tirto.id - Nama Christopher Latham Sholes mungkin tak setenar Thomas Alva Edison, Nikola Tesla, atau Alaxander Graham Bell. Padahal, jika boleh berkata jujur, apa yang dilakukan Sholes tak kalah mentereng (dan berkontribusi besar) dibanding nama-nama tersebut. Kepada Sholes kita mesti mengucapkan terima kasih; karena atas temuannya, kita sekarang bisa menikmati benda yang disebut papan ketik QWERTY—baik di komputer maupun telepon genggam.
Sama seperti listrik, telepon, hingga lampu, papan QWERTY juga punya riwayat yang panjang. Penuh dengan dinamika, konflik, dan gejolak-gejolak yang membuat pening kepala atau berdecak penuh keheranan—sekaligus ketakjuban.
Ide penemuan Sholes berasal saat ia membaca artikel mengenai mesin cetak huruf yang terbit di Scientific American. Ia terkesima dengan gagasan itu dan bertekad mewujudkannya. Keyakinannya semakin bulat tatkala kawannya bernama Carlos Glidden, mendorongnya untuk menciptakan mesin tersebut.
Glidden menilai, Sholes tak bakal sulit membuat mesin ketik mengingat sebelumnya ia bersama Samuel W. Soule sudah lebih dulu mendapatkan hak paten lewat penemuan mesin penomoran halaman pada 1864.
Maka, bermodalkan antusias dan dukungan Glidden dan Soule, Sholes pun mulai bekerja membuat mesin ketik. Sholes berpikir, apabila mesin itu jadi, beban-beban kerja di media cetak bakal dapat diringankan. Sebagai catatan, Sholes merupakan pekerja yang sudah makan banyak asam garam di bisnis percetakan dan media massa. Dalam rentang 1830-an sampai 1860-an, tercatat Sholes pernah bekerja di Green Bay, Wisconsin Enquirer, Milwaukee News, hingga Milwaukee Sentinel.
Upaya Sholes membuat mesin ketik memakan waktu bertahun-tahun. Selama itu pula percobaannya kerap gagal dan tak maksimal. The Paris Review mencatat, indikator kegagalan tersebut antara lain bentuknya yang kelewat besar seperti piano, susunan abjad dan angka yang tak lengkap (tanpa kehadiran “0,” “1,” huruf kecil, serta seluruhnya ditulis dengan kapital), sampai ketidaksesuaian kerja antar komponen yang memaksa mesin acapkali macet.
Keadaan itu seketika menjatuhkan mental Sholes. Ia sempat menyerah dan tidak ingin melanjutkan proyeknya. Belum lagi utang yang menumpuk kian menjepit keadaannya. Beruntung, Sholes punya James Densmore, rekannya yang senantiasa memberikan suntikan motivasi. Di bawah dorongan Densmore, Sholes kemudian bangkit dan memperbaiki segala kekurangan yang ada dalam mesin ketiknya. Kerja keras Sholes berujung manis. Pada 23 Juni 1868, tepat hari ini 149 tahun silam, mesin ketik Sholes mendapatkan paten dari pemerintah dengan nomor 79.265.
Meski paten sudah diperoleh, namun perjalanan (dan masalah) tidak otomatis selesai begitu saja. Smithsonian menulis bahwa masalah yang harus dihadapi mereka selanjutnya adalah menemukan pasar: akan dijual ke mana mesin ketik tersebut?
Sholes dan Densmore menilai target pelanggannya adalah para pendeta dan pekerja media. Dari dua lini tersebut, harapannya, mesin ketik bakal meluas dan dibeli masyarakat umum. Tapi, ekspektasi mereka terbentur keadaan. Perekonomian Amerika pada periode itu sedang mengalami kelesuan, yang berdampak terhadap daya beli masyarakat.
Situasi kian kompleks saat masyarakat menganggap aktivitas yang dilakukan dengan mesin ketik terlampau aneh. Konteks aneh di sini merujuk pada pemahaman bahwa mesin ketik dapat merusak kebiasaan yang sudah mengakar sejak lama. Mesin ketik, menurut masyarakat AS saat itu, bisa mendorong orang memalsukan tanda tangan serta merendahkan hasil tulisan tangan.
Namun, kondisi berubah saat memasuki akhir 1880-an. Mesin ketik Sholes akhirnya diminati pabrik pembuat senjata selama Perang Sipil asal Ilion, New York, E. Remington & Sons. Pasca-kemenangan kubu Union yang sekaligus mengakhiri perang, E. Remington & Sons merasa harus mencari produk lain untuk diperjualbelikan. Alasannya: minat terhadap senjata turun.
Walhasil, Sholes dan Remington menjalin kesepakatan. Hak kepemilikan mesin ketik Sholes dibeli Remington senilai $12 ribu. Mesin ketiknya lantas diproduksi secara besar-besaran dan dilempar ke pasaran dengan nama Remington 1 pada 1873 seharga $125 untuk tiap mesin. Di momen inilah, Sholes mengembangkan model QWERTY dalam mesin ketiknya.
Gempita tersebut berefek massif pada segala lini. Mesin ketik perlahan diminati karena efektif membantu pekerjaan kantor seiring dengan menurunnya paradigma masyarakat akan teknologi serta penemuan baru. Di lain sisi, kehadiran Remington 1 juga mencambuk pabrikan lain macam Caligraph, Yost, Densmore, serta Smith-Premier guna menempuh langkah serupa.
Pada 1890, mesin ketik QWERTY Remington dicetak sebanyak 100 ribu dan dijual ke seantero negeri. Tiga tahun berselang, kelima pabrikan mesin ketik yang ada sepakat menjadikan model QWERTY Sholes sebagai standar pembuatan mesin ketik.
Keberadaan mesin ketik di pasar AS seperti menebus kegagalan-kegagalan terdahulu yang dilakukan beberapa ilmuwan. Gagasan merancang mesin ketik sendiri sebetulnya sudah ada sejak 1700-an manakala Henry Mill dari Inggris membuat mesin yang sama. Tapi, percobaan Mill dinilai gagal dan tidak mencerminkan modernitas mesin ketik.
Selepas Mill, ada pula William Burt yang mematenkan mesin tipografi pada 1829. Sekali lagi, upaya Burt bernasib sama dengan Mill: mesinnya tidak praktis digunakan dan hanya berakhir di gudang penyimpanan tanpa perkembangan apa-apa.
Thomas Edison rupanya juga sempat menempuh eksperimen semacam itu. Pada 1872, ia menciptakan mesin ketik listrik pertama di dunia. Namun, jejak tersebut berujung sama dengan kiprah Burt dan Mill. Mesin bikinan Edison tak populer di masyarakat.
Sejarah mencatat bahwa mesin ketik Sholes memang bukan yang pertama di dunia. Bukan juga mesin tik perdana yang menerima paten. Tapi, fakta menyatakan, mesin ketik hasil kerja Sholes merupakan mesin ketik pertama yang punya nilai praktis serta diproduksi secara massal. Faktor itulah yang membuatnya dijadikan penemu mesin ini; bukan Burt, Mill, atau bahkan Edison.
Seiring waktu, model mesin ketik QWERTY temuan Sholes mulai menyesuaikan zaman dan perkembangan teknologi. Dari awalnya yang berukuran besar, beralih rupa minimalis seperti yang sekarang kita saksikan dalam komputer atau smartphone. Semua itu tak bakal kita jumpai apabila Sholes memutuskan untuk berhenti berusaha ketika kegagalan demi kegagalan mendatanginya.
Memerdekakan Perempuan
Kehadiran mesin ketik nyatanya berdampak besar pada kehidupan sosial perempuan melalui tersedianya kesempatan bekerja sebagai juru ketik di instansi pemerintahan, bank, serta kantor-kantor lainnya. Kesempatan itu coba dimanfaatkan perempuan AS. Dalam The Iron Whim: A Fragmented History of Typewriting, Darren Wershler-Henry menyatakan, perempuan AS berbondong-bondong untuk melamar jadi juru ketik.
Sedangkan ABC dalam laporan visualnya berjudul “Why The Typewriter Was A Feminist Liberation Machine” menyebut, di Amerika, jumlah perempuan yang menjadi juru ketik mencapai sekitar 60 ribu pada 1885.
Fenomena tersebut terjadi akibat beberapa faktor seperti keinginan perempuan untuk mendapatkan pekerjaan selepas selesainya Perang Sipil sampai membantu menopang ekonomi keluarga. Tapi, terdapat faktor lain yang tak kalah penting: strategi pemasaran Remington.
Dilansir BBC, dalam menjual produknya, Remington acapkali memasang figur perempuan sebagai modelnya. Gambarannya begini: perempuan muda mengenakan baju dan sepatu bagus duduk di atas meja dengan kaki menyilang. Sementara di atas meja terdapat apel, kalender, beberapa tumpukan arsip, serta mesin ketik Remington.
Mengapa Remington memasang perempuan jadi model iklannya?
Remington memang menyasar perempuan sebagai target utama pemasaran. John Harrison dalam Manual of the Typewriter (1888) mengatakan bahwa mesin ketik Remington “secara khusus dirancang sesuai jari-jari feminin.”
Tak sekedar di AS, fenomena yang sama juga muncul di Inggris. Perempuan di sana beramai-ramai mendaftar kerja pada posisi juru tulis dan administrasi. John Keyworth, kurator museum Bank of England, menyatakan pekerjaan yang harus dilakukan perempuan di kantor macam bank antara lain merapikan data-data yang berkaitan dengan pinjaman, kredit, dan sebagainya.
Masuknya perempuan ke ranah pekerjaan profesional otomatis membuat mereka tidak lagi sebatas terkungkung dalam rumah dan melakukan kerja-kerja domestik. Perempuan jadi bisa mandiri, independen, serta menentukan jalan kariernya sendiri. Capaian ini dirasa positif mengingat, saat itu, stereotip yang menempatkan perempuan pada posisi lemah, tak berdaya, dan tak sepantasnya melakukan pekerjaan laki-laki masih begitu kuat.
Di lain sisi, masuknya perempuan ke kantor-kantor lewat mesin ketik juga mendatangkan perlakuan diskriminasi. Perempuan kerap dilecehkan, dibedakan perlakuannya (dari jam kerja hingga tempat makan di kantor), serta yang paling ironis: dibayar dengan upah rendah. Di Inggris, pekerja perempuan bahkan hanya digaji £85—jumlah yang jauh dibanding laki-laki yang menerima £300.
Diskriminasi-diskriminasi semacam itulah yang mendorong perempuan bergerak dalam aksi perjuangan kesetaraan hak. Di Amerika, pada akhir 1880-an dan awal 1890-an, banyak perempuan bergabung dalam organisasi sipil macam National American Woman Suffrage Association (NAWSA) serta American Woman Suffrage Association (ASWA).
Melalui kedua organisasi itu, perempuan menyuarakan tuntutannya terhadap pemerintah hingga pelaku bisnis agar diperlakukan setara dengan laki-laki dalam lingkungan kerja. Bahwa perempuan juga berhak mendapatkan timbal balik yang sama serta bisa bekerja dengan aman tanpa adanya perasaan takut akan dilecehkan.
Perlahan, tuntutan meluas. Tak cuma sebagai pekerja, perempuan juga ingin diperlakukan sebagaimana warga negara seharusnya. Mendapatkan hak politik, jaminan kesehatan, dan lainnya. Kesetaraan adalah kunci dan pemerintah harus menyediakannya.
Dari sini kita paham, cerita mesin ketik bukan sekedar rangkuman perjalanan penemuan Sholes. Di dalamnya, ada semangat kebebasan dan perjuangan perempuan untuk memperoleh kehidupan yang adil dan setara, di setiap aspek.
Editor: Ivan Aulia Ahsan