tirto.id - "Tidak ada match fixing. Yang ada tim tuan rumah ingin menang."
Demikian salah satu petikan pernyataan anggota komite eksekutif (exco) Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Gusti Randa. Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S Dewa Broto langsung naik pitam mendengarnya.
“Ada!” seru Gatot di acara Mata Najwa yang tayang hari Rabu (23/1/2019) kemarin. “Match fixing, kan, pengaturan skor.”
Pertemuan antara Gusti, Gatot, dan sejumlah voters cum anggotaPSSI malam itu memang tak menghasilkan banyak hal. Saya yang ada di lokasi melihat betapa masing-masing dari mereka mempertahankan setengah mati apa yang mereka percaya.
Selain Gatot, serangan ke PSSI datang dari Manajer Madura FC–salah satu voters PSSI–Januar Hermanto. Dia menilai mundurnya Edy Rahmayadi dari kursi Ketua Umum PSSI adalah hasil pertemuan tak resmi di luar kongres yang diselenggarakan Minggu (20/1/2019) lalu di Bali. Presiden Klub Persijab Jepara Esti Puji Lestari menduga itu karena muncul “mosi tidak percaya” terhadap Edy sebelum kongres dimulai.
Esti mengaku tahu tentang mosi tersebut tiga hari sebelum kongres PSSI. Dia mendapat kabar bahwa seluruh voters atau anggota PSSI sudah menandatangani pernyataan tersebut.
Dalam rekaman suara yang disiarkan di Mata Najwa, salah seorang narasumber yang juga voters mengatakan bahwa pertemuan untuk membikin mosi tidak percaya itu dilakukan di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan, tiga hari sebelum kongres—sesuai dengan klaim Esti. Hanya saja, Esti mengaku tak datang ke pertemuan itu.
Narasumber anonim ini kemudian menyebut pertemuan itu menghasilkan satu kesepakatan: menumbangkan Edy. Opsi pertama adalah Edy menyampaikan sendiri pengunduran dirinya; opsi kedua dengan cara voting; opsi terakhir adalah memakai petisi mosi tidak percaya untuk mendesak Edy mundur.
Singkatnya, sebelum kongres, nasib Edy sudah ditentukan. Mengundurkan diri atau tidak, Edy akan turun dari tahta Ketua Umum.
Dalam rekaman itu, narasumber mengaku Manajer Madura United Hanura Sumitro yang paling banyak berbicara. Mereka diberikan uang sebesar 1.000 dolar Singapura dengan dalih “uang transportasi” setelah tanda tangan.
Gusti lagi-lagi menampik. Dia mengatakan tak ada kelompok di internal exco yang ingin menggulingkan Edy. Kelompok itu, klaim Gusti, justru berasal dari pihak lain.
Meski begitu, Gusti tak mau menyebut siapa kelompok yang dimaksud. Dia hanya mengakui bahwa benar ada ada pertemuan di Hotel Royal Kuningan tiga hari sebelum kongres. Di sana ada sejumlah exco seperti Haruna dan juga pelaksana tugas Ketua Umum PSSI sekarang, Joko Driyono. Gusti juga berada di sana untuk bertemu dengan anggota exco lainnya yang akan dipanggil polisi terkait masalah match fixing.
“Saya enggak tahu kalau soal duit,” ucap Gusti. “Saya tahunya mereka datang dari daerah. Mereka mencari kami.”
Berkali-kali Gusti mengaku tidak tahu soal adanya uang tersebut. Dia juga tak percaya bahwa anggota PSSI mau menandatangani mosi tidak percaya hanya dengan ganti uang 1.000 dolar Singapura. Apalagi, bagi Gusti, surat tersebut tidak berlaku karena Edy mundur dengan sendirinya.
“Toh juga enggak jadi itu kan mosi-mosi itu. Enggak ada, kan. Dipergunakan enggak surat-surat itu?” tanya Gusti.
Gusti merasa surat dan pemberian uang bukan masalah penting. Kendati begitu, dia mengaku bahwa ada kemungkinan uang 1.000 dolar Singapura itu adalah uang transportasi, yang tak perlu dipermasalahkan.
“Boleh jadi ada uang itu. Bukan pertemuan kok. Wajar banget. Itu dari kita untuk kita juga. Itu uang dari kita-kita. Pribadi,” ucapnya lagi tanpa menyebut siapa anggota exco yang memberikan uang tersebut. “Jadi enggak ada apa-apa.”
Sedangkan Gatot masih tak terima dengan adanya pemberian tersebut. Baginya, pemberian uang itu tak etis dan bisa menimbulkan kerumitan lebih besar ke depan.
“Ada situasi yang kurang mendidik,” ucap Gatot lagi.
Reformasi PSSI
Jika diambil kesimpulan dari diskusi Mata Najwa, yang kebanyakan berisi pertikaian antara Gusti Randa dengan Januar Hermanto, setidaknya sebagian tokoh yang mengemukakan pendapatnya, kecuali Gusti dan Asprov PSSI Jawa Barat Tommy Apriantono, sepakat bahwa Kongres Luar Biasa (KLB) harus dilakukan secepatnya.
Januar mengatakan bahwa tidak ada kepastian perubahan ke arah yang lebih baik dalam tubuh PSSI meskipun Edy sudah mengundurkan diri. Berpindahnya jabatan ketua umum ke Joko Driyono tidak serta-merta menghilangkan fakta bahwa exco PSSI bermasalah. Beberapa exco PSSI pun sudah dijadikan tersangka kasus match fixing.
“Jadi saya rasa perlu KLB,” kata Januar.
Esti pun mengharapkan hal yang sama. Dia mengatakan KLB bisa menjadi solusi karena akan ada penataan ulang para anggota exco. Dari KLB ini, exco yang terpilih bisa jadi adalah mereka yang benar-benar pantas menempati posisi tersebut.
“[Gusti] Mundur saja dulu, nanti kan bisa dipilih kembali,” ucap Esti.
Menanggapi hal ini Gusti bergeming. Dia tetap bersikukuh dengan pilihan memberi kesempatan pada Joko Driyono untuk menjalankan tugasnya sebagai Plt Ketua Umum PSSI. Dia beralasan bahwa aturan PSSI membuat KLB tidak bisa segera dilaksanakan.
“Lebih baik sekarang kita tidak bicara KLB. Kita lihat ini pak Joko harus jalanin, dinilai oleh mereka,” ucap Gusti. “Karena tahun 2020 kita juga ada kongres untuk menilai pak Joko itu.”
Sementara mereka berdebat, setidaknya Edy yang selama ini dicerca karena dianggap tak bisa membenahi masalah PSSI bisa sedikit lega. Setidaknya sudah tidak ada lagi tagar #EdyOut yang menjadi fokus masyarakat, melainkan #reformasiPSSI.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino