tirto.id - Tahukah kamu, faktor ekonomi adalah penyebab terbesar kedua perceraian di Indonesia?
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022—terakhir diperbarui 20 Februari 2023 lalu—sebesar 110.939 kasus perceraian disebabkan karena faktor ekonomi, sementara 284.169 kasus lainnya karena faktor perselisihan dan pertengkaran terus-menerus.
Melansir Databoks Katadata, total jumlah kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.344 kasus pada 2022.
Angka di atas meningkat 15,31 persen dibandingkan 2021 yang mencapai 447.743 kasus. Adapun angka ini hanya mencakup perceraian pasangan yang beragama Islam.
Pengalaman memprihatinkan nyaris bercerai karena faktor ekonomi dialami Hanun (32), Account Manager asal Bandung.
“Tahun lalu kami hampir bercerai. Penyebab utamanya karena faktor ekonomi keluarga yang sempat goyah selama masa pandemi lalu. Saya lelah menjadi breadwinner dalam keluarga,” ujar Hanun.
Hanun melanjutkan, “Awalnya faktor ekonomi tidak masalah bagi kami berdua karena posisi kami di kantor sudah level tinggi bahkan sebelum kami menikah. Salahnya, kami tidak pernah membahas bagaimana mengatur keuangan keluarga kami, berjalan begitu saja.”
Keadaan semakin rumit sempat membuat ibu dua anak ini frustasi dan menangis hampir setiap hari. Hanun merasa lelah harus menjadi pencari nafkah—menghidupi diri sendiri dan keluarga saat suaminya terpaksa menganggur. Keinginan untuk bercerai tebersit dalam keputusasaannya.
Dalam suatu relasi, baik itu yang masih masa penjajakan pacaran maupun sudah berumah tangga, faktor ekonomi berpotensi menjadi masalah apabila diabaikan sedari awal menjalin hubungan.
Buat kamu yang sedang merencanakan pernikahan, atau bagi yang sudah menikah, apa saja strategi untuk mengatur keuangan bersama pasangan?
Financial Planner Expert dan Head of Advisory & Investment Operation PINA, Rista Zwestika, CFP, WMI, menyarankan sederet langkah untuk mengatur keuangan yang sehat bersama pasangan.
“Langkah pertama dan utama yang harus dilakukan adalah membangun komunikasi terbuka dan jujur tentang kondisi keuangan masing-masing bersama pasangan. Diskusikan juga tujuan keuangan bersama dan buatlah rencana untuk mencapainya,” jelas Rista.
Berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan pasangan sangat penting. Langkah inilah yang dilakukan oleh Thaya (26), Brand Manager dan suaminya, Qaul (26), Business Analyst.
“Penting banget membahas bersama tentang kondisi keuangan, perencanaan keuangan, dan semua yang menyangkut keuangan keluarga karena setiap orang kondisi keuangannya pasti beda-beda. Dan biasanya punya financial goals yang berbeda juga,” cerita Thaya.
Thaya meneruskan, “Supaya tetap fair dan tetap happy, harus didiskusikan supaya kami berdua bisa mencapainya dan bisa memiliki goals bersama.”
Thaya dan Qaul sudah berpacaran selama enam tahun, menikah satu tahun, dan sudah dikaruniai bayi berusia empat bulan. Selama berpacaran, dan saat merancang pernikahan dulu, mereka terbuka dan jujur mendiskusikan kondisi keuangan masing-masing.
Contoh pembahasan mereka salah satunya membuat monthly financial spending dengan anggaran joint income dan joint expenses—seperti cicilan mobil, listrik, atau kebutuhan sehari-hari masing-masing.
Langkah kedua untuk mengatur keuangan bersama pasangan, seperti diterangkan lebih lanjut oleh pakar perencanaan keuangan Rista, adalah menetapkan tujuan keuangan bersama.
“Tetapkan tujuan finansial bersama dengan membicarakan tujuan finansial jangka pendek dan jangka panjang, seperti membeli rumah, pendidikan anak, atau pensiun. Buatlah anggaran yang realistis untuk mencapai tujuan bersama,” ujar Rista.
Kembali pada kisah Thaya dan Qaul. Sebelum menikah, mereka sudah membicarakan financial goals. Misalnya tentang niat membeli rumah.
“Sekarang masih on progress, bentuknya masih financial planning. Dalam lima tahun ke depan, kami ingin punya aset berapa banyak dengan perkiraan pemasukan sekian, dan sekian,” ujar Thaya.
Langkah selanjutnya dalam mengatur keuangan bersama pasangan adalah membagi tanggung jawab keuangan.
Diskusikan dan sepakati cara membagi tanggung jawab keuangan, seperti pembayaran tagihan, belanja bulanan, dan tabungan. Pastikan pembagian tanggung jawab adil dan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Thaya kembali berbagi pengalaman, “Sebelum nikah kami obrolin juga tentang pembagian tanggung jawab keuangan dalam keluarga nantinya, tapi nggak ada tanggung jawab uang harus datang dari spesifik kami masing-masing. Kami berdua bekerja, tapi untuk sekarang belum ada kesepakatan soal alokasi gaji siapa untuk siapa.”
“Karena kami joint income, setelah payday kami gabungkan uangnya. Baru setelah itu kami pos-posin uangnya untuk kebutuhan masing-masing dan membayar sesuai kebutuhan. Untuk proses bayarnya, Qaul membayar urusan mobil, aku bayar listrik dan pegang uang laundry dan groceries. Kalau memang kebutuhanku lebih banyak, contohnya untuk beli-beli makeup, baju, atau facial, berarti uang bulanan yang kupegang lebih banyak,” lanjut Thaya.
Strategi selanjutnya, saran Rista, catatlah pengeluaran bersama. Langkah ini dapat dibantu dengan aplikasi atau metode pencatatan khusus. Dengan begitu, kamu dapat melacak ke mana uang pergi dan lebih mudah mengidentifikasi area yang bisa dihemat.
Setelah itu, jangan lupa sisihkan dana untuk ditabung dan diinvestasikan bersama. Sisihkan minimal 10 persen dari penghasilan untuk ditabung. Pilihlah instrumen investasi yang sesuai dengan profil risiko dan tujuan finansial bersama.
Misalnya, saham, emas dan logam mulia, obligasi, deposito, atau properti. Mulailah berinvestasi dengan nominal kecil dan tingkatkan secara bertahap.
Kemudian, lakukan review keuangan secara berkala—minimal setahun sekali. Evaluasi anggaran dan strategi keuangan kalian bersama dan lakukan penyesuaian jika diperlukan.
Langkah terakhir, cobalah hadapi perbedaan pendapat dengan komunikasi yang terbuka dan saling menghormati. Tenang saja, perbedaan pendapat dalam keuangan adalah hal yang wajar.
Setelah mengetahui langkah-langkah untuk mengatur keuangan bersama pasangan, apa yang kemudian dapat dilakukan untuk budgeting keuangan keluarga?
Rista menyarankan tiga poin penting budgeting: menghitung penghasilan, menetapkan pos pengeluaran, dan membuat anggaran.
Pertama, menghitung penghasilan. Hitunglah total penghasilan dari gaji suami dan gaji istri. Kemudian, catat penghasilan lain seperti bonus, upah freelance, atau hasil investasi.
Setelah itu, tentukan pos-pos pengeluaran yang terdiri dari kebutuhan pokok, seperti makanan sebesar 20-30 persen dari penghasilan, tempat tinggal sebesar 30-40 persen dari penghasilan (termasuk sewa, cicilan KPR, listrik, air, dan gas), transportasi sebesar 10-15 persen dari penghasilan, dan kebutuhan rumah tangga sebesar 5-10 persen persen dari penghasilan (termasuk sabun, deterjen, dan toiletries).
Terkait kebutuhan lainnya, kamu bisa membuat pos-pos untuk keperluan pendidikan anak sebesar 5-10 persen dari penghasilan (termasuk biaya sekolah anak dan kursus), kesehatan sebesar 5-10 persen dari penghasilan (termasuk asuransi kesehatan dan biaya berobat), hiburan sebesar 5-10 persen dari penghasilan, serta tabungan dan investasi sebesar 10-20 persen dari penghasilan.
Poin penting terakhir yang dibagikan Rista sebagai contoh budgeting dalam keuangan keluarga adalah jangan lupa membuat anggaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tanggungan masing-masing.
Mengatur keuangan bersama pasangan, terutama di awal pernikahan, memang tidak mudah. Setiap pasangan membutuhkan komunikasi terbuka dan kejujuran tentang kondisi keuangan masing-masing.
Sebaliknya, apabila kita tidak memperjuangkan itu semua, bukan mustahil hubungan dengan pasangan di masa depan menjadi keruh.
Dengan bersama-sama mengelola keuangan keluarga secara bijak dan berinvestasi dengan cerdas, kamu dan pasanganmu berpeluang mencapai stabilitas keuangan, hubungan yang harmonis, dan meraih tujuan hidup yang kalian mimpikan. Semangat, ya!
Penulis: Glenny Levina
Editor: Sekar Kinasih