo di kantornya, Senin (26/2/2018) lalu.
Aturan soal masa jabatan presiden/wakil presiden diatur dalam Pasal 7 UUD 1945. Dalam pasal tersebut tertulis: "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."
Pasal hasil amandemen itu bisa jadi pembenaran bahwa presiden atau wakil presiden "dapat dipilih kembali" asalkan masa jabatannya tak berturut-turut. Dan JK, sebagaimana diketahui, jadi wakil presiden untuk dua periode putus: antara 2004-2009 dan 2014-2019.
Namun usulan Tjahjo tidak mungkin dilaksanakan MK. Kepala Bidang Penelitian dan Pengkajian Perkara sekaligus juru bicara MK, Fajar Laksono Soeroso, mengatakan kalau institusinya tidak bisa memberikan fatwa soal itu. Sebab, kata Fajar, itu bukan kewenangan mereka.
"Kewenangan MK hanya lima: menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar; memutus sengketa kewenangan lembaga negara; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilu; memutus impeachment [pelanggaran yang dilakukan presiden/wakil presiden]. Di luar dari itu tidak bisa memberi fatwa apapun," katanya di Pusdiklat MK RI, Rabu (28/2/2018).
Fajar secara tidak langsung menyanggah pernyataan politisi seperti Tjahjo yang ingin MK turun tangan menangani polemik ini. Ia mengaku "bingung" kenapa institusi yang dijuluki the guardian of constitution itu harus dilibatkan dalam perdebatan.
"Kalau pun mau ada fatwa seperti itu, Mahkamah Agung (MA) bisa melakukannya. Dimungkinkan dalam aturan," katanya. "Di MK tidak ada itu," kata Fajar kembali menegaskan.
Namun terlepas dari statusnya sebagai salah satu pejabat MK, Fajar mengatakan polemik ini sebetulnya tidak perlu karena aturan yang mengatur masa jabatan presiden/wakil presiden sebetulnya sudah jelas. Katanya, kalimat "hanya untuk satu kali masa jabatan" yang ada dalam Pasal 7 UUD 1945 berarti membatasi masa jabatan hanya untuk dua periode, entah secara berturut-turut atau tidak.
"Ini sebetulnya sudah terang, tidak bisa disebut remang-remang," katanya.
Hal senada diungkapkan Mantan Ketua MK, Mahfud MD. Katanya, secara historis Pasal 7 UUD 1945 dibuat dalam rangka membatasi kekuasaan.
"Tidak peduli [masa jabatan itu] beraturan atau tidak," kata Mahfud, Selasa (27/2/2018).
Semangat dari amandemen pasal itu adalah koreksi total atas Orde Baru yang memungkinkan seseorang menjabat sebagai presiden selama tiga dekade lebih.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Yantina Debora