Menuju konten utama
Periksa Data

Menilik Kebijakan Penanganan Pengangguran Selama Pandemi COVID-19

Indonesia tengah melakukan sejumlah upaya untuk menangani pengganguran akibat pandemi COVID-19. Namun, sejauh mana upaya tersebut berhasil?

Menilik Kebijakan Penanganan Pengangguran Selama Pandemi COVID-19
Infografik Periksa Data Penanganan Pengangguran Saat Covid 19. tirto.id/Quita

tirto.id - Di tengah pandemi COVID-19 yang masih belum terkendali, kondisi ketenagakerjaan Indonesia saat ini kian mengkhawatirkan dengan terus bertambahnya jumlah pengangguran. Jurnalis korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bernama Nurul Nur Azizah merasakan sendiri dampaknya.

Pihak kantor secara mendadak memberitahu Nurul bahwa ia akan di-PHK pada bulan Juli silam setelah bekerja selama hampir 3 tahun di perusahaan tersebut. "Antara percaya dan ga percaya," tutur Nurul. "Beberapa bulan setelah kasus PHK, [seakan-akan] masih belum napak di bumi. Ibaratnya, kayak apa-apa bingung dan serba ga pasti."

Padahal, perempuan berusia 25 tahun ini harus membanting tulang di Jakarta demi membantu menghidupi keluarganya di Blitar, Jawa Tengah. Orang tuanya yang bekerja sebagai petani memiliki penghasilan yang tidak tetap. Ia juga harus membiayai adiknya yang sebentar lagi akan duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA).

Nurul saat ini tengah menjalani proses hukum agar dapat dipekerjakan kembali.

Nurul hanyalah satu dari jutaan orang di Indonesia yang harus merasakan pahitnya kehilangan pekerjaan selama pandemi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 2,67 juta orang di Indonesia yang telah kehilangan pekerjaan sepanjang Agustus 2019-Agustus 2020.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan sekitar 2,56 juta orang menjadi pengangguran karena COVID-19 dalam konferensi pers virtual yang diikuti Tirto pada 5 November 2020. Sisanya diperkirakan karena faktor lain.

Dengan penambahan ini, jumlah pengangguran per Agustus menjadi 9,77 juta, terburuk sejak 2007. Pada 2007, angka pengangguran yang dicapai Indonesia adalah 10,01 juta orang. Jika dilihat dari tingkat pengangguran terbuka (TPT), maka TPT bulan Agustus 2020 yang sebesar 7,07 persen tertinggi sejak 2011.

Sejauh ini, pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk mitigasi dampak pandemi COVID-19 dan mengatasi pengangguran. Namun, sudahkah berhasil program-program pemerintah untuk membendung arus pengganguran yang semakin deras?

Stimulus Terlalu Kecil?

Langkah masif pertama yang dilakukan Indonesia untuk menangani dampak perekonomian adalah dengan meluncurkan berbagai stimulus fiskal. Sebagai contoh, pemerintah telah memberikan berbagai keringanan pajak untuk pegawai maupun untuk para pengusaha guna mencegah terjadinya PHK dan membantu pelaku usaha.

Menurut studi International Labor Organization (ILO), ada korelasi antara besaran stimulus fiskal dengan lebih rendahnya pengurangan jam kerja di kuartal kedua tahun 2020. Secara global, setiap penambahan fiskal stimulus sebesar 1 persen dari PDB tahunan sebuah negara akan mengurangi kehilangan waktu kerja sebesar 0,8 persen.

Kendati demikian, ILO menemukan bahwa stimulus fiskal telah terkonsentrasi di negara berpenghasilan tinggi. Alasannya, negara berkembang memiliki kapasitas yang terbatas untuk membiayai stimulus fiskal yang besar.

Sebagai negara yang berkembang, Indonesia telah mengalokasikan stimulus sebesar 4,2 persen terhadap PDB nya. Angka ini kecil jika dibandingkan negara G20 lainnya seperti seperti Jerman (24,8 persen), Amerika Serikat (13,6 persen) dan Tiongkok (6,2 persen), menurut data yang dipaparkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam kuliah umum pada 18 November 2020.

Namun, Indonesia tidak sendiri dalam masalah ini. Laporan ILO menyebutkan bahwa terdapat disparitas stimulus fiskal sebesar USD982 miliar antara negara-negara berpenghasilan tinggi dengan negara-negara berkembang dan negara-negara berpenghasilan menengah-bawah.

Menurut ILO, kesenjangan stimulus fiskal yang "sangat besar" ini lebih mengkhawatirkan lagi dengan adanya "defisit perlindungan sosial" di banyak negara berkembang. Terlebih, negara-negara berkembang dan berpenghasilan menengah bawah ini juga harus mengalokasi anggaran belanja negaranya untuk tujuan lain guna mengurangi dampak pandemi terhadap pasar tenaga kerja.

"Sama halnya kita perlu melipatgandakan upaya kita untuk mengalahkan virus, kita perlu juga bertindak cepat dan tepat untuk untuk mengatasi dampak ekonomi, sosial dan pekerjaannya. [Upaya] itu termasuk menopang dukungan untuk pekerjaan, bisnis dan pendapatan," kata Direktur Jenderal ILO Guy Ryder, dikutip dari siaran pers ILO.

Namun, besaran stimulus fiskal suatu negara tidak serta merta mengerem kontraksi pertumbuhan ekonomi. Sebagai negara dengan besaran stimulus terhadap PDB tertinggi di antara negara-negara G20, Jerman diperkirakan akan mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 6 persen atau 4 kali lebih besar daripada estimasi kontraksi pertumbuhan ekonomi Indonesia, berdasarkan proyeksi International Monetary Fund (IMF) pada bulan Oktober 2020.

Belum Tepat Sasaran?

Selain stimulus, pemerintah juga meluncurkan program Kartu Prakerja pada 11 April 2020 sebagai program pelatihan dengan tujuan meningkatkan kompetensi dan daya saing pesertanya. Masih ada pula skema bantuan sosial (bansos) bagi para peserta Kartu Prakerja untuk mencegah penurunan kesejahteraan masyarakat terdampak pandemi COVID-19 yang belum tercakup dalam skema bansos reguler.

Studi SMERU Research Institute pada Juli 2020 menemukan bahwa peserta program Kartu Prakerja yang sesuai dengan sasaran pelatihan juga terdampak pandemi COVID-19, sehingga sudah tepat dengan sasaran bansos. Namun, ditemukan pula peserta program yang tidak tepat untuk mengikuti pelatihan tetapi membutuhkan bansos karena terdampak pandemi COVID-19.

Temuan lainnya, mayoritas peserta tidak memilih pelatihan secara saksama karena tidak mengetahui rencana kariernya. Keterbatasan kuota internet, tingkat literasi digital yang rendah dan berbagai kendala lainnya juga menghambat pemanfaatan pelatihan yang optimal.

"Ambil pelatihan di Bukalapak. Saya nggak tahu, pokoknya lihat-lihat gitu aja, sih. Yang penting [video pelatihan] udah dilihat terus dimatiin karena kuotanya berat," ujar salah satu peserta program Kartu Prakerja yang diwawancarai oleh SMERU pada 4 Juni 2020.

SMERU mengusulkan, perlu adanya panduan bagi para peserta program untuk menentukan rencana kariernya dan memilih kebutuhan pelatihan di platform digital mitra program Kartu Prakerja. Lembaga itu juga menyarankan pemerintah untuk melakukan seleksi calon peserta untuk mengoptimalkan kemanfaatan program Kartu Prakerja.

Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2020 turut menyingkap tabir Kartu Prakerja. Sebanyak 66,47 persen penerima program ini statusnya masih 'bekerja', sementara penerima dengan status 'pengangguran' hanya 22,24 persen dan sisanya, 11,29 persen, diisi Bukan Angkatan Kerja (BAK).

Kendati demikian, survei BPS menunjukkan bahwa 88,92 persen penerima manfaat yang menyelesaikan pelatihan pada program Kartu Prakerja menganggap bahwa program ini dapat meningkatkan keterampilan kerja mereka, dilansir dari tayangan ulang diskusi daring BPS pada 23 November 2020.

Selain itu, ada 81,24 persen penerima Kartu Prakerja yang menjawab bahwa uang saku (insentif) dari Program Kartu Prakerja digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Responden juga menjawab bahwa mereka menggunakan insentif untuk memulai usaha baru, membayar utang, dan menggunakannya untuk menabung.

"Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada di tengah pandemi COVID-19, para penerima Program Kartu Prakerja menyatakan bahwa program ini sangat bermanfaat setidaknya karena dua alasan itu: meningkatkan keterampilan dan pemanfaatan insentif bantuan hidup," jelas Suhariyanto, dalam webinar pada 23 November 2020.

Subsidi Upah Mandek?

Pemerintah juga saat ini mengandalkan subsidi upah untuk menangani krisis pandemi di bidang ketenagakerjaan. Bantuan berupa uang tunai Rp600,000 selama empat bulan ini disalurkan kepada pekerja yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan dan memiliki gaji di bawah Rp5 juta.

Sayangnya, banyak kendala masih dialami oleh masyarakat untuk dapat mengakses bantuan ini, seperti dialami Fauziah Nurmala. Ibu rumah tangga di Jakarta ini mengatakan bahwa ia tidak mendapatkan subsidi ini karena BPJS Ketenagakerjaannya sudah di non-aktifkan oleh perusahaannya sejak akhir Maret tanpa alasan yang jelas.

Fauziah secara resmi dirumahkan sepanjang Juli-September 2020 dari pekerjaannya sebagai pelayan restoran di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Kontraknya lalu tidak diperpanjang di bulan Oktober.

Sementara itu, suaminya diberhentikan dari pekerjaannya sebagai petugas kebersihan di berbagai ATM pada bulan Juli 2020. Untungnya, sang suami sempat mendapatkan bantuan subsidi upah.

Fauziah mengaku bahwa PHK bertubi-tubi ini sempat membuatnya syok dan menangis sesaat. Pasalnya, Fauziah dan suaminya masih harus membayar kontrakan rumah setiap bulan dan membiayai anaknya yang baru menginjak usia satu tahun.

Namun, pasangan suami-istri ini sedang melakukan segala upaya untuk mencari pekerjaan baru. Sang suami kini tengah bekerja sebagai pengemudi ojek daring. "Semuanya juga kena dampak. Tergantung [cara] kita menyikapinya sih. Kalau kita stres atau depresi mungkin kita ga dapat apa-apa, kita [hanya] dapat sakit dan beban yang bertambah," ujar Fauziah.

Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menilai program subsidi ini sesungguhnya baik dan patut didukung, dalam keterangan tertulisnya 17 Agustus 2020. Ia mengatakan, subsidi ini akan mampu mendongkrak daya beli pekerja, sehingga pada akhirnya akan mendukung pertumbuhan ekonomi.

Namun, ia mendesak pemerintah untuk memiliki mekanisme penerima peserta yang tepat sasaran agar tidak mengulang kesalahan program kartu Prakerja.

Dalam pesan yang diterima Tirto pada 24 September 2020, Timboel menyoroti eksekusi subsidi yang tersendat akibat permasalahan nomor rekening dan beberapa masalah lainnya. Ia mengutip data dari pemberitaan media yang menunjukkan bahwa penyaluran subsidi mencapai 98,02 persen dari 9 juta nomor rekening yang siap ditransfer dari bank pemerintah. Angka 9 juta ini juga masih jauh di bawah target pemerintah sebesar 15,7 juta rekening.

Ia berharap pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan mau proaktif mengkomunikasikan persoalan nomor rekening ini ke perusahaan-perusahaan dan pekerja peserta subsidi secara langsung. Selain itu, pemerintah juga dapat menyalurkan subsidi upah tersebut kepada pekerja yang belum didaftarkan ke BPJS Ketenagakerjaan dengan melakukan pendataan langsung ke perusahaan-perusahaan.

"Dengan proaktif maka bantuan subsidi upah diharapkan benar-benar bisa dinikmati oleh pekerja, dan pekerja yang belum terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan secara selektif dapat juga menikmati bantuan subsidi upah," tuturnya.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Made Anthony Iswara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Made Anthony Iswara
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara