tirto.id - Nyaris tiga tahun silam, persisnya 23 Januari 2020, pemerintah Cina menerapkan lockdown di Wuhan, Provinsi Hubei. Daerah ini merupakan episentrum paling awal Covid-19 yang kelak menjadi pandemi global. Sekitar 11 juta penduduk diperintahkan bertahan di tempat tinggal masing-masing.
Situasi senyap nan mencekam dalam penguncian wilayah yang disebut-sebut paling masif dalam sejarah manusia itu berlangsung selama 76 hari. Meski begitu hasilnya seperti yang diinginkan: angka infeksi dilaporkan turun. Otoritas Wuhan mulai melonggarkan aturan sampai status lockdown dicabut tanggal 8 April.
Kehidupan nyaris kembali normal. Mungkin masih banyak yang ingat dengan foto paling ikonik pasca-lockdown Wuhan: kerumunan massa di atas pelampung berdesakan di kolam renang sembari menikmati pertunjukan musik.
Pujian bertaburan. Presiden Xi Jinping menyanjung Wuhan sebagai “kota heroik” dan warganya “pahlawan”. Narasi-narasi seperti “kemenangan menentukan” dan “pengorbanan panjang” digaungkan oleh media milik pemerintah, Xinhua. Mereka melaporkan beragam kisah perjuangan warga dan staf medis berjibaku melawan pandemi.
Ada pula upaya dari media pro-Beijing Global Times yang mengontraskan situasi di sana dan tempat lain. Dikatakan bahwa di saat warga merasakan cepatnya pemulihan aktivitas, negara-negara lain yang sudah “mengejek” kebijakan pembatasan, terutama Amerika Serikat, masih terseok.
Kritik Pers Luar Negeri
Meskipundisanjung oleh elite Cina dan bahkan WHO, strategi lockdown Wuhan ditanggapi dengan kritis oleh pers luar negeri. Reuters menyebut lockdown Wuhan sebagai “karantinagaya militer”; media Inggris seperti The Guardian menilainya “brutal tapi efektif”;sementara BBC mengangkat kisah warga yang punya kenangan buruk dengan layanan kesehatan selama lockdown.
Al Jazeera yang berbasis di Qatar juga merekam kekecewaan segelintir warga terhadap Presiden Xi. Sebabnya, figur nomor satu di Cina itu nyaris tidak muncul pada awal karut-marut lockdown namuntiba-tiba berkunjung setelah kasus dilaporkan berkurang. Kehadirannya disindir sekadar “pertunjukan politik”.
Media Jerman Deutsche Welle membahas lockdown sebagai pengerahan kontrol oleh rezim otokratik yang berpotensi merenggut kebebasan dan nilai-nilai demokrasi, termasuk dalam wujud aturan jam malam atau larangan berkumpul untuk beribadah. Penduduk Eropa pun diminta waspada dan proaktif menuntut transparansi pemerintah terkait penerapan aturan hukum khusus selama pandemi.
Di masa lalu, lockdown rupanya pernah dikerahkan sebagai alat untuk menyingkirkan dan menindas komunitas marjinal, demikian tulis New York Times yang menyoroti lockdown dari sisi etika. Salah satu kasus adalah karantina terhadap orang-orang Rusia Yahudi dan siapa pun yang bertegur sapa dengan mereka ketika wabah tipes melanda Manhattan pada akhir abad ke-19.
Argumen bahwa lockdown menggerus hak-hak dasar untuk beraktivitas juga disuarakan oleh segelintir aktivis jurnalisme warga yang menyaksikan dan merasakannya langsung di Wuhan.
Kesaksian mereka dibalas dengan pembungkaman oleh otoritas. Hanya empat bulan sejak lockdown Wuhan, setidaknya empat jurnalis warga “hilang” alias ditahan di pusat detensi atau dikirim ke fasilitas karantina. Mereka dituding sebagai provokator karena menyiarkan konten tentang kesulitan dan penderitaan yang dihadapi warga selama lockdown melalui Twitter dan YouTube—platform media sosial yang diblokir di dalam Cina.
Tapi ada pula yang menganggapnya biasa saja. Misalnya Song Feifei, perempuan berusia 20-an akhir yang bekerja di sebuah sentra perbelanjaan terkenal. Mengenang setahun lockdown Wuhan, setengah bergurau ia berkata, “Lockdown itu sendiri tidak terlalu buruk, kecuali memang kami jadi tidak punya kebebasan. Beri saja layanan internet dan kami bisa betah di rumah selamanya."
Aturan ini memang mengundang perasaan campur aduk, jika bukan serba kontradiktif, bagi yang mengalaminya.
(Bersambung...)
Editor: Rio Apinino