Menuju konten utama

Menimbang Posisi Ketua DPR Setelah Novanto Dua Kali Tersangka

Status tersangka Novanto dinilai bisa merusak citra DPR sebagai lembaga legislatif.

Menimbang Posisi Ketua DPR Setelah Novanto Dua Kali Tersangka
Ketua DPR Setya Novanto memberikan keterangan kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (18/7). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - Ketua DPR Setya Novanto kembali ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersangka korupsi proyek E-KTP, kemarin, (10/11). KPK mengaku telah mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) pada 3 November lalu.

Dalam surat tersebut, seperti yang disampaikan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, jabatan Novanto tertulis sebagai Ketua DPR.

Mengenai hal ini, Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti berpandangan status tersangka Novanto bisa merusak citra DPR sebagai lembaga legislatif. Menurut Ray, penetapan tersangka ini kian membuat kepercayaan publik terhadap DPR semakin menurun.

"Selama ini DPR kerap disebut sebagai lembaga korup. Dengan status Novanto, bisa menjadi pembenaran anggapan publik tersebut," kata Ray di Jakarta Pusat, Sabtu, (11/11/2017).

Untuk mengantisipasi turunnya marwah DPR ini, Ray menyebut, Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR harus segera mengambil langkah terhadap Novanto, sesuai Undang-undang MD3. Menurut Ray, MKD bisa melakukan sidang atas dasar isu yang berkembang di masyarakat.

"Ini menjadi perhatian umum, perhatian masyarakat kita. Jadi mereka bisa bersidang. Kalau keputusannya diganti ya bagus," kata Ray menambahkan.

Baca juga: KPK vs Setya Novanto Jilid 2, Dari Cepi Iskandar Hingga Golkar

Senada dengan Ray, Mirwan DZ Fauli dari Generasi Muda Partai Golkar (GMPG) menyatakan, posisi Novanto sebagai tersangka tidak hanya menyandera Golkar, tapi juga DPR. Padahal, kata Mirwan, DPR secara kelembagaan tidak mesti menanggung akibat dari status Novanto.

"DPR punya aturan untuk mengganti ketua apabila tersangkut kasus, dan Pak Novanto ini kan sudah pernah diganti," kata Mirwan.

Soal pergantian ini, Mirwan menyebut, pengganti Novanto harus tetap dari fraksi Golkar. Sebab, jatah kursi ketua merupakan milik partai berlambang pohon beringin itu.

Ia juga mengatakan, Golkar memiliki banyak stok politikus yang berkompeten. Namun, dia menyebut, urusan siapa yang menggantikan merupakan kewenangan DPP.

"Biar partai yang menentukan," kata Mirwan.

Menanggapi pandangan Ray dan Marwan, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Maman Abdurrahman menyatakan, MKD tidak bisa memproses Novanto apabila yang bersangkutan belum secara resmi terbukti bersalah. Ini seperti tercantum dalam Pasal 87 Ayat 1 dan Ayat 2 huruf c UU MD3.

Baca juga: Usai Penetapan Tersangka, KPK Belum Berencana Tahan Setya Novanto

Tak hanya itu, Maman bilang, Golkar juga tetap solid mendukung Novanto sebagai ketua DPR dan sebagai Ketua Umum Golkar.

"Selama belum ada keputusan inkracht enggak bisa dong. Kan ada azas praduga tak bersalah," kata Maman.

Pendapat Maman ini didukung anggota Komisi III DPR Taufiqulhadi. Taufiq sependapat dengan Maman ihwal Pasal 87 Ayat 1 dan Ayat 2 huruf c UU MD3. Merujuk ke pasal tersebut, kata politikus Partai Nasdem ini, seorang tersangka tidak harus diganti dari posisinya sebagai ketua DPR.

"Jadi tidak perlu diganti," kata Taufiqulhadi.

Apalagi, proses penggantian ini harus melalui kesepakatan seluruh fraksi. Sementara saat ini, DPR sedang masa reses. Sehingga tidak mungkin untuk mengambil keputusan tersebut.

Sementara terkait sidang MKD, Taufiq juga menyanggah pandangan dari Ray. Menurut Taufiq, langkah itu terburu-buru. Sebab, kata dia, penetapan tersangka Novanto berpeluang batal seperti yang terjadi pada penetapan tersangka perdana.

"Kalau MKD memproses sekarang dikhawatirkan itu terburu-buru," kata Taufiqulhadi.

Kemarin, Setya Novanto kembali diumumkan sebagai tersangka dalam kasus E-KTP oleh KPK. Penetapan itu diumumkan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. "KPK menerbitkan surat perintah penyidikan pada tanggal 31 Oktober 2017 atas nama tersangka SN [Setya Novanto]," kata Saut.

Tuduhan KPK tidak berubah. Dengan sejumlah alat bukti, Novanto disangkakan telah melanggar Pasal 2 Ayat 1 subsider Pasal 3 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Novanto diduga telah menyalahgunakan wewenang dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi sewaktu menjabat sebagai Anggota DPR RI periode 2009-2014.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Mufti Sholih