tirto.id - Anda pasti pernah dengar seruan spontan seorang teman “tanya saja Mbah Google!” Lewat fasilitas Google Search banyak hal pencarian secara online bisa dilakukan dengan mudah, singkat kata Google memudahkan netizen mencari segala informasi dengan mesin pencarinya yang andal.
Itu baru mesin pencari, masih ada segudang layanan Google yang bisa dinikmati. Google terus mencoba membuat para pengguna internet bahagia dan dimudahkan segala urusannya seperti surat menyurat elektronik dan sebagainya. Slogan “Don’t be evil.” yang juga masuk dalam kode etik Google sangat pas menggambarkan peran Google dengan balutan positif.
Eric Schmidt, sang CEO pertama Google mengungkapkan makna original ‘evil’ yang disampaikan oleh Sergey Brin (pendiri Google) sejatinya tidak memiliki pengertian yang ajek. Namun, dalam buku bertajuk “How Google Work,” slogan atau mantra tersebut dianggap benar-benar mengungkapkan nilai perusahaan juga jadi pelecut untuk memberdayakan karyawan Google.
Slogan ini kemudian dimuat dalam “founder IPO letter” yang ditulis di 2004. Dalam surat tersebut, slogan “don’t be evil” dimaksudkan bahwa Google harus dapat melayani penggunanya dengan baik, termasuk kala pertumbuhan Google berada di posisi yang tidak menguntungkan.
Slogan ini juga begitu melekat dengan jiwa para karyawan Google, hingga pada suatu kesempatan salah seorang teknisi Google dengan keras menggebrak meja dan berkata lantang, “Kami tidak bisa melakukan hal tersebut, itu akan membuat kami sebagai “evil”. Ini terjadi saat dalam sebuah rapat di 2001 yang sedang membicarakan perubahan dalam sistem iklan di Google.
Dua Sisi “Don’t be evil”
Sebagai sebuah slogan “Don’t be evil” Google punya dua sisi mata pisau. Sisi positif yang menghadap ke pengguna mereka dengan segala layanan Google yang memudahkan dan memanjakan, di sisi lainnya ada yang menghadap ke para kompetitor. Di sini lah sisi kelam dari slogan “Don’t be evil”.
Efek slogan “Don’t be evil” telah menghadirkan keuntungan-keuntungan bagi pengguna Google sendiri. Orang-orang di seluruh dunia, dapat memanfaatkan pelbagai layanan teknologi canggih milik Google dengan gratis. Dikutip dari Internet Live Stat, mesin pencari milik Google melakukan 3,5 miliar pencarian per hari dari para netizen di seluruh dunia.
Situsweb w3school.com mengungkapkan bahwa browser atau perambah Chrome milik Google, memiliki pangsa pasar sebesar 74,1 persen pada Februari 2017. Sementara itu, sebagaimana diwartakan Techcrunch di bulan Februari lalu, Gmail memiliki lebih dari 1 miliar pengguna aktif.
Selain itu, ada juga sistem operasi bagi ponsel pintar bernama Android. Android kini jadi sistem operasi sejuta umat. Alih-alih memberikan beban biaya yang tinggi, Google memberi label Android miliknya tersebut “open source.” Artinya, siapa pun bisa memanfaatkan Android tanpa ada halangan dari Google. Dari kebijakan tersebut, Android memiliki beragam versi modifikasi.
Namun, “Don’t be evil” seolah luntur saat Google menghadapi persaingan dengan perusahaan-perusahaan teknologi lain. Lebih jauh lagi Google sudah seperti merepresentasikan “evil” yang jahat. Sisi lain dari slogan Google ini pernah mendapat catatan dari sang legenda teknologi Steve Jobs. Saat sang pendiri Apple ini masih hidup—pernah berkomentar cukup keras dengan langkah Google.
Kritikan Steve Jobs pada 2010 lalu itu menceritakan bagaimana Google bermain di bisnis mesin pencari, sedangkan Apple tidak masuk ke bisnis tersebut. Namun, Google secara terang-terangan telah masuk ke bisnis ponsel pintar. Ini rupanya diartikan oleh Steve Jobs sebagai langkah Google hendak membunuh iPhone dengan kehadiran ponsel pintar Nexus. Wired.com sempat menulis dengan judul cukup keras, Google's 'Don't Be Evil 'Mantra Is 'Bullshit,' Adobe Is Lazy: Apple's Steve Jobs.
Apple memang kesal pada Google. Apple merasa Google mencontek ide iOS untuk mereka terapkan pada sistem operasi ponsel pintar Android. Kekesalan tersebut cukup beralasan, apalagi Eric Schmidt pernah juga berada dalam keluarga besar Apple.
Google juga berkonflik terbuka dengan Microsoft. Salah satu kejadian yang cukup hangat dalam perseteruan antara Google dan Microsoft adalah peristiwa Google yang membajak salah satu pegawai terbaik Microsoft. Google merekrut Dr. Kai-Fu Lee dari Microsoft. Permasalahan pembajakan karyawan tersebut bahkan harus masuk meja hijau. Microsoft tidak rela karyawannya dicaplok oleh Google.
Langkah merekrut Lee adalah salah satu strategi Google dalam menghadapi persaingan. Selain membajak sumber daya manusia perusahaan lain, dalam berbagai bentuk, Google juga sering “mencontek” teknologi-teknologi lain. Namun, seiring berjalannya waktu, slogan Google yang sudah terlanjur melekat tersebut akhirnya dipensiunkan. Alphabet, perusahaan induk Google, telah menghapus slogan itu pada Oktober 2015 lalu menggantinya dengan, “Do the right thing.” Memang sudah sepantasnya Google bertindak lebih dari sekadar tak berbuat “jahat” tapi juga bisa melakukan sesuatu yang benar.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra