tirto.id - Pada 2005, ketika iPhone dan Android belum lahir, salah seorang eksekutif Google pernah bertanya: “Apa bahayanya jika Google tidak menggarap pencarian bertipe vertikal?”
Charles Duhigg, dalam laporannya untuk The New York Times, menyebutkan bocoran email internal Google yang menjawab pertanyaan itu: “Google.com akan kehilangan cukup banyak pengguna lantaran pencarian bertipe vertikal akan dicari pengguna internet di tempat lain.”
Mesin pencari seperti Google, Bing, atau Baidu merupakan mesin pencari bertipe horizontal. Secara umum, Google dan kawan-kawannya pertama kali bekerja dengan mengirimkan “spider” atau “web crawler” untuk menangkap dan mengindeks hampir semua laman web di alam internet. Kemudian, algoritma seperti PageRank milik Google menampilkannya sesuai tingkat relevansi dari kata kunci yang diketik pengguna.
Makna “horizontal” yang dimaksud ialah Google melahap semua laman web dan menampilkannya dengan cara umum. Tatkala pengguna mengetik “iPhone murah,” misalnya, Google akan memberikan laman-laman web yang di dalamnya mengandung kata “iPhone”, “murah”, atau keduanya. Dengan kerja demikian, semenjak berdiri pada 1998 hingga hari ini, Google berkuasa di dunia mesin pencari horizontal. Setiap detik, mereka memproses lebih dari 40 ribu kata kunci pencarian yang dilakukan penggunanya. Artinya, dalam sehari, ada lebih dari 3,5 miliar kata kunci yang diproses Google.
Masalahnya, mengingat betapa berharganya AdSense dan perolehan pendapatan AdSense sangat tergantung pada seberapa banyak pengguna internet yang berkunjung, banyak situs web mengoptimalkan Search Engine Optimization (SEO) guna mendulang 33 persen lalu lintas lebih dari Google. Maka, tatkala “iPhone murah” diketik di kolom pencarian Google, bukan hanya situs e-commerce yang menampakkan diri, tapi juga blog, media online, serta jenis-jenis situs web lainnya yang jelas tak berhubungan langsung dengan sebuah produk bernama iPhone dan berharga murah yang siap dibeli.
Lalu lahirlah mesin pencari bertipe vertikal untuk mengatasi masalah ini. Kevin Curran, dalam “Vertical Search Engines” (2007) menyebut bahwa mesin pencari bertipe vertikal menangkap dan mengindeks laman web dengan tema-tema spesifik, seperti produk dari berbagai kanal e-commerce atau berbagai tiket perjalanan dari berbagai laman maskapai penerbangan. Jika Google menampilkan hasil pencarian hanya dari laman-laman yang mengandung “iPhone”, “murah”, atau keduanya, mesin pencari vertikal akan menampilkan hasil pencarian berupa produk “iPhone” dari berbagai kanal e-commerce dan menempatkan yang paling murah di posisi teratas.
Kemudian muncullah iPrice (yang membandingkan produk dari berbagai e-commerce), Foundem (membandingkan produk) Cheapflights (membandingkan harga tiket pesawat), hingga SkyScanner (membandingkan tiket). Dalam pendefinisian mesin pencari vertikal yang lebih luas, Traveloka (membandingkan tiket antar maskapai) hingga Oyo (membandingkan antar penyedia hotel) masuk kategori ini. Bahkan jika pengguna ingin mencari tahu jawaban langsung dari “x+y=10, x-y=4”, mesin pencari spesifik yang dapat langsung memecahkan masalah seperti WolframAlpha bisa digunakan.
Dalam laporannya untuk Wired (24/2/2011), Ryan Singel menyebut bahwa menghasilkan jawaban langsung ala mesin pencari vertikal “adalah masalah di dunia web yang tersulit”. Menurut Singel, satu persen dari total pertanyaan yang diterima Google ialah tentang resep makanan. Dulu, ketika belum mengimplementasikan pencarian vertikal, Google hanya akan menghasilkan pencarian dari Epicurious atau Food Network. Kini, mengetahui Google bisa ditinggal jika tidak ikut masuk ke dunia vertikal, resep langsung dihidangkan di laman pertama pencarian Google.
Bukan hanya resep, tapi juga lirik lagu, tiket maskapai penerbangan, hingga tentu saja, produk dari berbagai e-commerce.
David Chmelar, pendiri sekaligus chief executive officer (CEO) iPrice, menyatakan tak gentar melihat Google perlahan telah masuk menggarap pencarian vertikal. Google Shopping, layanan mesin pencari vertikal ala Google yang langsung menghadirkan barang yang dikehendaki dari berbagai e-commerce, adalah layanan berbayar.
“Jika saya memiliki toko online dan tidak membayar pada Google, produk saya tidak akan ditampilkan,” kata Chmelar. “Karena strategi demikian, hasilnya, dengan Google Shopping, Anda tidak akan memperoleh barang dengan harga terbaik karena yang mau membayar saja yang akan ditampilkan.”
Masalah lainnya, menurut Chmelar, “Google shopping adalah produk global dan diciptakan sesungguhnya untuk pasar Amerika serikat, pasar terbesarnya". Google hanya mereplikasinya untuk pasar di negara-negara lain.
Merangkum produk-produk dari e-commerce di Asia Tenggara, seperti Shopee, Lazada, hingga Tokopedia, adalah tantangan tersendiri.
Xiao Yan Xu, dalam “Research on the Development of Vertical Search Engines” (2012) menyatakan salah satu tantangan terbesar melahirkan mesin pencari vertikal yang baik ialah kenyataan bahwa mesin pencari vertikal “hanya menangani sebagian kecil data dari dunia web, yang umumnya berasosiasi dengan industri spesifik”. Kayak, misalnya, hanya perlu mengindeks situs-situs penjualan tiket pesawat. iPrice, hanya perlu memahami bagaimana situs belanja online bekerja. Di sisi lain, sebagai mesin yang melahap segalanya, Google terlalu banyak memiliki data.
Lantas, sepenting apa mesin pencari vertikal? Menurut publikasi ComScore, ketika pengguna ingin membeli tiket pesawat, misalnya, mereka “sebaiknya mengklik Cheapflights atau Kayak" karena dua situs itu "benar-benar memahami kebutuhan terkait perjalanan dan mereka tidak akan membanjiri hasil pencarian dengan konten asing, konten yang dioptimalisasikan untuk SEO".
Curran, masih dalam papernya, menyatakan tingkat kegagalan atau kesalahan menampilkan jawaban yang relevan mencapai 31,9 persen karena mesin pencari horizontal mengindeks hampir seluruh laman web.
Berbagai layanan mesin pencari vertikal menggoyang dominasi Google di ranah pencarian umum yang pada 2019 lalu sukses menghasilkan $113,26 miliar untuk induk usahanya, Alphabet.
Tapi, apakah layanan-layanan mesin pencari vertikal atau kadang disebut situs agregator benar-benar menghasilkan jawaban terbaik? Misalnya, apakah mereka benar-benar menjawab "iPhone termurah” atau “tiket Jakarta-Ho Chi Minh termurah” dengan baik?
Pada 2017, Andrea Giacobbe, konsultan manajemen berusia 52 tahun, mengalami nasib buruk menggunakan mesin pencari vertikal. Kala itu, ketika hendak pulang kampung ke Genoa di Italia dari tempatnya mencari nafkah di New York, ia memanfaatkan Skyscanner guna memperoleh tiket termurah. Skyscanner merekomendasikan sebuah penerbangan Alitalia dengan dua kali transit, di Milan dan Roma, seharga $2.050.
Merasa kemahalan, Giacobbe menghubungi langsung pihak maskapai dan ternyata mereka menawarkan tiket seharga $1.550 untuk tujuan yang dikehendakinya dengan hanya satu kali transit di Roma.
“Kenyataan ini menyadarkan saya,” tegas Giacobbe, sebagaimana dikatakannya pada Doug Garr untuk laporannya yang dimuat Wired.
Menurut Garr, prasangka awal pengguna internet terhadap mesin pencari vertikal atau agregator terbilang baik. Mereka dianggap memiliki rahasia khusus, memiliki mesin pencari hebat yang dikerjakan programer jenius untuk menuntun penggunanya menemukan harga terbaik atau jawaban langsung yang memuaskan. Namun, karena kompetisi semakin berat, para pelaku mesin pencari vertikal mulai berbuat ulah. Jawaban pencarian yang baik kini kebanyakan hanya ilusi.
“Tiket too-good-to-be-true seharga $99 dari Eropa ke California mesti ditebus dengan tiket pulang seharga $400,” tulis Garr.
Mantan programer Priceline yang diwawancarai Garr menyebut bahwa hasil pencarian yang tidak memuaskan terjadi karena perusahaan-perusahaan di industri spesifik yang diajak bekerjasama telah enggan membayar fee.
“Hotel tidak mau lagi memberikan agregator penawaran yang bagus seperti dahulu kala,” katanya. “Maskapai sudah enggan membayar apapun kepada agregator.”
Editor: Windu Jusuf