tirto.id - Hadijah, 31 tahun, warga Tangerang Selatan berubah di mata teman-temannya saat masa-masa libur panjang Natal dan Tahun Baru berakhir. Ia sering menolak ajakan untuk sekadar nongkrong di kedai kopi kekinian di kawasan Jakarta Selatan. Padahal, biasanya perempuan lajang yang bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta ini selalu bersemangat.
Ia mengaku sedang berhemat karena gaji yang diterima Desember 2017 lalu sudah menipis. Parahnya, saat bulan pertama 2018 baru memasuki pekan kedua, simpanan dari uang gajiannya sudah tersisa seperlima saja.
“Enggak sadar saya, tiba-tiba gaji sudah tinggal tersisa tinggal 20 persen. Padahal baru pekan kedua, terpaksa saya harus hemat-hemat, biar selamat sampai akhir bulan,” katanya kepada Tirto.
Ia menyalahkan gaji yang datang terlalu awal membuat dirinya kebobolan soal keuangan. Jelang Natal lalu, beberapa perusahaan mencairkan gaji bagi para pekerjanya jauh lebih cepat dari biasanya, termasuk di perusahaan Hadijah bekerja. Saat bersamaan, uangnya cukup banyak tersedot saat berlibur ke luar kota di akhir tahun. Iming-iming diskon belanja akhir tahun juga bisa bikin kalap.
Baca juga: Kesalahan Mengatur Keuangan Ala Generasi Milenial
Pengalaman Hadijah bisa jadi juga dirasakan oleh para milenial lainnya. Persoalan perencanaan keuangan seringkali terabaikan, termasuk dalam mengatur biaya berlibur dan belanja kebutuhan sehari-hari.
“Kalau sudah begitu, maka bokek di awal tahun itu benar-benar terjadi. Padahal, pengeluaran itu masih akan berlanjut pada bulan-bulan berikutnya,” kata Perencana Keuangan OneShildt Financial Planning Budi Raharjo kepada Tirto.
Menurut Budi, tren masyarakat untuk berlibur di akhir tahun memang tak bisa dihindari terutama mereka yang tinggal di perkotaan. Kegiatan liburan menjadi penyela dari rutinitas pekerjaan selama setahun. Namun, saat liburan pula lazim terjadi peluang membuat pengeluaran seseorang tak terkendali.
Apalagi, pada saat yang sama, banyak tawaran diskon belanja di pusat-pusat belanja atau toko online di penghujung tahun membuat seseorang bisa membeli barang yang sejak awal tak direncanakan. Bagi yang tak bisa mengendalikan hasrat belanja, bisa bikin kondisi keuangan jadi runyam.
Berdasarkan penelitan yang dilakukan Wu dan Huan (2010) yang berjudul "The effect of purchasing situation and conformity behavior on young students’ impulse buying" terhadap 240 responden mahasiswa yang pernah melakukan kelompok wisata ke luar negeri, dari Perancis dan Republik Ceko, mengenai pembelian yang tidak terencana. Didapati salah satu faktor yang membuat konsumen melakukan pembelian tidak terencana atau impulsif, di antaranya terkait dengan waktu atau situasi.
Semakin banyak kesempatan waktu untuk berbelanja yang dimiliki oleh konsumen, maka semakin tinggi pula peluang terjadinya perilaku pembelian impulsif oleh konsumen. Faktor situasional yang dihadapi konsumen atau dalam konteks libur panjang di akhir tahun, membuat seseorang bisa mengambil tindakan spontan dalam hal pengeluaran.
Sementara itu, hasil penelitian yang dilakukan Boy Winawan dan Ni Nyoman Kerti Yasa dari Universitas Udayana, Bali berjudul "Pengaruh Penataan Produk, Jenis Kelamin, dan Daftar Belanja Terhadap Keputusan Pembelian Tidak Terencana" (2014) dalam konteks berbelanja di toko retail, menyebutkan pembelian tidak terencana juga didorong dari ketepatan dalam penataan produk oleh pelaku usaha.
Selain itu, juga keputusan konsumen yang menyiapkan daftar belanja atau merencanakan dengan baik bisa menghindari dari kondisi membeli barang/jasa di luar rencana. “Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa daftar belanja mampu mengurangi kemungkinan para konsumen untuk melakukan keputusan impulse buying (pembelian tidak terencana)."
Baca juga: Kecurangan Keuangan Sama Seriusnya dengan Perselingkuhan
Kesadaran Perencanaan Keuangan yang Rendah
Perencanaan memang menjadi kunci dalam mengelola keuangan seseorang, terutama dalam menghadapi hari libur panjang seperti dalam pergantian tahun. Apabila tidak, uang pengeluaran rutin bisa habis terpakai, dan tidak menutup kemungkinan dapat menguras tabungan hingga bokek di awal tahun. Kalau sudah demikian maka seseorang bisa terjebak pada utang.
“Intinya liburan [termasuk berbelanja barang] itu harusnya direncanakan. Saat ini mungkin hanya sekitar 30 persen turis kita yang melakukan liburan dengan perencanaan yang matang. Sisanya berjalan spontan,” tutur Budi.
Contoh persoalan kemampuan mengelola keuangan saat liburan akhir tahun jadi potongan kecil dalam melihat spektrum yang lebih luas lagi yaitu soal perencanaan keuangan seseorang untuk jangka panjang. Berdasarkan riset yang dilakukan HSBC, yang berjudul HSBC Power of Protection 2017, hanya 35 persen dari jumlah warga Indonesia yang disurvei diklaim telah melakukan perencanaan keuangan secara baik.
Kondisi ini tentunya memprihatinkan. Apabila perencanaan keuangan tidak disiapkan dengan baik, akan mengorbankan kebutuhan penting lainnya, misalnya, untuk kebutuhan pendidikan dan kebutuhan mendasar lainnya.
Dari studi HSBC disebutkan, dalam menghadapi kebutuhan pendidikan anak, sebanyak 78 persen orang tua bersedia mengorbankan dana pensiun mereka. Selain itu, 70 persen orang Indonesia juga bersedia mengorbankan dana pensiun mereka, apabila orang tua mereka sakit parah, sehingga harus mendapatkan perawatan.
Alhasil, tidak jarang kondisi itu membuat banyak orang menjadi pesimistis dalam melihat masa depan. Bahkan, sekitar 55 persen orang Indonesia percaya bahwa mereka masih harus bekerja saat pensiun. “Oleh karena itu, segera rencanakan keuangan Anda. Apabila itu berjalan, dan dilakukan konsisten, baru memikirkan rencana investasi ke depannya,” kata Pandji Harsanto, Perencana Keuangan Finansia Consulting.
Baca juga: Agar Masa Tua Damai dan Tenteram
Namun demikian, harus diakui untuk merencanakan keuangan dengan baik tidak semudah membalikkan tangan. Salah satu faktor utama yang menjadi penghambat di antaranya adalah terkait gengsi atau gaya hidup seseorang.
Berdasarkan pengalamannya, sebagian besar masyarakat, umumnya di perkotaan, memang tidak berani mengatakan tidak secara tegas, terhadap barang atau jasa maupun kegiatan liburan yang sebenarnya tidak terjangkau oleh mereka.
Kondisi itu juga semakin sulit apabila sudah bicara taste atau standar masing-masing orang. Ketika sudah terbiasa menggunakan barang/jasa, terutama yang branded, sangat sulit untuk menurunkan standar.
“Jadi memang untuk melakukan penyesuaian gaya hidup sesuai dengan kemampuan atau penghasilan masing-masing orang itu tidak mudah. Pada akhirnya, keputusan finansial yang diambil salah,” kata Pandji.
Bagi Anda yang merasa bokek di awal tahun, maka solusi darurat melakukan penghematan agar pengeluaran tetap aman sampai akhir bulan. Setelah mendapatkan gaji, maka segera lakukan evaluasi dan menyiapkan perencanaan keuangan dengan disiplin dan komitmen. Bila tidak, jebakan bokek tak hanya terjadi di awal tahun tapi bisa terjadi di masa pensiun Anda.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra