tirto.id - Setidaknya ada 22 anak yang dititipkan polisi ke Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Mereka adalah pelajar yang mengikuti demonstrasi pada 24 hingga 30 September 2019 di DPR RI, Jakarta, dan lantas ditangkap karena dianggap perusuh.
Saat reporter Tirto mendatangi lokasi tersebut, Jumat (4/10/2019) pekan lalu, 10 anak telah kembali ke orangtua masing-masing lewat proses diversi--pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Mereka ditempatkan di Antara, blok yang biasa digunakan untuk anak-anak yang baru dititipkan polisi atau butuh pengawasan khusus.
Saya menemui mereka selepas salat Jumat. Didampingi seorang petugas, mereka berbaris, menyapa saya, lantas melangkah lagi ke tempat mereka semula yang dibatasi jeruji besi.
Anak-anak 15 sampai 18 tahun itu terlihat terluka. Ada yang matanya lebam hingga menyipit, ada pula yang dahinya luka dan masih basah, juga luka sayat yang terlihat masih basah di punggung. Mereka lantas diobati setelah selesai makan.
Maria Barus, pendamping anak-anak ini, mengatakan sebagian dari mereka memang datang dalam keadaan lebam.
“Saya tidak menyalahkan pihak mana pun, karena mungkin situasi chaos. Mungkin polisi tidak [bertanya], ‘kamu anak atau bukan? Usiamu berapa?’” katanya kepada saya saat kunjungan kedua, Senin (7/10/2019) kemarin.
Senin kemarin hanya tersisa tujuh anak saja. Lima lainnya sudah dipulangkan. Mereka menjalani masa rehabilitasi selama satu bulan, dan bisa dikurangi jika berkelakuan baik.
Jika tak berkelakar kepada petugas medis, saya mungkin terus-terusan ngilu melihat kondisi mereka.
“Tensi saya berapa?” tanya salah seorang anak, bocah SMK berusia 17 tahun.
“Tinggi, 130.”
“Emang normalnya berapa?”
“110. Kamu kurang istirahat.”
“Makanya, pulangin aja, bu,” balas bocah itu sambil tertawa.
Emosi mereka stabil, aku Fatimatuzahra, psikolog anak-anak ini. Perempuan yang akrab dipanggil Ima itu menyimpulkan demikian setelah membandingkannya dengan anak berhadapan hukum di kasus lain seperti narkotika, pembunuhan, dan terorisme.
Berdasarkan pemeriksaan pula, Ima mengatakan anak-anak ini tidak trauma. Tapi, katanya, “lebih ke kesal ke aparat.” “Kalau trauma, kan, efeknya lebih ke takut. Ini lebih kesal dipukulin, atau kenapa harus ngaku [berbuat rusuh] padahal dia enggak melakukan.”
Motivasi mereka ikut demo beragam, jelas Irma: ada yang memang niat, ada pula yang sekadar diajak teman. Namun ada pula yang tidak sengaja lewat titik demo dan penasaran, contohnya Bejo, bukan nama sebenarnya.
Bejo bercerita kalau pada 30 September itu dia kebetulan melintasi lokasi demonstrasi. Ia tidak ikut aksi, tapi ada dan mendekati lokasi kericuhan karena penasaran.
Dia, seperti banyak demonstran lain, ditangkap orang-orang tak berseragam dan lalu digebuki. “Waktu itu saya ditangkap sama polisi preman yang nyamar, terus saya dibawa, terus saya dipukulin sama Brimob.” Dia tahu itu Brimob karena mereka berseragam.
Setelah dipukuli Bejo dan yang lain--jumlahnya ratusan--digiring ke Polres Jakarta Barat. Dia ditahan tiga hari sebelum dipindahkan ke PSMP Handayani.
Yang Mengobati Semestinya Polisi
Kepala Seksi Layanan Rehabilitasi Sosial PSMP Handayani Bambang Wibowo mengatakan sebenarnya yang diserahkan Polres Jakbar jumlahnya 23 anak. Tapi mereka menolak satu orang karena kondisinya relatif lebih parah ketimbang yang lain.
Dari foto yang ditunjukkan Bambang, anak ini matanya bengkak kebiruan. Dahinya diperban. Dia juga tidak kuat jalan.
Ia meminta polisi menangani mereka terlebih dulu sebelum menyerahkannya ke panti.
“Nanti kami yang ketempuhan,” kata Bambang, Senin (7/10/2019). “Memangnya ini rumah sakit?”
Kabid Humas Polda Metro Jaya Argo Yuwono, Kabiropenmas Divisi Humas Polri Dedi Prasetyo, dan Kadiv Propam Polri Listyo Sigit Prabowo tidak merespons pesan atau mengangkat telepon reporter Tirto untuk dimintai keterangan terkait pemindahan anak-anak ini ke panti sosial.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika