tirto.id - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebutkan pemerintah sadar terhadap risiko utang luar negeri yang berpotensi memengaruhi stabilitas ekonomi. Menurut Sri Mulyani, salah satu risiko yang bisa muncul terkait dengan fluktuasi nilai tukar.
Guna mengantisipasi timbulnya gejolak yang tidak diinginkan, Sri Mulyani menekankan bahwa pemerintah terus berupaya untuk memprioritaskan sumber dari domestik ketimbang dari luar negeri. Sri Mulyani mengatakan pengadaan utang pada 2019 akan tetap memprioritaskan penerbitan surat berharga negara (SBN) dalam mata uang rupiah.
“Itu dilakukan untuk mendorong pengembangan instrumen dan perluasan basis investor dalam rangka mencapai kemandirian pembiayaan sekaligus mengurangi risiko-risiko yang melekat pada utang dari luar negeri,” kata Sri Mulyani di Jakarta pada Kamis (31/5/2018).
Lebih lanjut, Sri Mulyani mengatakan pengelolaan utang akan tetap dilakukan secara berhati-hati dalam rangka mendukung kesinambungan fiskal. Pengadaan utang untuk membiayai defisit APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2019 pun akan tetap mendukung upaya efisiensi biaya dengan memperhatikan level risiko yang terkendali dalam pemilihan instrumen, tenor, serta waktu pengadaan utang.
Berdasarkan data dari Statistik ULN Indonesia pada Mei 2018, utang luar negeri Indonesia secara keseluruhan sampai dengan Maret 2018 mencapai 358,7 miliar dolar AS atau setara dengan 34,8 persen PDB (Produk Domestik Bruto). Dari total angka tersebut, 184,7 miliar dolar AS merupakan utang luar negeri pemerintah dan 174 miliar dolar AS merupakan utang luar negeri swasta.
Meski memandang positif besaran utang luar negeri swasta, namun Menkeu tetap mengimbau adanya prinsip kehati-hatian. Ia menyatakan perlu adanya pengaturan khusus sehingga utang luar negeri swasta tidak menimbulkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian, seperti yang terjadi pada krisis di 1998/1999.
“Pemerintah serta Bank Indonesia secara konsisten berkoordinasi dalam melakukan pemantauan perkembangan utang luar negeri swasta, serta memitigasi risiko yang timbul dari adanya utang luar negeri swasta tersebut,” ungkap Sri Mulyani.
Adapun salah satu kebijakan yang saat ini dilakukan ialah dengan mengatur besaran Debt to Equity Ratio oleh setiap perusahaan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Tak hanya itu, korporasi juga diwajibkan mematuhi Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengatur tentang kewajiban hedging, pengaturan minimal rasio likuiditas perusahaan, serta kewajiban pemenuhan peringkat rating utang.
Masih dalam kesempatan yang sama, Sri Mulyani menekankan bahwa utang pemerintah cenderung diperuntukkan bagi pembiayaan kegiatan yang bersifat produktif dan investasi jangka panjang, seperti pembiayaan infrastruktur maupun pendidikan dan kesehatan.
Sri Mulyani pun sepakat bahwa utang luar negeri pemerintah itu memang harus dapat mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. “Pada 2019, pemerintah akan tetap melakukan kebijakan ekspansif yang terarah dan terukur. Defisit anggaran diharapkan dapat terus dikendalikan dalam batas aman,” ujar Menkeu.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Maya Saputri