tirto.id - London 1951. Masyarakat Inggris menganggap periode tersebut sebagai waktu tepat untuk membenahi kota usai perang dunia. Maka digelarlah Festival of Britain, sebuah ajang yang menampilkan berbagai proyek pembangunan dan inovasi teknologi. The Telegraph menyebut acara ini sebagai ajang perayaan modernisme Inggris.
“Di sini orang mulai memperkenalkan desain bangunan dan furnitur yang ‘bersih’ dalam arti minim lekukan dan detail. Acara ini pun menampilkan perlengkapan rumah tangga yang bisa menghemat penggunaan tenaga manusia," tulis mereka.
Sementara itu Herbert Morrison, Menteri Ketenagakerjaan, berharap agar Festival of Britain turut jadi acara yang menghibur. Untuk perkara hiburan, urusan itu diserahkan pada Eric Morley, seorang pembawa acara televisi. Ia bertugas merancang konsep acara yang menyenangkan.
Ide yang muncul saat itu adalah membuat kompetisi kecantikan. Eric menyebut acara itu Miss World Festival Bikini Girl, sebuah acara yang menampilkan 16 wanita dari berbagai negara, seperti Inggris, Amerika Serikat, Denmark, Prancis, Belanda, dan Rusia. “Semua wanita tampil menggunakan bikini. Pada masa itu, hal tersebut adalah hal yang mengejutkan,” kata Eric.
The New York Times melaporkan bahwa awalnya Miss World tidak dirancang untuk jadi acara tahunan. Tetapi saat Amerika Serikat menyelenggarakan Miss Universe setahun setelah Miss World diadakan, Eric merasa perlu menjadikan kompetisi itu sebagai acara tahunan. Seiring waktu, Miss World jadi acara yang diminati sekaligus mengundang kontroversi.
Pada tahun 1970 sekelompok aktivis perempuan melakukan protes pada malam final Miss World yang diselenggarakan di Royal Albert Hall, London. Para aktivis menganggap kontes kecantikan tersebut sebagai acara yang tidak memberdayakan perempuan. Sebagian dari mereka menyelinap ke dalam ruangan, melemparkan pamflet, dan membentangkan spanduk protes. Selain membawa spanduk, mereka juga melemparkan bom bau, bom asap, dan flour bombs.
“Ruangan acara penuh asap. Situasi saat itu benar-benar kacau,” kata Jenny Fortune, salah satu pelaku protes.
Setelah protes terjadi, Miss World seolah ingin memperbaiki diri. Eric Morley meminta Julia, istrinya, untuk mengurus acara. Sang istri berusaha membuat acara nampak lebih berbobot dengan mendirikan organisasi Beauty with Purpose, lembaga yang bertujuan membuat aksi amal. Dengan adanya organisasi tersebut, para pemenang Miss World diharapkan mampu jadi duta aksi sosial.
Sesungguhnya salah satu alasan Julia membentuk organisasi tersebut ialah rasa muak melihat Eric yang meminta para kontestan melakukan berbagai pose dalam kostum busana renang. Vanity Fair mengisahkan bahwa Julia kerap memaki kelakuan sang suami tersebut. Waktu itu, kompetisi kecantikan ini mensyaratkan peserta harus memiliki bentuk paha sempurna, gigi rapi, rambut tebal, dan wajah cantik. Ada kalanya Julia merasa bahwa sang suami melakukan tindakan yang tidak terpuji dengan para wanita muda tersebut.
Julia terobsesi membuat Miss World berkembang dan hendak mengubah citra kompetisi bikini dalam Miss World. Pada akhir 1970-an, itu terwujud ketika para pemenang kompetisi tampil mengenakan gaun pesta. Perlahan, citra Miss World berubah. Hasilnya, ajang ini cukup banyak mendapat respons positif.
Sekitar satu dekade kemudian, Miss World diikuti kontestan dari 86 negara. Julia beranggapan bahwa ajang ini menggerakkan bisnis pariwisata bagi tuan rumah. Kepada The Telegraph, Julia berkata bahwa kedatangan turis mancanegara ke Afrika Selatan melonjak tiga kali lipat setelah negara itu menjadi tuan rumah Miss World dari 1992 hingga 1995. Hal serupa terjadi pula ketika Miss World diselenggarakan di Maladewa, Polandia, dan Tiongkok. Penyelenggaraan Miss World juga berdampak pada terbukanya lapangan kerja baru.
Julia pun mengisahkan bahwa tayangan 50 tahun Miss World ditonton sekitar 2 miliar orang. Bagi Julia, acara tersebut bisa disandingkan dengan minat publik terhadap Royal Wedding. Hal itu turut berpengaruh pada tingkat kepercayaan para donatur terhadap proyek yang dilakukan Beauty With Purpose. Pada tahun 2012, Vanity Fair menyebut bahwa organisasi tersebut meraih dana sekitar 240 juta dolar untuk amal.
Tahun 2014 Julia menerapkan kebijakan melarang sesi kompetisi bikini dalam kontes. Ia juga mulai meminimalisir keikutsertaan para model dalam kompetisi. “Kami butuh sosok yang tidak manja,” katanya. The Washington Post mencatat bahwa seiring waktu, Miss World butuh pemenang dengan pembawaan klasik dan elegan.
Julia ingin agar penampilan elegan itu turut ditunjang oleh kebiasaan melakukan kegiatan amal. Kontestan akan punya nilai lebih bila ia terbiasa melakukan kegiatan seperti pengembangan komunitas atau perancangan program pendidikan bagi anak kurang mampu. Hal itu pula yang terjadi pada pemenang Miss World tahun ini.
Vanessa Ponce de Leon, kontestan asal Meksiko, terpilih setelah ia rela meninggalkan profesi modelnya dan terlibat aktif dalam sebuah organisasi pusat rehabilitasi dan rutin jadi sukarelawan dalam proyek untuk membantu kaum imigran.
Editor: Nuran Wibisono