tirto.id - “Seberapa penting suatu situs web sangat subjektif, tergantung pada minat dan pengetahuan pembaca,” tulis Larry Page mengawali papernya berjudul “The PageRank Citation Ranking: Bringing Order to the Web” yang dipublikasikan pada Januari 1998.
Semenjak diinisiasi Tim Berners-Lee melalui proposal berjudul “Information Management: A Proposal” untuk institusi ilmiah CERN di awal dekade 1990, internet atau dunia web berkembang menjadi pusat informasi umat manusia. Pada pengujung dekade tersebut, sebagaimana ditulis Page, diperkirakan ada 150 juta situs web dengan 1,7 miliar link (tautan) atau edge.
Dengan jumlah yang besar itu, mencari informasi yang objektif sukar dilakukan. Apalagi, di tahun awal internet, hasil pencarian mesin pencari lebih mengurutkannya secara alfabetis atau yang setaraf. Selain itu, tulis Page, situs web bertolak belakang dengan publikasi akademis. Jika publikasi akademis terstruktur dan terkontrol, situs web tidak. Siapapun, dengan kemampuan seberapa besar pun, mampu menciptakan konten infomatifnya sendiri. Menurut Page, menciptakan sistem yang objektif dan baik menjadi hal yang "sangat menantang" dalam kondisi tersebut.
Melihat kesulitan itu, Page lantas menawarkan PageRank, metode memberi rating atau nilai suatu situs web secara objektif dan mekanikal. Rating diberikan atas seberapa banyak link yang mengarah ke suatu situs web itu.
“Umumnya, situs web yang memiliki banyak link yang mengarah padanya lebih penting dibandingkan yang sedikit,” tulis Page.
Atas pemikiran itu, Page, bersama rekannya bernama Sergey Brin, menciptakan dua mesin pencari web, yang termaktub dalam proyek Stanford University bernama Stanford WebBase. Pertama, mesin pencari yang dibuat ialah yang sederhana. Yang mengurutkan hasil pencarian hanya berbasis algoritma PageRank. Kedua, ialah mesin pencari yang selain menggunakan PageRank, juga memanfaatkan information retrieval (IR), proximity, dan anchor text. Mesin pencari kedua itu dikenal dengan nama: Google.
Semenjak mengudara di dunia maya pada 4 September 1998, Google perlahan menjadi penguasa mesin pencari, mengalahkan AltaVista, AOL, hingga Yahoo. Pada 1999, di salah satu edisinya, majalah Time menyatakan Google masuk 10 besar “Best Cybertech of The Year” dengan alasan "Google sukses membuat pencarian jadi sederhana".
Google kemudian jadi penguasa yang tak terbantahkan. Hingga Januari 2019, misalnya, Google menguasai 89,95 persen pangsa pasar mesin pencari dunia.
Di bawah Google, ada sejumlah pemain mesin pencari. Mereka berebut sisa pangsa pasar yang tidak terangkut Google. Ada Bing, dari Microsoft, menggondol 3,99 persen pangsa pasar dan berada di posisi runner-up. Pemain lawas Yahoo ada di posisi ke-3 dengan 2,84 persen. Baidu, yang memperoleh keuntungan “the Great Firewall of China” menyodok dengan 0,56 persen pangsa pasar.
Privasi
Di luar nama-nama itu, muncul pula mesin pencari bertema spesifik: privasi. Mesin pencari ini menawarkan hal yang tidak bisa diberikan oleh Google, yakni terkait privasi.
Pada tahun 2018, merujuk laporan keuangan Google, perusahaan itu mendulang pendapatan sebesar $137 miliar. Dari angka itu, mayoritas disumbang pendapatan iklan, yang mencapai $116,3 miliar.
Iklan yang dijajakan Google tak serupa dengan iklan yang dijajakan media konvensional. Google, menjajakan iklan personal. Dalam laman resmi mereka, iklan personal bisa dijajakan karena Google mengambil tiga jenis data penggunanya, yakni info personal, seperti usia, lokasi, ataupun jenis kelamin, info aktivitas, seperti kata kunci pencarian, situs web yang dikunjungi, hingga perangkat yang digunakan, dan info lainnya, seperti kapan kunjungan internet dilakukan.
Google, secara sederhana, mengambil data penggunanya.
Atas perilaku Google itu, muncul mesin pencari yang fokus melindungi privasi pengguna, seperti DuckDuckGo, SearchEncrypt, hingga Startpage.
Gabriel Weinberg, pendiri sekaligus Kepala Eksekutif DuckDuckGo, menyebut secara tersirat bahwa mesin pencari yang mengambil data penggunanya cenderung bias. Menurutnya, pengguna "dimanipulasi untuk melakukan sesuatu atau membeli sesuatu berdasarkan data-data pribadi". Alih-alih memberikan hasil relevan nan objektif, pengguna lebih sering menerima hasil yang bias.
“Di dunia online ada algoritma sok tahu yang mengendalikan apa yang kamu lihat berdasarkan catatan data kamu. Kamu, kemudian akan diberikan data bias bertubi-tubi oleh algoritma,” tegas Weinberg.
Selain masalah bias, menurut Weinberg, kata kunci yang diketik pengguna di mesin pencari adalah sesuatu hal yang intim dan sangat personal. Kata kunci yang terkait segala masalah pribadi, kebutuhan pribadi, hingga keingintahuan pribadi.
Pada laman resmi DuckDuckGo, aturan main mesin pencari itu sederhana: DuckDuckGo tidak mengumpulkan juga menjual data pengguna, selamanya.
Serupa dengan DuckDuckGo, ada pula SearchEncrypt. Seperti namanya, mesin pencari ini mengenkripsi setiap kata kunci yang diketikkan pengguna dalam kolom pencarian guna melindungi privasi.
Sementara itu, Startpage memilih cara lain. Di laman resmi mereka tertulis bahwa “mengalahkan Google adalah kemustahilan.” Namun, mereka sadar bahwa privasi adalah hal berharga. Startpage lantas membeli hasil pencarian Google dan menampilkannya di laman mereka dengan satu keistimewaan: tidak ada alat pelacakan data terpasang.
Lantas, bagaimana mesin pencari seperti DuckDuckGo, SearchEncrypy, hingga Startpage memperoleh uang: Jawabannya sama saja. Mereka menjual keyword-based advertising, tetapi dengan embel-embel tanpa sensasi personal.
DuckDuckGo sendiri mengklaim telah menjadi perusahaan yang menguntungkan sejak 2014.
Tertarik mencoba?
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti