Menuju konten utama

Mengusahakan Urban Farming di Bantaran Sungai

Sistem pangan alternatif yang bisa dilakukan oleh siapa saja harus mulai dibangun. Semestinya masyarakat bisa memproduksi makanan sendiri.

Mengusahakan Urban Farming di Bantaran Sungai
Warga menyirami tanamannya di Cikini, Jakarta, Jumat (15/9/2017). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

tirto.id - Hujan baru saja reda di sekitar Dusun Widuri, Desa Prajekan Lor, Kecamatan Prajekan, Kabupaten Bondowoso, Rabu 9 November 2022 sore. Ribuan polybag berjejer rapi berisi sawi dan pakcoy tumbuh segar di sisi kanan kiri bantaran sungai irigasi di salah satu sudut RT 3 RW 10. Beberapa tanaman hias dan serai tumbuh segar di bawahnya.

Pria berkaus abu-abu dengan celana pendek tampak cekatan menanam bibit sawi ke dalam polybag. Namanya Agus Tri Setia. Sejauh ini memang hanya tanaman sawi dan pakcoy yang dia garap. Jumlahnya sekitar lima ribu polybag. Tanaman itu dirawat secara organik dengan menggunakan pupuk kotoran kambing yang didapat dari tetangga peternak skala kecil.

Agus lahir dan besar di Pasuruan. Dia pindah ke Bondowoso karena ikut istri. Dirinya tidak berasal dari keluarga petani. Ilmu yang dia praktikkan saat ini didapat dari seorang kawan yang menjadi penyuluh pertanian di kecamatan sebelah, Wringin. “Saya ini profesinya dagang,” kata Agus sembari menanam.

Dia melakoni aktivitas berkebun sejak 2019. “Waktu itu, pas ngobrol sama Pak RW, sempat ada obrolan ingin ada tanaman di lingkungan sepanjang sungai. Menurut saya, ide itu bagus. Pak RW tidak hanya menyampaikan ide, tapi juga memberikan fasilitas,” tutur Agus.

Awalnya kegiatan ini diniatkan dilakukan bersama warga. Ketua RW memberikan fasilitas dengan harapan agar warga di tempatnya mudah mengakses sayuran.

“Hasil panen dijual langsung ke konsumen, tidak ke pasar. Pembeli banyak dari warga RT sini, kadang juga dari RT sebelah. Kadang juga dibagikan gratis buat warga yang butuh tapi sedang tidak ada uang. Kalau dihitung pasnya, saya dapat sekitar 500 ribu dari hasil jual sawi dan pakcoy ini. Jualnya per ikat, harganya 2 ribu per satu ikat.”

Betty Tiominar, Koordinator Nasional FIAN Indonesia, organisasi masyarakat sipil yang mendorong hak atas pangan dan gizi, mengatakan inisiatif Agus baik untuk bisa dijadikan referensi. Minimal, kebutuhan sayur yang bisa dipastikan sehat untuk keluarga jadi terpenuhi. Dia bilang, tidak banyak yang seperti Agus.

“Dia bisa memanfaatkan lahan kosong untuk menanam sayur untuk kebutuhan orang kampung dulu sebelum dilempar ke pasar,” katanya melalui aplikasi percakapan, Jumat 25 November 2022.

Akan sangat bagus jika hal ini bisa ditularkan ke yang lain. “Saya ingin mengajak semuanya, termasuk saya pribadi, pegiat kebun pangan keluarga, untuk mempertahankan dan meningkatkan pola pertanian yang ramah lingkungan. Untuk kalangan ibu-ibu juga bapak-bapak di kota maupun di desa, mari berkebun lagi dan kalau bisa tanamlah benih lokal yang kita punya atau yang ada di sekitar kita. Menanam adalah cara melestarikan benih pangan dan memastikan kualitas gizi pangan keluarga kita sendiri.”

Memakan yang Kita Tanam

Betty juga mengingatkan bahwa perkara utamanya bukan apakah pangan itu organik atau tidak, sebab “perusahaan tanaman skala besar juga sudah banyak yang mengembangkan pertanian skala besar untuk tanaman pangan organik.” “karena memang pasarnya terbuka,” tegasnya.

Isu besar yang diwakili kisah Agus adalah bagaimana semestinya masyarakat bisa memproduksi makanan mereka sendiri. Menurutnya, Food and Agriculture Organization (FAO) dan beberapa penggerak isu pangan sedang gencar mendorong sistem produksi pangan alternatif seperti ini.

“Saya ingin mengajak berbagai kalangan, baik dari unsur media, pegiat pangan, juga pihak terkait untuk melihat isu pangan sembari mendorong sistem pertanian agroekologi yang dinilai beberapa akademisi dan penggerak isu pangan lebih selaras dengan alam,” tegasnya.

Selaras dengan itu, FIAN, kata Betty, juga mendorong pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak petani, mulai dari penerapan sistem berladang tradisional sampai penggunaan benih-benih lokal.

Masih bicara soal pemerintah, menurut Betty mereka masih fokus pada jagung, kedelai dan padi, padahal ada banyak sekali ragam pangan yang mengandung karbohidrat. Pemerintah belum pernah bersungguh mendata ragam pangan lokal yang dimiliki Indonesia. Di Ende, misalnya, berdasarkan riset salah satu anggota TERASI Pangan, sumber pangan masyarakat lokal bahkan bukan hanya dari ladang tetapi juga hutan.

Lebih kronis, meski pemerintah mengatakan bahwa kita mengalami krisis, tapi kebijakan yang dibuat malah semakin menjauhkan petani dan masyarakat dari kedaulatan pangan atau ketahanan pangan keluarga.

“Riset FIAN Indonesia bersama CSO lokal di Kalteng beberapa waktu lalu melihat bahwa kebijakan larangan tebas bakar telah membuat petani tradisional tidak bisa berladang dengan sistem manyeha tana (sistem lokal) dari tahun 2015. Akibatnya bukan saja mereka harus membeli beras dan kebutuhan sayur-sayuran lain, tetapi juga ada benih-benih padi lokal (gunung) yang hilang karena tidak bisa ditanam,” bebernya.

“Sementara itu, di Mantangai Hulu dan Kalumpang, Kapuas, masyarakat mengatakan tidak ada lagi dari mereka yang berladang. Sumber penghidupan mereka harus beralih entah menjadi pekebun sawit atau penambang.”

Infografik Bahaya EL Nino

Infografik Bahaya EL Nino semakin dekat. tirto.id/Quita

Artikel jurnal milik Wardatul Jannah dan Aria Dirawan dari Universitas Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat menyebut pertanian organik dengan teknik media tanam polybag atau sejenisnya sangat potensial dilakukan di desa. Penelitian mengungkapkan bahwa masyarakat perdesaan terutama ibu-ibu rumah tangga mendapatkan pengalaman dan ilmu tentang teknik budi daya sayuran organik.

Dia juga menyebut keuntungan yang diperoleh, dari mulai sisi ekonomi seperti “menekan biaya pengeluaran” sampai “dapat melakukan pola hidup sehat.”

Sementara Chairani Astina, dkk dari Universitas Sains Al-Qur’an Wonosobo dalam sebuah artikel jurnal menjelaskan bagaimana polybag merupakan salah satu media tanam yang dapat dikembangkan dengan baik. Beragam buah dan sayur bisa ditanam menggunakan polybag.

“Selain itu, media tanam polybag mudah dalam perawatan, pengontrolan-pengawasan [...] lebih jelas untuk pemeliharaan seperti serangan hama-penyakit, menghemat ruang dan tempat penanaman,” tulis penelitian tersebut.

Riset terkait lain dilakukan Siti Chalimah, Sofyan Anif, Tuti Rahayu dari Jurusan Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta. Penelitian tersebut menemukan bahwa kotoran kambing atau ayam yang dicampur dengan limbah buah dan atau daun mimba layak digunakan sebagai pupuk organik.

Pupuk organik juga pernah diteliti oleh Trisna Afriadi Muhammad, Badruz Zaman, dan Purwono dari Departemen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Riset itu menemukan penambahan kotoran kambing membuat kualitas kompos matang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak.

Baca juga artikel terkait URBAN FARMING atau tulisan lainnya dari Abdul Gafur

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Abdul Gafur
Penulis: Abdul Gafur
Editor: Rio Apinino