tirto.id - Ketika berkunjung ke rumah saudara di Yogyakarta pada awal 2006 dulu, saya pernah disuguhi minuman berwarna merah. Awalnya saya kira itu air sirup, tapi kok disajikan hangat? Ini jelas bukan teh, warnanya merah terang dan tercium aroma seperti jahe.
“Ini minuman apa budhe?tanya saya pada budhe empunya rumah kala itu.
“Udu, kui ki wedang uwuh. Enak, anget-anget ono empon-empon-e Dicicipi sek (Bukan, itu wedang uwuh. Enak, hangat-hangat ada empon-emponnya. Dicicipi dulu),” ujar Budhe mempersilakan.
Sajian yang saya minum hanya air berwarna merah saja di gelas, bening. Ketika saya cicip, rasanya seperti wedang jahe tapi dengan aroma yang lebih kaya. Budhe membawa satu poci bening besar berisi aneka daun, akar dan empon-empon. Airnya yang berwarna merah tinggal separuh.
Itulah kali pertama saya berkenalan dengan wedang uwuh.
Wedang uwuh adalah minuman dengan bahan dedaunan dan rempah. Dalam bahasa Jawa, wedang berarti minuman yang diseduh, sedangkan uwuh berarti sampah. Kata “sampah” ini memang merujuk pada kumpulan daun-daunan di dalam minuman yang tampak seperti rontokan daun di halaman rumah.
Awalnya, saya memang sempat berpikir bahwa minuman ini dibuat dari hasil mengumpulkan dedaunan kering dan rempah yang ada di sekitar rumah. Namun rupanya, tidak sembarang daun dan rempah yang bisa digunakan. Ada resepnya agar tercipta harmonisasi rasa dan aroma yang nikmat. Kini tak perlu repot, sudah ada yang jual paketan siap seduhnya.
Minuman ini merupakan minuman khas dari daerah Imogiri, Bantul. Bagi yang belum tahu, kawasan ini adalah tempat situs makam raja-raja Mataram berada. Jika naik motor, daerah ini bisa ditempuh sekitar 30-40 menit dari pusat kota Yogyakarta.
Budhe saya berujar bahwa wedang uwuh ini sudah ia minum sejak beliau remaja. Kebetulan beliau juga masih kerabat Pakualaman. Setiap hari Jum’at atau Selasa Kliwon ada acara ziarah keluarga di makam keluarga Imogiri.
“Ndhisik ki arane wedang polo mergo nganggo godhong polo (Dulu namanya wedang polo karena menggunakan daun polo.)Itu lak banyak pohon polo di sana, nah daunnya itu dipakai wedang ini,” kisah beliau lebih lanjut.
Pada saat beliau masih muda, wedang ini hanya dapat dinikmati ketika acara ziarah bersama kerabat raja. Wedang ini biasa disajikan kepada para peziarah di Imogiri untuk menghangatkan badan dari angin malam.
Menurut kisah sejarah yang diceritakan secara turun menurun, wedang uwuh pertama kali dihidangkan dari zaman Sultan Agung yang waktu itu merupakan Raja Mataram. Saat itu, Sultan Agung dengan beberapa pengawalnya sedang mencari tempat yang akan dijadikan sebagai pemakaman keluarga Raja Mataram. Setelah mencari beberapa lama, akhirnya ditetapkan Bukit Merak di Imogiri yang akan jadi lokasi pemakaman.
Kala itu, Sultan Agung juga meminta pengawalnya untuk membuatkan minuman penghangat tubuh. Para pengawalnya itu membuatkan wedang secang.
Wedang itu diletakkan di dekat tempat raja duduk. Seiring waktu, angin menerbangkan daun dan ranting pohon ke dalam wedang secang itu. Karena gelap, Sultan Agung tak sadar bahwa ada dedaunan yang masuk dalam wedang itu. Ternyata ketika diminum, rasa wedang secang itu jadi lebih kompleks dan punya cita rasa unik.
Sultan Agung menyukai minuman itu, dan akhirnya sejak saat itu wedang uwuh lahir dan jadi minuman khas Imogiri. Belakangan, akhirnya wedang uwuh jadi lebih populer dan dikenal sebagai minuman khas Yogyakarta. Bahkan sampai sekarang.
Wedang uwuh senantiasa disajikan panas atau hangat, memiliki citarasa manis pedas dengan warna merah cerah dan aroma harum. Rasa pedas karena bahan jahe, sedangkan warna merah karena adanya secang. Selain itu, yang biasanya ada di dalam wedang uwuh adalah daun dan akar serai, daun dan biji pala, daun dan batang kayu manis, kapulaga, dan dilengkapi dengan gula batu untuk menambah rasa manis.
Di Yogyakarta, wedang uwuh sangat mudah sekali untuk dijumpai. Mulai dari pasar-pasar tradisional, rumah makan, kafe, toko oleh-oleh, bahkan tak sedikit hotel dan penginapan menyediakan menu minuman ini untuk jamuan para pengunjungnya. Selain itu wedang uwuh juga menjadi salah satu andalan oleh-oleh khas dari Yogyakarta yang selalu dicari oleh para wisatawan saat mereka berkunjung.
Pada awalnya wedang uwuh dijual masih dalam bentuk bahan utuh berupa rempah-rempah asli. Namun seiring perkembangan zaman dan kebutuhan akan kepraktisan, saat ini wedang uwuh sudah dikembangkan menjadi dalam bentuk instan, maupun bentuk celup.
Ada pula ragam racikan wedang uwuh yang tak lagi berupa bahan rempah dan gula batu yang bisa kita seduh melainkan juga dalam bentuk sirup. Bahkan, wedang uwuh sekarang tak sebatas disajikan sebagai wedang saja melainkan juga telah berkembang ke cara saji terkini, seperti halnya disajikan dengan es atau ditambahkan soda.
Bukan tidak mungkin ke depannya kita bisa menjumpai aneka sajian yang menggunakan basis racikan wedang uwuh sebagai salah satu bahannya. Tidak lagi sekedar minuman tapi bisa juga dipakai untuk makanan penutup, seperti puding atau es krim misalnya.
Kira-kira sudah ada yang pernah mencoba varian lain dari wedang uwuh ini?
Di bulan Ramadan ini, minum wedang uwuh sebagai minuman buka puasa juga dijamin enak. Hangat, manis, dan punya khasiat kesehatan. Ia bisa menggantikan peran teh manis atau sirup sebagai minuman yang biasa disantap di buka puasa.
Tertarik?
Editor: Nuran Wibisono