tirto.id - Anak-anak merupakan salah satu kelompok yang rentan terkena virus dan kuman penyebab penyakit, karena hampir sepertiga waktunya dihabiskan di sekolah dan lingkungan, di mana pada rentang waktu itu, banyak penyakit yang bisa menulari anak, seperti influenza, typhoid, hepatitis A, hingga diare.
Terlebih, itu juga karena anak cenderung tak memiliki kekebalan tubuh yang cukup. Salah satu cara mendapatkan kekebalan itu adalah melalui imunisasi lengkap.
Melansir laman Kementerian Kesehatan atau Kemenkes RI untuk Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Agustus merupakan bulan imunisasi anak sekolah nasional.
Namun, masih banyak orang tua yang menganggap imunisasi di usia sekolah tak lagi diperlukan.
Bahkan, sebagian orang tua hanya membawa bayi mereka ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan imunisasi pada saat baru lahir saja. Mereka tak pernah datang kembali untuk melengkapi imunisasi anak mereka.
Keraguan orang tua terhadap manfaat imunisasi bukanlah hal baru. Sejak diluncurkannya program imunisasi, selalu saja ada suara kontra terhadap vaksin yang disuntikkan ke dalam tubuh anak.
Berdasarkan laporan dalam Journal of Pediatric Pharmacology and Therapeutics, ada empat alasan untuk menjelaskan mengapa kebanyakan orang tua menolak memberikan imunisasi untuk anak mereka. Antara lain terkait alasan agama, kepercayaan, keamanan, dan edukasi.
Alasan terakhir menjadi masalah pelik. Pasalnya, kurangnya edukasi dan informasi yang memadai terkait vaksin untuk imunisasi, membuatnya menjadi pro-kontra, dan kebanyakan orangtua justru termakan mitos-mitos terkait vaksin.
Meski demikian, imunisasi lengkap hingga kini masih terbukti menjadi langkah paling efektif untuk melindungi anak dari serbuan penyakit menular.
Berikut sejumlah mitos dan fakta yang perlu diketahui seputar vaksin, sebagaimana dijelaskan oleh Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kemenkes RI.
Jika kebersihan dan sanitasi terjaga baik, kuman dan virus penyakit otomatis hilang, sehingga vaksin tak lagi diperlukan.
SALAH
Faktanya, penyakit-penyakit yang telah dicegah dengan vaksinasi akan kembali menyerang, jika berhenti dari program vaksinasi.
Higienitas yang terjaga, mencuci tangan, dan menggunakan air bersih hanya akan melindungi manusia dari penyakit menular. Infeksi dari kuman-kuman dan virus penyebab penyakit tetap terjadi, sebersih apa pun orang menjaga diri dan lingkungan.
Jika divaksin, penyakit-penyakit yang sudah tak umum lagi, seperti polio dan campak, akan mewabah kembali.
Anak lebih baik mendapatkan kekebalan tubuh dari penyakitnya sendiri daripada lewat vaksin.
SALAH
Faktanya, vaksin berinteraksi dengan sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi respons imun yang mirip dengan yang diproduksi saat terjadi infeksi alamiah.
Namun, hal ini tidak sampai membuat tubuh menjadi sakit atau menyebabkan anak yang diimunisasi berisiko menderita komplikasi dari hal itu.
Mendapatkan kekebalan tubuh dari penyakit yang diderita justru berisiko lebih tinggi, misalnya menderita keterbelakangan mental akibat virus Haemophilus influenzae tipe b (Hib), kanker hati dari virus hepatitis B, atau kematian akibat virus campak.
Vaksin menyebabkan autisme.
SALAH
Faktanya, pada 1998, hasil penelitian yang menghubungkan vaksin campak, gondok, rubella (MMR) dengan kejadian autisme terbukti cacat. Makalah tentang penelitian itu kemudian ditarik oleh jurnal yang menerbitkannya.
Namun, publikasi yang terlanjur terjadi menimbulkan kepanikan orangtua. Tingkat imunisasi pun sempat turun. Hingga kini tidak ada bukti yang menyatakan vaksin MMR menjadi penyebab autisme.
Vaksin tidak memberikan jaminan 100 persen seseorang tak akan pernah sakit.
BENAR
Dengan mendapatkan vaksin flu, misalnya, seseorang akan tetap terserang influenza, tetapi dampaknya tidak akan terlalu parah.
Demikian pula dengan vaksin cacar air, hanya 80 persen melindungi dari penularannya, namun 100 persen melindungi dari penyakit yang lebih serius.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno