tirto.id - Sebuah jembatan terlihat lengang dari kejauhan. Ia bisa dilewati via Jalan Pantai Indah Kapuk Boulevard, Jakarta Utara; menghubungkan pulau utama dengan pulau buatan. Pulau D namanya atau kini disebut sebagai Pulau Maju.
Setelah melintas, kita akan sampai ke jalan utama yang relatif besar. Di kanan dan kirinya terdapat deretan ruko berukuran besar berwarna cokelat muda. Empat tahun lalu, kawasan ini cuma hamparan tanah kosong nan gersang.
Pulau D terlihat bersih dan terawat untuk ukuran sebuah pulau tak berpenghuni.
Tapi pulau ini tak kosong sama sekali dari manusia. Selain saya yang berkunjung ke sana Kamis (6/12/2018) kemarin, ada petugas keamanan yang berjaga di pos. Pria bernama Iman itu menanyakan maksud dan tujuan saya datang ke tempat ini. Ketika itu ia mengenakan seragam biru tua.
Pulau D memang terlampau sepi. Oleh karena itu keberadaan orang asing gampang diketahui.
Iman, perantau dari ujung Sumatera, mengaku baru sebulan bekerja di sana. Selain dia, ada petugas lain yang berjaga di jalan utama Pulau D.
“Bosan sih, tapi ya enggak apa-apa. Biasanya di sini baru sedikit ramai kalau enggak pagi, ya sore. Hanya saja penjagaannya jalan terus, 24 jam,” kata Iman.
Praktis, masuk ke Pulau D saat ini sangat mudah. Reporter Tirto sempat mendatangi tempat yang sama pada November 2017, dan diusir. Ketika itu seorang petugas bernama Fendy Prasetyo mengatakan siapa pun dilarang masuk Pulau D. Kalaupun memaksa, harus mengantongi izin dari Agung Sedayu Group dulu.
PT Kapuk Naga Indah (KNI), perusahaan tentakel milik Agung Sedayu Group yang mengembangkan pulau tersebut, dulu menjanjikan kawasan itu menjadi hunian elite dan sentra bisnis bernama "Golf Island".
Keterbukaan dimulai sejak Gubernur DKI Anies Baswedan memutuskan menghentikan proyek reklamasi. Mereka pun, pada Juni lalu, menyegel 932 bangunan serta mengklaim seluruhnya tidak memiliki IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan menyalahi Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta.
Pulau juga disegel, dan baru dibuka beberapa minggu lalu, menurut keterangan Iman—media menyebutnya empat hari lalu, 3 Desember 2018.
“Waktu saya mulai bertugas di sini, masih ada penyegelan,” ungkap Iman.
Meski di bawah pengawasan petugas keamanan yang jumlahnya tidak sedikit, tapi Pulau D sudah lebih ramah orang asing. Iman menegaskan sejak segel dicopot warga sekitar kerap memanfaatkan jalan utama untuk olahraga atau sekadar nongkrong.
“Saat malam hari pun kadang masih ada yang olahraga atau lewat. Lampu penerangannya nyala, tapi memang di bangunannya gelap,” ujar Iman.
Kelonggaran itu rupanya telah diatur sedemikian rupa sehingga warga hanya bisa mengakses jalan utama. Akses jalan ke sejumlah titik lain ditutup seng. Penjagaan di pintu yang mengarahkan ke jalur selain jalan utama pun terbilang ketat.
Saya berdiri di tepi jalan utama kira-kira 15 menit. Hening sekali, beda dengan jalan mana pun di pulau utama sana, di Jakarta, yang penduduknya nyaris menyentuh 10 juta orang. Memang ada satu dua mobil yang melintas, tapi itu tak cukup untuk membikin ramai suasana.
Pada sisi utara bundaran—batas lewat bagi masyarakat umum—terlihat bangunan yang belum rampung. Selain ada bangunan bertingkat serupa ruko, terlihat juga kompleks perumahan. Namun tak ada lagi sisa-sisa pengerjaan proyek di sana.
Pulau D tampaknya akan tetap jadi kota mati seperti ini sampai mendapat 'sentuhan' dari PT Jakarta Propertindo (Jakpro). Jakpo adalah perusahaan pelat merah yang ditugasi Anies Baswedan untuk membikin dan mengelola fasilitas umum di sana.
Corporate Secretary Jakpro Hani Sumarno menegaskan kalau mereka hanya akan mengelola fasilitas sebagaimana tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 120 Tahun 2018.
“Kalau sudah baca Peraturan Gubernurnya, memang ada yang menjadi domain Jakpro, tapi ada juga yang kami tidak ikut [terlibat]. Perkembangan untuk pembahasan pengelolaannya saat ini masih di tahap internal,” jelas Hani.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Rio Apinino