tirto.id - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memastikan tak ada niat pemerintah untuk mengurangi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi di Indonesia.
Hal itu dikatakan Yasonna saat menanggapi polemik atas rencana pemerintah dan DPR memasukkan pasal tipikor dalam RKHUP yang akan disahkan menjadi UU KUHP pada 17 Agustus mendatang. Langkah tersebut dinilai KPK sebagai bentuk pelemahan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.
Yasonna mengatakan, dimasukannya aturan soal pidana korupsi dalam Rancangan KUHP tidak bermaksud negatif. Yasonna memastikan lembaga antirasuah dapat tetap menggunakan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK sebagai pijakan bekerja meski aturan soal korupsi nantinya diatur di KUHP baru.
"Ya tetap berlaku [UU KPK], itu kan lex spesialisnya. Kami ini belum mau bunuh diri politik," ujar Yasonna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (4/6/2018).
Dalam draf RKUHP per 2 Februari 2018, terdapat enam pasal yang diadopsi langsung dari aturan di Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Di antaranya, Pasal 687 RKUHP senada dengan Pasal 2 UU Tipikor, Pasal 688 RKUHP dengan Pasal 3 UU Tipikor, dan Pasal 689 RKUHP dengan Pasal 4 UU Tipikor.
Sejumlah aktivis antikorupsi khawatir pasal-pasal itu diloloskan karena yang paling terkena imbas adalah KPK. Pasalnya, lembaga itu dikhawatirkan bakal tak punya kewenangan penindakan dan penuntutan.
Yasonna membantah ketakutan itu. Menurutnya, KPK tetap dapat melakukan pengusutan kasus korupsi meski KUHP nanti mengadopsi UU Tipikor.
"Kalau ada ketentuan yang umum, kemudian ada ketentuan khusus, mana yang dipakai? ya [ketentuan] khusus. Tidak ada segelintir pun niat pemerintah untuk itu [melemahkan KPK]. [...] Kami sedang bicara kodifikasi hukum, konstitusinya hukum pidana. Semua harus diatur generiknya," ujar Yassona.
Menteri dari PDI Perjuangan itu pun meminta para pimpinan KPK hadir dalam rapat koordinasi yang akan digelar bersama Menko Polhukam Wiranto. Menurut Yassona, pemerintah akan segera menggelar rapat membahas RKUHP.
Sebelumnya KPK telah angkat bicara mengenai polemik tersebut. Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah mengatakan meletakkan kasus korupsi sebagai kejahatan biasa dalam RKUHP merupakan langkah mundur terhadap semangat pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Di KUHP ancaman pidana [korupsi] lebih rendah, dan ada keringanan hukuman untuk perbuatan-perbuatan percobaan [sehingga] dapat membawa Indonesia berjalan mundur dalam pemberantasan korupsi," ucap Febri Diansyah, Kamis (31/5/2018).
Pemerintah dan DPR juga menyatakan untuk mempersilakan pihak yang keberatan terhadap pasal korupsi di RKUHP dapat mengajukan judicial review ke MK setelah pengesahan. Hal ini, menurut Febri, amat disayangkan.
"Jika pemerintah dan DPR bersedia membuka diri untuk tidak memaksakan pengaturan delik korupsi di RUU KUHP, maka risiko pelemahan pemberantasan korupsi tidak perlu terjadi," ujar Febri.
Ia pun berharap pemerintah, dalam hal ini khususnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat meneruskan komitmennya dalam memberantas korupsi. Menurutnya, Jokowi pernah beberapa kali mencegah pelemahan terhadap KPK, misalnya terkait rencana revisi UU KPK yang tidak jadi dilakukan.
"Presiden dapat kembali memberikan sikap yang tegas untuk mengeluarkan delik korupsi dalam RUU KUHP," ucapnya.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Alexander Haryanto