Menuju konten utama

Menyibak Rahasia Google Agar Karyawan Jadi Inovatif

Para karyawan Google punya kesempatan sehari dalam sepekan bekerja untuk mengerjakan proyek pribadinya.

Menyibak Rahasia Google Agar Karyawan Jadi Inovatif
Kantor Google di New York, USA. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Google, perusahaan teknologi yang dirintis oleh Larry Page dan Sergey Brin sukses melantai di bursa 19 Agustus 2004. Google memperoleh dana segar senilai $1,9 miliar. Setelah IPO yang bersejarah itu, Page dan Brin merilis Founders Letters dan IPO Letter. Keduanya mengatakan mereka “mendorong karyawan, di samping mengerjakan proyek reguler mereka, untuk menghabiskan 20 persen jam kerja untuk mengerjakan apa yang menurut mereka bermanfaat bagi Google.”

Pada surat tersebut dikatakan, kebijakan ini dapat “memberdayakan karyawan Google untuk menjadi lebih kreatif dan inovatif.” Dalam Founding Letter termaktub kebijakan 20 persen setara dengan satu hari dari lima hari dalam sepekan saat para karyawan Google bekerja. Senin hingga Kamis, karyawan Google bekerja menurut kewajibannya, maka di hari Jumat ia bisa melakukan kerja apapun sesuai minat.

Ada cukup banyak hasil kebijakan 20 persen hingga melahirkan produk dan layanan utama dari Google. Contoh layanan itu adalah Gmail, buah hasil dari karyawan Google bernama Paul Buchheit, layanan Adsense oleh Susan Diane Wojcicki yang sekarang CEO YouTube), Google News oleh Krishna Bharat, dan Orkut oleh Orkut Büyükkökten.

Adsense dan Gmail, sebagai produk yang dihasilkan kebijakan 20 persen, merupakan produk premium Google. Sebanyak 25 persen penghasilan Google disumbang oleh Adsense. Hingga 2016 lalu, ada 1 miliar pengguna aktif Gmail di seluruh dunia. Selain itu, kebijakan 20 persen Google dapat digunakan untuk proyek-proyek sederhana.

Bharat Mediratta, software engineer Google, adalah yang memanfaatkan kebijakan 20 persen yang ditetapkan Google. Melalui tulisannya di The New York Times, secara tersirat disebut bahwa kebijakan ini bisa dimulai bahkan tanpa anggaran serta arahan petinggi Google. Kerja ini murni kreativitas dan kehendak karyawan masing-masing. Mediratta lantas membuat proyek bernama Testing, sebuah proyek pendidikan tentang bagaimana pengembang aplikasi melakukan pengkodean yang lebih baik.

Ada pula Nat dan Lo, dua orang karyawan Google yang membuka kanal di YouTube sebagai bagian dari merealisasikan kebijakan 20 persen. Di kanal tersebut, Nat dan Lo, mengeksplorasi segala sesuatu tentang Google, menjadi video dengan gaya populer tentang segala hal yang bekerja di balik mesin pencari Google.

Kebijakan 20 persen yang dibikin Google senada dengan tren yang berkembang di dunia milenial. MTV Insight, firma riset pemasaran, sebagaimana diwartakan Fast Company, mengatakan 78 persen kaum milenial percaya bahwa memiliki atau mengerjakan proyek sampingan, seperti yang disediakan kebijakan 20 persen Google, dapat membantu para milenial memiliki karier yang lebih baik atau bahkan yang berbeda dibandingkan apa yang mereka lakukan saat ini.

Laszlo Bock, dalam bukunya berjudul “Work Rules” sebagaimana diwartakan Business Insider, mengatakan tak semua karyawan Google memanfaatkan kebijakan ini. Bock menyebut hanya 10 persen karyawan Google yang mengambil keuntungan ini. Salah satu alasan mengapa hanya sedikit yang memanfaatkan kebijakan 20 persen, seperti yang disampaikan Christopher Mims melalui Quartz, karen para karyawan kesulitan menghindar dari pekerjaan wajib mereka alih-alih mengerjakan proyek sampingan sesuai minat.

Bock mengatakan bahwa sesungguhnya ketentuan waktu 20 persen terlalu berlebihan. Menurutnya, jika seorang karyawan memiliki proyek sampingan, ia hanya akan mengambil waktu antara 5 hingga 10 persen hingga proyek yang dikerjakan memiliki implikasi yang cukup besar.

Karyawan Google yang mengambil kebijakan ini, jika proyeknya menarik, bisa membuat ia memiliki karier dan pendapatan yang moncer. Paul Buchheit, si pencipta Gmail dan karyawan ke-23 Google, salah satunya. Gmail, proyek sampingannya, sukses memukau petinggi Google. Ia lalu memimpin proses penciptaan layanan email berbasis web dan dengan bantuan yang lebih masif dari pihak Google, bukan semata proyek sampingan. Diprediksi, atas kesuksesan Gmail, ini kini memiliki kekayaan senilai $600 juta.

Infografik Kebijakan 20 percent time google

Dari kenyataan soal jumlah karyawan yang menggunakan kebijakan ini, spekulasi pun berkembang. Kebijakan 20 persen telah mati meskipun Google belum secara terang-terangan mengungkapkannya. Salah satu indikatornya ialah apa yang diungkap Marissa Mayer, mantan karyawan Google dan mantan CEO Yahoo. Menurutnya, sebagaimana dikutip dari Business Insider, bukanlah proyek bebas yang menggunakan 20 persen jam kerja, tapi 20 persen waktu yang digunakan untuk “hal-hal yang wajib dilakukan di luar pekerjaan rutin.” Artinya, para pekerja Google malah disebut telah bekerja 120 persen dari semestinya.

Mims menyebut bahwa sesungguhnya kebijakan ini masih ada. Namun, kini perlu persetujuan yang lebih ketat. Seorang teknisi Google yang ingin mengambil, misalnya, perlu mendapat restu dari manajer. Kini ada pula penilaian produktivitas tim oleh Google. Alih-alih mengurusi proyek sampingan, karyawan lebih memilih mengerjakan kewajiban mereka untuk lolos dari penilaian.

Jason Tedjasukmana, Consumer and Corporate Communication Google Indonesia, melalui pesan instan kepada Tirto, mengatakan secara tegas bahwa kebijakan ini masih berjalan. Menurutnya bila karyawan Google ingin memanfaatkan kebijakan 20 persen, ia hanya tinggal mendaftar. Sayangnya, Jason tak merinci bagaimana proses pendaftarannya. Saat ditanya apakah ada karyawan Google Indonesia yang memanfaatkan kebijakan ini, Jason hanya menjawab “mungkin.”

Bruce Tulgan, pendiri firma pelatihan manajemen bernama RainmakerThinking menyebut secara tersirat bahwa kebijakan 20 persen jam kerja bisa menjadi buah simalakama bagi Google. Karyawan bisa lebih memilih mengerjakan proyek sampingannya daripada pekerjaan wajib. Tulgan mengatakan bila karyawan yang memanfaatkan kebijakan tersebut memiliki jiwa kewirausahaan, Google akan “kehilangan karyawan potensial.” Alasannya, tak semua proyek sampingan yang dilakukan dapat memukau petinggi Google, sebagaimana yang dialami Paul Buchheit melalui Gmailnya. Ini mengakibatkan tak adanya dukungan penuh dari Google yang lantas membuat si karyawan sangat mungkin berpikir untuk meninggalkan perusahaan tersebut.

Salah satu cara agar tak kehilangan karyawan, sebut Donald F. Kuratko, profesor bisnis pada Indiana University, ialah “memberikan tempat khusus di perusahaan bagi karyawan yang membawa proyek sampingan dan perusahaan wajib memikirkan langkah yang tepat yang harus dilakukannya.”

Selain kebijakan 20 persen jam kerja, Google punya dua inkubator inovasi yaitu Google Labs dan Google X. Google Labs merupakan laman yang khusus dibuat Google memajang proyek-proyek yang masih dalam tahapan pengembangan, salah satunya berasal dari kebijakan 20 persen. Karyawan yang membikin proyek sampingan dan ternyata proyeknya memiliki implikasi besar, akan digarap lebih serius oleh Google. Pada akhirnya, proyek tersebut masuk ke laman khusus ini. Gmail, salah satunya. Sayangnya, pada Juli 2011 Google mematikan Google Labs.

Sementara itu, Google X, merupakan fasilitas penelitian dan pengembangan rahasia milik Google, yang lalu menjadi perusahaan mandiri bernama “X” pada Oktober 2015. Google X banyak melahirkan inovasi tingkat tinggi, misalnya Waymo, mobil swakemudi Google, Glass, kacamata pintar Google, dan Loon, proyek penyediaan akses internet di pedalaman.

Salah satu produk tersukses hasil dari Google X ialah Google Brain, sebuah machine learning, yang diciptakan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Proyek yang digagas pada 2011 itu, merupakan proyek yang dibidani oleh Jeff Dean dan Greg Corrado, adalah karyawan Google dan Andrew Ng, profesor kecerdasan buatan dari Sanford University.

Baca juga artikel terkait GOOGLE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra