tirto.id - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati buka-bukaan mengenai isi surat dilayangkan oleh Pusat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait adanya transaksi mencurigakan di Lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Sri Mulyani menyampaikan awalnya nilai transaksi tersebut tidak dimuat PPATK dalam surat pertama yang disampaikan pada 9 Maret 2023. Baru kemudian di surat kedua yang diterima pada 13 Maret 2023 dimasukan angka Rp349 triliun.
"ini formatnya hampir mirip yaitu seluruh daftar surat yang dikirim PPATK kepada berbagai instansi sebanyak 300 surat daftarnya itu dengan total transaksi Rp349 triliun," katanya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (27/3/2023).
Bendahara Negara itu menjelaskan 300 surat tersebut tidak semuanya berisikan untuk Kemenkeu, melainkan 100 surat dikirim kepada aparat penegak hukum (APH) lain dengan nilai transaksi Rp74 triliun periode 2009-2023. Kemudian Rp253 triliun dalam 65 surat berisi data transaksi debit kredit operasional perusahaan/korporasi dengan transaksi terbesar Rp189 triliun terkait tugas fungsi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC).
"Rp253 triliun yang ditulis dalam 65 surat itu adalah data dari transaksi debit kredit operasional perusahaan dan korporasi yang tidak ada hubungannya dengan pegawai Kemenkeu, ini ada hubungannya dengan fungsi pajak dan bea cukai," ucap Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengatakan surat dari PPATK yang benar-benar berhubungan dengan tupoksi pegawai Kemenkeu adalah hanya 135 surat dengan nilai Rp22 triliun. Transaksi itu pun disebut tidak semua berhubungan dengan instansinya.
"Bahkan Rp22 triliun ini Rp18,7 triliun menyangkut transaksi korporasi yang tidak ada hubungan dengan Kemenkeu. Jadi yang benar-benar berhubungan dengan pegawai Kemenkeu itu Rp3,3 triliun, ini 2009-2023," beber Sri Mulyani.
Di sisi lain, terkait dengan pegawai, Sri Mulyani menegaskan bahwa akumulasi ini adalah transaksi debit kredit pegawai termasuk penghasilan resmi, transaksi dengan keluarga dan jual beli harta untuk kurun waktu 15 tahun (2009-2023), yang telah ditindaklanjuti. Ada juga surat berkaitan dengan clearance pegawai yang digunakan dalam rangka mutasi promosi (fit & proper test).
"Jadi ya tidak ada hubungannya dalam rangka untuk pidana atau korupsi atau apa, tapi kalau kita untuk mengecek tadi untuk profiling dari resiko pegawai kita. Jadi banyak juga beberapa yang sifatnya adalah dalam rangka kita melakukan tes integritas dari staf kita," pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Ham (Menkopolhukam), Mahfud MD mengungkapkan bahwa aliran dana senilai Rp300 triliun yang tengah ramai diperbincangkan merupakan laporan diduga tindak pidana pencucian uang (TPPU). Laporan ini bahkan tidak selalu berkaitan dengan pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Ini laporan tindak pencucian uang. Sekali lagi itu tidak selalu berkaitan dengan pegawai di Kementerian Keuangan. Itu yang mungkin ngirim siapa, yang ngirim siapa dan seterus-seterusnya, dan itu bukan uang negara, ," kata Mahfud MD di Kantornya, Jakarta, Senin (20/3/2023).
Mahfud mengatakan tindak pidana pencucian uang ini sering menjadi besar nilainya karena menyangkut kerja intelijen keuangan. Sebagai contohnya uang yang sama mungkin berputar 10 kali, namun dihitung hanya dua atau tiga kali. Padahal perputaran uangnya mencapai 10 kali.
"Misalnya saya kirim uang mencurigakan ke (Kepala PPATK) Ivan, Ivan mengirim ke sekretarisnya, sekretarisnya mengirim ke sana, mengirim ke saya lagi, uang yang sama. Itu tetap dihitung sebagai perputaran uang aneh. Itu yang disebut TPPU.
"Jadi jangan berasumsi menteri keuangan berkorupsi Rp349 triliun. Nggak, ini tindak mencurigakan. Dan itu juga melibatkan dunia luar. Orang yang punya sentuhan-sentuhan dengan mungkin orang Kementerian Keuangan," sambung dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Reja Hidayat