tirto.id - Hampir tiga tahun kiprah Front Pembela Islam (FPI) tenggelam di balik bayang-bayang Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama dan Persaudaraan Alumni (PA) 212. Gerbongnya berhenti bergerak. Tokoh FPI seperti Slamet Maarif sibuk dengan PA 212 dan Novel Bamukmin juga demikian. Tapi semua itu berubah ketika Muhammad Rizieq Shihab kembali ke Indonesia. FPI moncer lagi dan siap berdenyut kembali.
Pada Selasa (10/11/2020) FPI mengadakan sambutan besar-besaran bagi Rizieq. Pengikutnya memadati bandara Soekarno-Hatta, bahkan sampai memasuki Terminal 3, tempat kedatangan. Beberapa penerbangan terpaksa dibatalkan. Tidak hanya itu, polisi bahkan melakukan diskresi dengan membiarkan rombongan dan pawai penyambutan Rizieq menggunakan jalan tol secara bebas—termasuk yang mengendarai motor.
Setelah itu, di Petamburan, ribuan simpatisan FPI berkumpul dan berkerumun di kediaman Rizieq. Aparat negara seperti membiarkannya. Satgas COVID-19 malah mengirimkan perlengkapan protokol kesehatan seperti masker dan sarung tangan kepada simpatisan FPI.
Tiga pekan kemudian, massa yang diduga simpatisan FPI menggeruduk rumah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di Pamekasan, Jawa Timur. Empat anggota FPI ditangkap sebagai imbas dari peristiwa itu. Dalam pengepungan rumah yang dihuni ibunda Mahfud, massa meminta Mahfud turun tangan mendesak polisi untuk tidak memeriksa Rizieq terkait dugaan pelanggaran protokol kesehatan.
Rizieq menghindari panggilan polisi hingga tiga kali. Keengganan Rizieq kemudian berujung pada pertumpahan darah. Enam anggota laskar FPI meregang nyawa setelah ditembak timah panas oleh polisi.
Klaim polisi: anggota laskar melakukan perlawanan dengan senjata. Klaim FPI: polisi menculik anggota laskar dan kemudian melakukan pembunuhan di luar hukum. Keduanya mengklaim tanpa bukti yang kuat dan transparan.
Aksi-aksi FPI belakangan membuat publik kembali teringat bahwa mereka adalah kelompok jalanan yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Pemerintah Membiarkan
Setelah Pilpres 2019, FPI mulai kehilangan taji. Dedengkot FPI yang banyak bergabung ke Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) berpisah jalan dengan Prabowo Subianto. Ketua Umum Partai Gerindra itu bergabung ke kabinet Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Petinggi PA 212 sendiri tidak mendapatkan jabatan publik apapun di pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.
Keberadaan PA 212 dan FPI di luar lingkar pemerintahan sebenarnya bisa menjadi bagian dari oposisi jalanan. Apalagi di tengah absennya oposisi parlementer, peran oposisi jalanan menjadi penting. Tapi tindak kekerasan yang kerap mereka lakukan patut disayangkan.
Aksi-aksi vigilantisme yang dilakukan FPI membuat sebagian publik menginginkan agar ormas ini dibubarkan. Pembubaran FPI bahkan sudah menjadi wacana publik sejak 14 tahun lalu. Saat itu Rizieq menyatakan akan mendirikan ormas baru apabila FPI dibubarkan. Pada tahun 2006 FPI belum menjadi ormas yang terdaftar resmi. Pemerintah keberatan FPI tidak mencantumkan Pancasila sebagai asas organisasi.
Setelah itu jejak kekerasan FPI kian marak dan beragam. Pada 2011 Ketua FPI Bekasi, Murhali Barda, dihukum lima bulan dan 15 hari penjara karena menusuk jemaat gereja HKBP di Bekasi. Tahun berikutnya, FPI menolak konser penyanyi asal Amerika Serikat, Lady Gaga. Akhirnya konser batal dengan alasan keamanan. Pada 2014, saat demonstrasi di Balaikota DKI Jakarta, tiga orang anggota FPI kedapatan membawa senjata tajam.
Polda Metro Jaya kemudian membuat rekomendasi pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) agar FPI dibubarkan. Basuki Tjahaja Purnama (BTP) yang saat itu menjadi Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta juga memberikan rekomendasi kepada Kemenkumham dan Kemendagri agar FPI dibubarkan. Alasan utamanya karena Pemprov DKI Jakarta tidak mencatat FPI sebagai ormas resmi yang beraktivitas di ibu kota.
Hingga 2016, pembubaran FPI belum juga terealisasi. Kapolri kala itu, Jenderal Tito Karnavian, beralasan pemerintah butuh legitimasi publik agar satu ormas bermasalah seperti FPI bisa dibubarkan. Perkaranya, ada juga yang “tidak menghendaki” FPI dibubarkan. Perkara pelanggaran hukum, FPI punya banyak catatan dan itu cukup menjadi alasan agar ormas ini ditiadakan.
Tito mengambil contoh lain, yakni ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Menurutnya, HTI tidak bisa dibubarkan dengan pertimbangan terbalik dengan FPI. Publik menghendaki, tapi tidak ada pelanggaran hukum.
Nyatanya, setahun kemudian, HTI tetap dibubarkan berdasar Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan karena dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Tindakan pemerintah agak bertolak belakang ketika menghadapi FPI.
Sampai sekarang, FPI tidak kunjung bisa memperpanjang surat keterangan terdaftar (SKT) yang diperlukan agar ormas diakui secara resmi oleh negara. Alasannya terletak pada Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Mereka mencantumkan terminologi khilafah Islamiyah, tapi tidak memuat ikrar setia pada NKRI.
Namun, pemerintah masih menunggu sampai FPI mau memperbaiki AD/ART-nya. Sekali lagi, pemerintah tidak berani atau tidak bisa membubarkan FPI. Negara dan para elite sepertinya menyayangi ormas ini. Sejak era kepresidenan SBY sampai Jokowi, tak ada presiden yang cukup tangguh menggoyahkan FPI atau membawa mereka ke pengadilan.
Hasil survei lembaga Saiful Mujani Research Center (SMRC) pada November 2020 dengan 1.201 responden menunjukkan dari 73% responden yang tahu Rizieq Shihab, hanya 43% yang mengaku suka dengan sosok tersebut. Padahal biasanya tingkat ketersukaan di antara mereka yang tahu dengan tokoh itu mencapai 80%.
Sedangkan 69% responden juga tahu dengan FPI serta aktivitasnya. Hanya 43% yang menyukai FPI dan 41% mengaku tidak suka. Dari hasil ini, SMRC menilai publik juga sesungguhnya tidak senang dengan FPI dan sosok Rizieq tidak mengancam pemerintah dalam konteks politik.
Mark Woodward, Mariani Yahya, Inayah Rohmaniyah, Diana Murtaugh Coleman, Chris Lundry, dan Ali Amin dalam penelitian berjudul "The Islamic Defenders Front: Demonization, Violence and the State in Indonesia" (2013) menganggap FPI memang dibiarkan oleh aparat. Pada beberapa kasus kekerasan FPI, polisi justru menyalahkan korban.
Dalam beberapa kesempatan, polisi bahkan tidak merespons apapun terhadap serangan FPI pada kaum minoritas. Woodward dan kawan-kawan juga menemukan korban kekerasan FPI di Yogyakarta tahun 2013 hanya ditertawai polisi ketika dia putus asa memohon pertolongan.
Polisi bahkan terlihat akrab dengan FPI. Beberapa kali polisi membantu menyediakan logistik dan berbagi makanan. Woodward dan kawan-kawan menduga pemerintah dan polisi tidak berdaya terhadap kekerasan FPI karena takut dicap “tidak Islami” atau “mereka sebenarnya menaruh simpati pada tujuan FPI dan mengesampingkan tindakan kriminal yang dilakukan FPI.”
Preman Jalanan Masuk ke Politik
Setelah Soeharto lengser, kelompok-kelompok jalanan yang terorganisasi, beberapa di antaranya terdiri dari para preman dan kaum Islam radikal, kian berkembang. Robert W. Hefner melalui artikel bertajuk "Muslim Democrats and Islamist Violence in Post-Soeharto Indonesia"(2009) mencatat bahwa kelompok Islam radikal ini menjadi grup paramiliter yang sengaja dirangkul oleh kroni-kroni Soeharto demi mengamankan peralihan kekuasaan. Salah satu orang yang merangkulnya tak lain adalah Wiranto.
Dia memobilisasi sekitar 100 ribu milisi yang merupakan kelompok radikal Islam untuk menghadapi protes mahasiswa progresif setelah kejatuhan Soeharto. Kelompok yang tak ragu melakukan kekerasan itu dikumpulkan dalam satu wadah bernama Pam Swakarsa. Mereka menjadi momok bagi mahasiswa menjelang Sidang Istimewa MPR 1998.
Wiranto menampik bahwa dia punya kedekatan istimewa dengan FPI dan Rizieq. Namun, menurut Hefner, Wiranto bertanggung jawab atas berdirinya FPI sekitar tiga bulan setelah Soeharto jatuh. Keterlibatan FPI dalam perekrutan anggota Pam Swakarsa dan protes kepada Komnas HAM atas pemeriksaan Wiranto pada tahun 2000 cukup menjadi indikasi penting bahwa Wiranto dan FPI bertalian erat.
Dalam perkembangannya, FPI mengalami hubungan panas-dingin dengan aparat dan masyarakat. Kendati masih saja ada yang mendukung razia yang dilakukan FPI, banyak juga yang tak terima penerapan vigilantisme di tengah masyarakat. Beberapa kali, aksi semacam itu berujung hilangnya nyawa.
Salah satu yang bisa dijadikan contoh adalah razia yang dilakukan FPI di Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah tahun 2013. Bukan hanya menutup, FPI merusak tempat hiburan di kawasan tersebut. Warga yang tak terima kemudian merusak mobil FPI. Hantaman warga ini berimbas serangan balik dari FPI satu hari berselang. Dalam serangan itu, mobil FPI yang sedang meninggalkan lokasi menabrak seorang ibu dan anak yang menaiki motor sehingga sang ibu meninggal dunia.
Sekilas, FPI yang awalnya dipakai untuk kepentingan politik kemudian menjadi kelompok penekan yang biasa bergerak atas nama agama. Pada Pilpres 2009 ormas ini mendukung Jusuf Kalla-Wiranto; gagal. Kemudian FPI mendukung Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli di Pilkada Jakarta 2012; gagal lagi. Pada Pilpres 2014 menyokong Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa; kandas. Dukungan politik FPI ternyata tidak cukup kuat untuk memenangkan pertarungan elektoral.
Pilkada Jakarta 2017 menjadi titik balik FPI. Ormas ini memainkan politik identitas dan terbukti cukup ampuh memengaruhi pemilihan orang nomor 1 di Jakarta.
FPI dan beberapa ormas Islam menolak BTP sebagai pemimpin Jakarta. Salah satu alasannya: BTP beragama Nasrani—yang dalam pengertian mereka merupakan orang kafir. FPI menentang kaum muslim dipimpin seorang kafir karena, menurut mereka, dilarang oleh agama.
BTP kemudian tersangkut kasus penistaan agama. Pada 27 September 2016, dalam pertemuan dengan warga di Kepulauan Seribu, BTP mengajak masyarakat agar memilih pemimpin tanpa mencampuradukkan urusan spiritualitas dengan politik. Ucapan BTP itu memicu demonstrasi besar-besaran di Jakarta dengan FPI sebagai motor utama.
Pengampu mata kuliah Ilmu Politik dan Keamanan di Universitas Murdoch, Ian Wilson, menuliskan bahwa unjuk rasa dan mobilisasi demonstran itu adalah bukti kesuksesan besar FPI. Paling tidak, mobilisasi massa untuk turun ke jalan berhasil mendapat perhatian publik.
Berkali-kali Rizieq dan kawan-kawan sukses mengundang ratusan bahkan ribuan orang untuk berdemonstrasi. Aksi menentang BTP ini berlangsung beberapa kali dan menjadi semacam serial unjuk rasa. Mulai dari demonstrasi 4 November 2016 (411), 2 Desember 2016 (212), 31 Maret 2017 (313), dan semacamnya.
Tidak hanya itu, Rizieq juga menginisiasi Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah (MTJB) yang digelar dari 26 Februari hingga 10 Maret 2016. Gunanya adalah mencari calon yang bisa berkontestasi melawan BTP. Nama acaranya jelas mendengungkan politik identitas: Konvensi Gubernur Muslim (untuk) Jakarta.
Akhirnya, BTP yang berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat kalah oleh pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno dalam pilkada yang berlangsung dua putaran.
Kemenangan Anies-Sandi kemudian menjadi bingkai dalam mereproduksi isu berbasis politik identitas untuk menyerang kekuasaan Jokowi. Pada Pilpres 2019, FPI dan para loyalis gerakan 212 mendapat dukungan dari pasangan Prabowo-Sandiaga.
"Aliansi ini telah membantu mendorong FPI yang sebelumnya hanya kelompok jalanan menjadi pusat politik Islam dan nasional," catat Ian dalam tulisannya di New Mandala.
Sebenarnya politik identitas tidak selamanya bermakna negatif. Salah seorang inisiator gerakan Black Lives Matter (BLM)di AS, Alicia Garza, mencatat bahwa penggunaan politik identitas bisa saja tidak memecah belah persatuan suatu bangsa. Menurutnya, politik identitas dapat digunakan oleh kaum minoritas (kulit hitam) untuk menentang supremasi kulit putih. Dalam konteks ini, politik identitas dapat memastikan tidak ada satu pun kaum di luar mayoritas yang tak terpenuhi kebutuhannya.
"Politik identitas adalah ancaman bagi mereka yang memegang kekuasaan karena itu menggoyahkan kontrol yang sudah ada. Politik identitas adalah ancaman bagi kekuatan kulit putih," catat Garza dalam tulisan berjudul "Identity Politics: Friend or Foe?"(2019).
Tapi dalam konteks FPI dan gerakan 212, politik identitas menjadi salah satu sumber perpecahan. Charlotte Setijadi dari Yusof-Ishak Institute mencatat bahwa demonstrasi anti-Ahok (BTP) yang digerakkan FPI dan ormas Islam lain bukan memboyong kesetaraan, mereka justru memperkuat polarisasi pada Pilkada Jakarta.
“Kesuksesan politisasi kasus penistaan agama menunjukkan bahwa faksi Islam konservatif semakin terbekali dengan dana yang cukup, terorganisasi, dan terkait dengan politik. Mereka mampu memobilisasi suara untuk pemilu. Kekuatan politik ini bisa jadi salah satu pertimbangan untuk Pilkada 2018 dan Pilpres 2019,” catat Charlotte dalam artikel berjudul "Ahok’s Downfall and The Rise of Islamist Populism in Indonesia" (2017, PDF).
Pilkada Jakarta 2017 akhirnya kian menguatkan peran FPI di panggung politik. Organisasi yang kerap melakukan aksi vigilantisme ini masih hidup hingga sekarang dan mungkin simpatisannya semakin bertambah. Siapa yang paling menangguk untung dari aktivitas ormas macam ini? Tentu saja para elite politik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan