Menuju konten utama

Menyelami Hukuman Mati di Arab dari Kasus Eksekusi Zaini Misrin

Hukuman mati di Arab Saudi untuk tindakan membunuh hanya bisa dimaafkan oleh ahli waris korban. Salah satu buruh migran Indonesia bernama Siti Zaenab pernah mengalaminya. Sayang itu tidak terjadi pada Zaini.

Aktivis Migrant CARE mengangkat poster bernada protes di depan Kantor Kedutaan Besar Arab di Indonesia, Jakarta, Selasa (20/3/2018). Migrant CARE dan SBMI melakukan demonstrasi di depan Kedubes Arab setelah pemerintah Arab menjatuhkan hukuman mati pada Zaini Misrin, tenaga kerja asal Indonesia di Arab. tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengomentari eksekusi mati yang dilakukan pemerintah Arab Saudi terhadap buruh migran asal Madura, Muhammad Zaini Misrin. Namun pendapat yang keluar dari mulut JK memang tak populer.

Alih-alih bilang bakal mengusahakan tak ada kejadian serupa pada masa yang akan datang, JK malah secara implisit memahami hukum di Arab Saudi.

"Kita juga harus memahami hukum yang berlaku di negara lain. Sama juga kita harapkan orang memahami hukum di Indonesia," ujar JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (20/3) kemarin.

Ia juga mengatakan kalau eksekusi mati di Arab Saudi baru bisa dibatalkan sepanjang keluarga atau ahli waris korban memaafkan–dengan memperoleh imbalan tertentu bernama diyat.

"Kita tentu memahami kalau orang bersalah, berlaku hukum setempat [di mana orang yang bersalah itu melakukan kejahatan]," katanya.

Apa yang dikatakan JK ada benarnya, tapi tidak lengkap. Hukuman mati di Arab Saudi lebih kompleks dari sekadar putusan pengadilan dan keputusan keluarga korban.

Dalam buku Saudi Arabia Criminal Laws, Regulations and Procedures Handbook (2015), disebutkan bahwa hukuman mati di Arab Saudi didasarkan pada hukum Islam. Data Amnesty International, dari Januari hingga Oktober 2017, sudah ada 100 orang dicabut nyawanya, 60 di antaranya dieksekusi dalam tiga bulan saja atau rata-rata hampir satu hari satu eksekusi.

Laman deathpenaltyworldwide.org yang dikelola Cornell Law School menggambarkan bagaimana hukuman mati berlaku di Arab Saudi.

Hukuman mati diberlakukan bagi tindakan kriminal yang rentangnya cukup beragam. Beberapa di antaranya pembunuhan, terorisme, perampokan, pembakaran, perdagangan dan kepemilikan obat-obat terlarang, perzinahan, murtad, dan mengkhianati raja.

Aturan ini berlaku dengan syarat tertentu. Hukum tidak bisa diterapkan—meski memang benar-benar terjadi—bila pelaku adalah perempuan hamil dan menyusui atau orang gila.

Selain itu, hukuman mati juga dapat dibatalkan dengan syarat tertentu. Menurut sumber yang sama, jika yang dilanggar adalah tindakan kriminal publik maka itu masih bisa diampuni oleh raja atau dalam beberapa kasus karena pelaku bertobat.

"Tetapi tindakan kriminal pribadi [seperti membunuh orang] tidak membawa harapan apapun untuk mendapat pengampunan dari pemerintah," tulis situs deathpenaltyworldwide.org

"Hanya ahli waris korban yang bisa memaafkan pelaku, biasanya setelah pembayaran diyat atau uang darah."

Uang darah adalah kompensasi yang harus dibayar pelaku sebagai bentuk tebusan karena telah membunuh korban.

Pada kasus pembunuhan pada akhirnya keputusan ada di tangan keluarga, pernah ada suatu masa ketika otoritas Indonesia setidaknya mampu menangguhkan hukuman bagi buruh migran yang divonis hukuman mati. Ketika itu Indonesia dipimpin oleh Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Pada 2001, Siti Zaenab, perempuan asal Bangkalan, Madura, dihukum pancung karena membunuh istri majikannya yang bernama Nourah binti Abdullah Duhem Al Maruba pada 1999. Ketika itu Gus Dur yang sedang menjabat sebagai presiden menelepon Raja Arab, memintanya menunda eksekusi.

"Dulu saat Gus Dur jadi presiden, beliau melakukan high diplomacy. Bisa menyelamatkan Siti Zaenab (dari eksekusi)," kata Yenny Wahid pada 2011 silam.

Pemerintah Arab Saudi kemudian menyerahkan keputusan ke anak bungsu korban, Walid bin Abdullah bin Muhsin Al Ahmadi sampai dewasa. Pada akhirnya Walid ketika sudah dewasa, tetap memutuskan untuk tidak memaafkan Siti Zaenab.

Satinah, TKI asal Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah juga dihukum mati karena membunuh Nura Al Gharib, majikannya, pada 17 Juni 2007 malah dimaafkan keluarga korban. Pada 2008, Satinah divonis hukuman mati jenis hadd ghillah (pembunuhan terencana).

Namun, pada 2009 hakim menurunkan vonis menjadi qisas, sehingga ada kemungkinan keluarga korban memaafkan. Keluarga pun akhirnya mengampuni Satinah.

Abdurrahman Mohammad Fachir, Wakil Menteri Luar Negeri, pada 2014 lalu mengatakan ada peran pemerintah Indonesia ketika keluarga korban akhirnya memaafkan Satinah meski sebelumnya tidak bersedia meminta maaf. "Itu kan sudah upaya luar biasa," katanya.

Pemerintah berperan meski dalam kasus itu, kata Fachir, "raja atau pemerintah Saudi sekali pun tidak bisa campur tangan."

Pekerjaan Rumah Pemerintah

Kini masih ada sekitar 20 orang Warga Negara Indonesia (WNI) yang menunggu putusan hukuman di Arab Saudi. Di antaranya mungkin ada yang bernasib seperti Zaini—yang bekerja di Arab Saudi 26 tahun silam dan ditangkap sejak 2004 lalu karena dituduh membunuh majikannya.

Pemerintah perlu upaya konkret untuk melakukan tindakan bagi warga negaranya yang sedang menghadapi hukuman mati. Untuk jangka panjang perlu upaya lain agar kasus-kasus sejenis bisa ditekan.

Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant Care, mengatakan pemerintah memang sudah ada moratorium pengiriman TKI informal ke Arab Saudi beberapa tahun lalu. Namun, langkah moratorium di luar upaya membantu WNI yang sedang menghadapi hukuman.

"Moratorium itu penghentian sementara pengiriman TKI. Sementara TKI kita yang sudah masuk daftar hukuman mati ada 21 orang di Saudi," kata Wahyu kepada Tirto, Rabu (21/3/2018).

Salah satu upaya tambahan yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia adalah juga menghentikan hukuman mati bagi orang asing oleh pemerintah.

Pada 2015, Indonesia setidaknya telah menghukum mati sembilan WNA di Nusakambangan. Kebanyakan dari mereka dihukum mati karena masalah penyelundupan narkoba. Masih ada beberapa orang asing yang terancam hukuman serupa.

Ia beralasan dengan tidak lagi menerapkan hukuman mati, posisi politik Indonesia di mata internasional bisa meningkat soal isu hukuman mati. Pada akhirnya berpotensi meningkatkan pula daya tawar diplomasi Indonesia dengan negara lain saat ada kasus hukum melibatkan WNI di luar negeri.

"Pemerintah Indonesia harus mengerahkan sumber daya politik dan diplomasi untuk mengupayakan pembebasan ratusan buruh migran yang terancam hukuman mati di Arab dan di seluruh dunia dengan melakukan moratorium hukuman mati," kata Wahyu.

Apa yang dikatakan Wahyu sama dengan pendapat dosen pengampu mata kuliah hubungan internasional dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ahmad Alfajri. "Bagaimana mungkin negara yang menginginkan warganya tidak dihukum mati tapi menerapkan hukuman mati bagi warga negara asing?" katanya kepada Tirto.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/03/20/hukuman-mati-tki-di-arab-saudi--tunggal--mojo.jpg" width="859" height="1527" alt="Infografik Tunggal Hukuman Mati Arab Saudi" /

Baca juga artikel terkait EKSEKUSI MATI atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino
-->