tirto.id - Dalam sebuah wawancara dengan Vickie Karp dari The Huffington Post, Wynton Marsalis, musikus jazz sekaligus Direktur Artistik di Jazz at Lincoln Center, New York, berkisah tentang terompet pertamanya. Bagaimana sang ayah menekankan pentingnya pendidikan. Juga tentang New Orleans yang menorehkan semangat bermusik yang mungkin sukar dicari padanannya di manapun.
"Di buku terbarumu, How Jazz Can Change Your Life, kamu bilang bahwa jazz itu tentang rasa hormat yang timbal balik. Apakah seperti itu kamu melihat demokrasi?"
"Jazz datang dari pedoman hidup kita, dan karena jazz adalah bentuk seni nasional kita, ia membantu memahami siapa diri kita."
"Apa yang bisa kita pelajari dari sejarah jazz?"
"Sejarah jazz membuat kita paham, bahwa masa sulit seperti sekarang, bukan satu-satunya masa yang bisa kita lewati bersama. Jika kita benar-benar memahami sejarah seni nasional kita, kita akan tahu bahwa kita punya aspirasi yang sama, berbagi sejarah yang sama, dalam masa suka maupun duka. Kita pernah berjaya dan pernah gagal, tapi kita selalu menghadapinya bersama-sama."
Percakapan itu membuat pembaca mengerti pemikiran Marsalis: bahwa seseorang yang belajar sejarah jazz maupun sejarah Amerika Serikat, harusnya paham bahwa baik jazz maupun AS sama-sama dibentuk oleh imigran. Jazz lahir dari para budak kulit hitam, dan Paman Sam malah dibentuk oleh imigran dari nyaris seluruh dunia. Dan di tengah mencuatnya rasisme dan perkara imigrasi di AS, apa yang diungkapkan oleh Marsalis terasa makin relevan dan penting.
Bisa jadi, itu kenapa panitia Jakarta International Java Jazz mengusung tema Celebrate Jazz in Diversity di tahun ini. Merayakan jazz dalam perbedaan. Jika menggunakan kacamata biasa, tema itu mengisahkan tentang jazz yang merupakan bentuk akulturasi budaya, dan musik jazz punya banyak ragam.
"Jazz itu," kata Dewi Gontha, Direktur Utama PT. Java Festival Production, "musik yang dewasa dan punya banyak turunan."
Jika dilihat dengan kacamata yang lebih besar, keberagaman dan perbedaan itu relevan dengan kondisi Indonesia yang pelan-pelan makin tergerus oleh intoleransi dan rasisme. Tahun ini, Java Jazz akan digelar pada 2 hingga 4 Maret. Lokasinya tak berubah, yakni di Jakarta International Expo Kemayoran. Sama seperti tema keberagaman, tahun ini pun bintang tamu yang diusung berasal dari lintas-genre.
Nama langganan yang nyaris tiap tahun tampil di Java Jazz adalah Ron King Big Band. Tahun ini pun, band asal Los Angeles ini akan kembali tampil. Nama lain adalah Lee Ritenour, gitaris jazz legendaris yang sudah bermain session lebih dari 3.000 kali. Dionne Warwick, biduanita penuh pesona itu, juga akan naik panggung.
Dari Indonesia, ada nama-nama seperti Maliq and D'Essential, Glenn Fredly, Kunto Aji, Endah N Rhesa, Fourtwnty, Mondo Gascaro, juga senior seperti Fariz RM dan Java Jive.
"Tahun ini total ada 10 panggung dengan kurang lebih 100 penampilan," kata Dewi.
Selain nama-nama yang sudah sering tampil di Java Jazz itu, tahun ini ada nama Goo Goo Dolls yang cukup mengejutkan. Band ini mencapai masa keemasan di era 90-an. Saat itu lagu "Iris" yang jadi lagu latar film City of Angels, meledak dan dianggap menjadi salah satu lagu yang mendefinisikan era 90-an.
Untuk pertama kalinya, band asal Buffalo, New York ini akan tampil di Indonesia. Namun, untuk menyaksikan band yang jadi penampil khusus ini, penonton harus merogoh kocek tambahan sebesar Rp199 ribu, selain harus membeli tiket harian.
Ada pula nama Daniel Caesar di deretan penampil khusus. Musikus R&B ini mendapat lampu sorot setelah dua EP-nya, Praise Break dan Pilgrim's Paradise, mendapat acungan jempol dari para kritikus musik. Ketika merilis album penuh Freudian (2017), respons serupa juga mampir. Artis muda Lauv juga turut menjadi penampil khusus di gelaran Java Jazz tahun ini.
Kedatangan tiga penampil khusus ini menjadi pembeda dengan pertunjukan tahun lalu. Menurut Dewi, banyak orang yang meminta pertunjukan khusus diadakan lagi. Alasannya: penonton lebih selektif, jumlahnya lebih sedikit, sehingga menontonnya pun lebih nyaman.
Tak hanya itu perbedaannya. Tahun lalu, ada 14 panggung. Tahun ini, panggung berkurang jadi 10. Dewi mengatakan jumlah panggung yang lebih sedikit itu agar penonton lebih berkonsentrasi ke penampil. Sepuluh panggung juga dianggap jumlah yang pas supaya penonton tak terlalu capai berpindah-pindah panggung dan kehilangan fokus.
Seperti biasa, ada pula kritik tentang kenapa Goo Goo Dolls yang bukan jazz menjadi penampil utama. Pertanyaan seperti itu juga harus dijawab sama pula. Dalam Potensi Pariwisata Musik Sebagai Alternatif Pariwisata Baru di Indonesia: Contoh Kasus Java Jazz (2016), dijelaskan bahwa festival musik adalah sebuah industri. Agar industri itu berjalan dengan berkesinambungan, diperlukan perluasan gagrak musik agar penonton juga makin beragam. Bahkan nama-nama seperti Black Sabbath, Led Zeppelin, hingga Green Day, pernah tampil di festival jazz besar.
Tahun ini, kehadiran Lauv dan Daniel Caesar patut diacungi jempol. Dua nama itu menghapus anggapan bahwa Java Jazz hanya berisi musisi-musisi yang besar di era lampau. Setidaknya dua nama ini bisa mewakili musisi dari era milenial dan Z.
Jumlah panggung yang sedikit itu bisa dibilang perjudian. Bagi mereka yang menyukai suasana festival yang riuh dan banyak panggung, 10 panggung dan 100 penampilan mungkin akan dianggap terlalu sedikit dan mengurangi kemeriahan. Apalagi Java Jazz pernah menampilkan 22 panggung.
Namun, bagi mereka yang sedikit enggan untuk sering berpindah panggung, 10 adalah angka yang mengingatkan pada semangat awal Java Jazz: festival bagi para pecinta musik. Di awal mulai festival ini 2005 silam, jumlah panggungnya hanya 11.
Apa pun itu, festival ini tetap perlu kita sambut dengan meriah. Sebab di tahun ke 14 ini, Java Jazz masih terus hadir dengan rutin dan selalu berupaya menyiapkan kejutan.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani