Menuju konten utama

Mereka yang Mengaku Dipaksa Teken BAP

Mereka tak kuat jalani siksaan akhirnya menandatangani BAP. Belakangan mereka mengaku dipaksa di pengadilan, meski pengakuan ini seringkali tak dihiraukan.

Mereka yang Mengaku Dipaksa Teken BAP
Tan Swi Ling penulis buku berjudul G30S 1965, Perang Dingin & Kehancuran Nasionalisme. [Foto/youtube.com]

tirto.id - Banyak proses hukum di negara ini yang sesungguhnya patut dikritisi. Salah satunya terkait pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Beberapa orang yang diperiksa mengaku mengalami siksaan sehingga terpaksa menandatangani BAP. Di pengadilan, baru mereka buka-bukaan tentang pemaksaan tanda tangan BAP itu.

Pengakuan semacam ini biasanya diacuhkan karena si tersangka dianggap sudah mengaku dengan tanda tangan di BAP yang sudah dianggap sah. Tersangka barangkali hanya dianggap berusaha meloloskan diri dari jerat hukum dengan mengaku dipaksa tanda tangan BAP. Ini adalah praktik yang sudah berlangsung sejak lama.

Salah satu kasus lawas pemaksaan BAP yang terkenal adalah yang melibatkan anggota Politbiro PKI bernama Sudisman di tahun 1967. Sekretaris Sudisman yang dipaksa petugas untuk tanda tangan BAP memberikan pengakuan di pengadilan. Ada lagi kasus persidangan Muhammad Siradjudin alias Pakde yang dituduh membunuh Ditje si peragawati cantik itu pada 1987.

Sidang Sudisman

Tersebutlah seorang pemuda Tionghoa bernama Tan Swie Ling. Dua hal yang membuat dia tidak disukai Orde Baru adalah: Tionghoa dan sekretaris Sudisman si Anggota Politbiro PKI. Pemuda ini jadi saksi dalam sidang Sudisman. Hakim menanyainya soal pembangunan kembali PKI. Pemuda itu menjawab, tidak mengerti. Hakim lalu menyuruhnya mendekat ke meja hakim. Hakim berkata, “coba lihat! Ini tanda tangan siapa?”

“Tanda tangan saya, Pak,” jawab Tan dengan santai. Hakim lalu menyuruhnya duduk kembali untuk ditanyai lagi. Hakim lalu mengulang pertanyaan yang sama. Tan pun kembali tidak paham dengan pertanyaan hakim. Hakim lalu mendekat lagi ke meja dan bertanya, “ini tanda tangan siapa?”

“Tanda tangan saya, Pak,” jawab Tan lagi dengan santai juga. Hakim menyuruhnya duduk lagi. Tan diminta lagi menjawab pertanyaan yang dia tidak paham, soal pembangunan kembali PKI. Tan kembali mengakut tidak paham soal pertanyaan itu. Hakim naik pitam.

“Lihat sekali lagi! Ini tanda tangan siapa?”

“Tanda tangan saya, Pak.”

“Kembali ke tempatmu!” perintah hakim. Tan kembali duduk, seperti yang dimaui hakim. Sementara hakim mulai mengamuk sambil menggebrak meja.

“Kamu tahu ini tempat apa?”

“Tahu, Pak Hakim.”

“Tempat apa?”

“Sidang Mahmilub.”

“Apa itu Mahmilub?”

“Mahkamah Militer Luar Biasa”

“Jadi kamu tahu ini bukan tempat main-main, mengerti?”

“Mengerti, Pak.”

“Nah, sekarang jelaskan soal pembangunan kembali PKI,” ulang hakim.

“Saya tidak mengerti pertanyaan Bapak Hakim.”

“Bagaimana kamu terus-terusan menjawab pertanyaan hakim, kalau pertanyaan ini diambil dari keterangan di atas tanda tanganmu?” bentak hakim, namun si pemuda Tionghoa oitu tetap tenang.

“Kalau semua itu ada di atas tanda tangan saya, mohon Bapak Hakim membacakannya. Mudah-mudahan saya akan terpandu untuk bisa memberikan keterangan sesuai permintaan Bapak,” ucap Tan. “Bukan kamu yang memberi perintah di sini, melainkan kamu harus melaksakan perintah menerangkan soal pembangunan kembali PKI!” bentak hakim dengan nada yang semakin keras.

“Mohon maaf Bapak Hakim, saya tetap masih belum bisa mengerti pertanyaan Bapak.”

“Bagaimana kamu terus bersikeras tidak mengerti, padahal yang ditanyakan diambil dari keterangan yang kamu tanda tangani?” bentak hakim yang makin panas.

“Mohon maaf Bapak Hakim, kondisi saya semasa itu bisa membubuhkan tanda tangan dibawah keterangan apapun,” aku Tan. Maksud Tan dia terpaksa menandatangani keterangan itu dibawah tekanan dan terpaksa.

“Apa?” teriak hakim. “Kamu mau mengatakan kalau kamu dalam keadaan terpaksa ketika membubuhkan tanda tanganmu?”

“Benar Bapak Hakim,” jawab Tan tanpa ragu. Tan masih ingat adegan yang ditulisnya dalam memoarnya G30S 1965, Perang Dingin dan Kehancuran Nasionalisme (2010) itu. Tan tak lupa seorang pegawai sipil Hankam memakinya sebagai wirog kalen alias tikus got.

Ben Anderson, juga Yap Thiam Hien jadi penonton dalam sidang itu. Ben ingat, ketika Tan digiring ke panser untuk dipulangkan ke Rumah Tahanan Militer, aparat yang menjaganya justru angkat topi atas keberaniannya untuk jujur. Namun, Ben sangat khawatir pada nasib Tan. Ben yang pencemas itu khawatir Tan akan dibunuh di penjara. Selama puluhan tahun masih sering memikirkan nasib Tan. Beruntunglah Ben, dia bertemu lagi Tan yang jadi sahabatnya itu di tahun 1999.

Ketika proses persidangan Sudisman berlangsung, Ben selalu mengikuti bahkan hingga pembacaan vonis matinya. Menurut Ben, Sudisman yakin akan dihadiahi vonis mati. Apalagi, publik yang sayang pada orde baru tentu benci setengah mati pada hal berbau PKI, termasuk Politbironya. Ben mengamati Sudisman dan para saksi yang merupakan anggota-anggota PKI dari kelas teri hingga kelas kakap.

“Mereka sudah betul-betul rusak mental dan badan akibat siksaan-siksaan paling sadis selama ditahan. Apa saja yang ditanya hakim, mereka bungkuk dan coba kasih jawaban persis dan klop dengan berita acara pemeriksaan yang telah mereka teken (tanda tangani) habis disiksa,” tulis Ben dalam pengantar memoar Tan G30S 1965, Perang Dingin dan Kehancuran Nasionalisme (2010).

Menurut Ben Anderson, sidang terhadap Sudisman bersifat terbuka. Pengamat asing boleh menonton sidang tersebut. Sudah pasti karena tekanan dunia internasional terhadap Indonesia. Sudisman akhirnya dijatuhi hukuman mati seperti yang sudah dia duga.

Tersiksa Karena BAP

Kasus pemaksaan BAP lainnya yang cukup heboh adalah kasus pembunuhan pramugari, Ditje. Perempuan yang berprofesi sebagai pragawati itu, ditemukan tewas di sekitar Kalibata. Dokter Forensik Abdul Mun'im Idries yang menulis dalam Indonesia X File (), dia ikut melakukan otopsi terhadap seorang perempuan cantik yang mengalami lima tembakan. Tak lama kemudian, penyelidikan polisi mengarah ke Muhammad Siradjudin aluas Pakde sebagai pembunuh perempuan bernama Ditje itu. Tak hanya Ditje, Pakde juga dituduh membunuh Endang Sukitri pemilik toko bangunan di Depok. Lengkap sudah derita Pakde sebagai tersangka lalu terpidana.

Dalam sidang, Pakde membantah juga tuduhan yang tertera dalam BAP. Pengakuan yang terpaksa diteken itu karena dia tidak tahan menghadapi siksa di kantor polisi. Alibi Pakde yang tak kalah penting adalah, ketika malam pembunuhan dia berada di rumah bersama beberapa kawannya. Dalam pengadilan, saksi yang menguatkan bahwa Pakde di rumah pada malam itu sudah dihadirkan. Namun tak dihiraukan majelis hakim, tulis Mun'im Idries.

Ketua Majelis Hakim, Reni Retnowati pada 11 Juli 1987, menghadiahi Pakde vonis seumur hidup karena pembunuhan berencana. Pakde sempat mengajukan banding dan meminta kasasi selama menjalani masa penjara di Penjara Cipinang hingga tahun 2000. Semua dosa harus ditanggung Pakde, karena di belakang kasus tersebut ada nama-nama penting yang berkuasa di Republik Indonesia.

Tak hanya Pakde yang mengaku dipaksa tanda tangan BAP. Pesohor macam Marcella Zalianty juga mengaku dipaksa tanda tangan dalam kasus penganiayaan pada 2009. Pemaksaan juga terjadi pada Antonius Malaru dan Yunus CS Nomleni sebagai saksi dalam pengadilan Hercules Rosario Marshal tahun 2013. Dalam sidang kasus pelecehan seksual siswa Jakarta Internasional School, Virgiawan Amin, Zainal Abidin dan Syahrial juga mengaku dipaksa menandatangani BAP pada tahun 2014.

Mendapatkan pengakuan untuk sebuah proses keadilan bagi korban memang penting. Namun, yang tak kalah penting adalah agar jangan sampai pengadilan mengadili orang yang tidak bersalah.

Baca juga artikel terkait BERITA ACARA PEMERIKSAAN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Hukum
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti