Menuju konten utama

Menkominfo Siapkan Cara agar Telegram Bisa Diakses Kembali

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara tengah menyiapka solusi agar pemblokiran Telegram dapat secepatnya dibuka.

Menkominfo Siapkan Cara agar Telegram Bisa Diakses Kembali
Ilustrasi aplikasi Telegram. Getty Images/iStock Editorial

tirto.id - Solusi agar pemblokiran sebelas Domain Name System (DNS) milik Telegram dapat dibuka kembali di Indonesia. Hal ini diakui Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.

"Kami sedang siapkan dasarnya secara detail agar operasional, kami sedang siapkan agar operasional dan kita akan mengatur SOP (Standard Operating Procedure) itu bukan hanya untuk website-nya karena (pemblokiran) kemarin kan untuk website-nya tapi sekarang juga (aturan) untuk aplikasinya," kata Rudiantara di Istana Presiden Jakarta, Selasa (18/7/2017).

SOP itu menurut Rudiantara akan diberlakukan secepatnya. "Begitu SOP-nya tersedia langsung cepat juga dibuka," ungkap Rudiantara seperti dikutip Antara.

Sejak Jumat (14/7/2017), pemerintah memblokir Telegram karena "dapat membahayakan keamanan negara karena tidak menyediakan SOP dalam penanganan kasus terorisme".

Karena itu, Kemkominfo telah meminta Internet Service Provider (ISP) untuk memutus akses terhadap 11 DNS Telegram.

CEO Telegram Pavel Durov kemudian menyurati Kemenkominfo agar membatalkan pemblokiran dengan menawarkan tiga pilihan langkah.

Pertama, Telegram memblokir semua saluran publik terkait teroris yang sebelumnya telah dilaporkan Kemenkominfo.

Kedua, meminta Kemenkomifno membuka saluran komunikasi langsung yang memungkinkan Telegram dapat bekerja lebih efisien dalam mengidentifikasi dan menghalangi propaganda teroris di masa depan.

Ketiga, membentuk tim moderator yang berdedikasi dengan pengetahuan dan budaya Indonesia untuk dapat memproses laporan konten yang berhubungan dengan teroris lebih cepat dan akurat.

"Pemerintah patokannya manfaat bagi masyarakat kalau masyarakat menginginkan dibuka secepatnya ya kami rapikan masalah koridor untuk penapisannya (penyaringannya), jadi akhirnya (Telegram) diperbolehkan tapi ada koridor penapisan, tidak bisa suka-suka dong," tambah Rudiantara.

Telegram dianggap tidak mengindahkan permintaan Kemenkominfo sejak Maret 2016 untuk menutup sejumlah akun yang terindikasi bermuatan radikal.

Contoh SOP yang ditawarkan Kemenkominfo misalnya self-sencoring (penyaringan pribadi).

"Yang paling bagus adalah self-cencoring yang bisa dilakukan dengan script (bahasa pemograman) tertentu dan self-cencoring tidak bisa 100 persen, nanti kalau ada yang bocor-bocor ada komunikasi lagi, yang penting ada keinginan dari semua pihak untuk memitigasi agar memastikan kita tidak terpapar konten negatif, masyarakat juga senang," jelas Rudiantara.

Selain Telegram, Kemenkominfo juga berencana untuk melakukannya terhadap media sosial lainnya.

"Telegram kan sudah intensif nih, yang lain mulai minggu ini diundang lagi, artinya mereka sudah pernah diundang. Semua juga ada dimungkinkan untuk dimasuki terorisme," tambah Rudiantara.

Rudiantara mengakui Telegram memang dinilai paling aman dalam berkomunikasi baik oleh masyarakat Indonesia maupun global.

"Mungkin karena masyarakat nasional maupun global melihat fitur yang paling secure adalah Telegram jadi banyak yang pakai Telegram. Kenapa di website yang dipakai karena website itu panjang, berhalaman-halaman bercerita, yang ikut banyak, jadi forum yang perfect karena kalau aplikasi kan terbatas. Makanya saya katakan pemerintah tidak punya intensi untuk melakukan penutupan tapi Ayo kita sama-sama melakukan penapisan," jelas Rudiantara.

Ia lalu menyarankan agar masyarakat menggunakan aplikasi percakapan yang dibuat Indonesia.

Baca juga artikel terkait TELEGRAM atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Teknologi
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari