Menuju konten utama

Menggunakan Tik Tok untuk Konten Lucu, Bukan Pornografi

Beberapa pengguna, termasuk Walikota Semarang, bercerita bagaimana menggunakan Tik Tok untuk mengusir jenuh hingga "untuk lucu-lucuan saja."

Menggunakan Tik Tok untuk Konten Lucu, Bukan Pornografi
Ilustrasi Tik Tok. tirto.id/Nadya

tirto.id - Sejak 3 bulan lalu, Delphy Olla memiliki aktivitas baru saat sedang bosan: mengunggah video berdurasi 15 detik ke akun Tik Tok. Bukan sekadar untuk membunuh bosan, aplikasi ini jadi sarananya berekspresi di depan kamera. “Bisa melatih ekspresi di depan kamera. Soalnya cita-citaku pengin jadi artis,” ucapnya.

Meski belum terkenal, setiap hari Delphy tak pernah absen mengunggah video ke akun Tik Tok miliknya: Mariaaagrz. Dalam sehari, ia setidaknya mengunggah konten sekali. Jika sedang tak banyak aktivitas, ia bisa nongol di aplikasi tersebut hingga tiga kali dalam sehari, bahkan lebih. Baginya, Tik Tok juga bisa menjadi sarana melatih kreativitas dalam mengedit video.

Gadis berusia 17 tahun ini juga sering menggunakan aplikasi tersebut di sekolah. Di kelasnya, paling tidak ada 5 temannya yang juga menjadi pengguna. “Lipsync dan nge-dance pakai lagu hits kayak Cathy Fakandi,” ungkap Delphy. Nama yang disebutnya adalah aktor sinetron yang populer di Tik Tok.

Sama seperti Delphy, Alif Alfiana dan Nabila Trisnaningsih juga memanfaatkan platform ini untuk mengusir jenuh saat disibukkan dengan tugas sekolah. Kedua remaja berusia 15 tahun itu mengatakan mereka biasanya menggunakan aplikasi Tik Tok untuk melihat konten-konten lucu.

Namun pada Selasa (03/07/2018), aplikasi milik ByteMod, anak perusahaan ByteDance ini diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika karena dianggap memiliki konten negatif, khususnya bagi anak-anak. Rudiantara beralasan, pihaknya telah menerima 2.853 laporan dari masyarakat.

Sebelum diblokir, kerap muncul kecaman untuk aplikasi asal Cina ini karena dianggap memuat konten negatif. Namun, hujatan justru membuat warganet penasaran dan mengunduh aplikasi ini. Brigitta Dwi adalah salah satunya.

“Aku masih bingung cara ngeditnya. Tapi seru ngeliatin video orang-orang yang udah jago. Mereka bagus bikin videonya," ujar Brigitta kepada Tirto.

Tak hanya Brigitta, Tik Tok yang ramai menjadi bahan gunjingan di lintas sosial media itu juga menumbuhkan rasa penasaran pada Walikota Semarang, Hendrar Prihadi. Dalam akun instagram pribadinya, @hendrarprihadi, ia pernah membagikan video Tik Tok dirinya dan sang istri.

“Hanya sebatas mencoba menggunakan untuk megetahui sebenarnya aplikasi Tik Tok seperti apa. Jadi, menggunakannya sebatas lucu-lucuan saja karena ingin tahu,” kata pria yang akrab disapa Hendi ini.

Saat mengumumkan pemblokiran Tik Tok, Rudiantara mengaku telah berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA), serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Pernyataan Rudiantara tersebut diamini oleh Margaret Aliyatul Maimunah, Komisioner Bidang Pornografi dan Cyber Crime KPAI,

“Terkait dengan ini, kalau kita ada aplikasi yang mengandung hal negatif atau pornografi, berarti nggak sesuai dengan komitmen kita. Ini kan sifat pemblokiran sementara, karena ada beberapa syarat yang diajukan Kominfo kepada Tik Tok. Salah satunya manajemen di Indonesia,” kata Margaret.

Menurut Margaret, pemilik platform tak boleh hanya berorientasi pada bisnis, tapi juga sebagai upaya perlindungan anak. “Kenapa memblokir, supaya pemilik platform memperhatikan bahwa konten yang disebar harus bersih dari konten yang bermuatan negatif atau pornografi,” kata Margaret.

Margaret menuturkan salah satu aduan yang masuk ke KPAI terkait penggunaan aplikasi Tik Tok adalah keberadaan Prabowo Mondardo atau Bowo Alpenliebe. selebritas remaja yang populer belakangan ini lewat medium Tik Tok. Saking populer, ia pernah menggelar acara jumpa penggemar dan memungut biaya bagi penggemar yang ingin berfoto dengannya. “Pengaduannya lebih pada konten negatif, Bowo ini kan sudah menjadi trendsetter anak-anak, kemudian Bowo ini di Tuhan-kan,” tambah Margaret.

Remaja dan Media Sosial

Selain soal konten negatif, Menteri Rudiantara juga mempermasalahkan batasan umur Tiktok yang tadinya berumur 12. Komitmen ini termasuk bagaimana melakukan filtering soal batas usia pengguna, yang ternyata di Tik Tok dibatasi pada usia 12 tahun, sementara ketentuan yang berlaku di Indonesia itu usia 13 tahun atau 15 tahun. Jadi kita minta naikkan batas usia penggunanya,” kata Rudiantara. Setelah pemblokiran, pihak Tik Tok menyatakan akan batasi pengguna usianya menjadi 16 tahun.

Hubungan anak-anak dan remaja dengan media sosial memang tak bisa dianggap sepele. Dalam “Clinical Report-The Impact of Social Media on Children, Adolescents, and Families” (PDF) dari American Academy of Pediatrics, tertulis risiko penggunaan media sosial, di antaranya cyberbullying, pelanggaran privasi, dan pelecehan seksual.

Pada artikel itu, Gwenn Schurgin O’Keeffe, dkk juga menyebutkan bahwa cyberbyllying adalah hal yang sering dilakukan oleh kaum muda kala menggunakan media sosial. Padahal, tindakan ini dapat menimbulkan depresi, kecemasan, menarik diri dari lingkungan sosial, hingga bunuh diri.

Asad Ali, dkk pernah melakukan penelitian yang dipublikasikan dengan judul “Effect of Social Media on Youth: A Case Study in University of Sargodha.” Menurut riset tersebut, penggunaan sosial media yang kurang bijak dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan berpengaruh terhadap budaya remaja. Misalnya, ketika remaja menggunakan sosial media saat jam belajar atau di kelas.

Ali menyarankan kepada orangtua agar membuka mata terhadap aktivitas anak di sosial media. Selain itu, mereka menyarankan kepada pemerintah untuk membuat aturan yang jelas untuk penyedia platform. Psikolog RS St. Elisabeth Semarang, Probowati Tjondronegoro juga mengatakan hal serupa. Dalam bersosial media, orangtua sebenarnya harus mengawasi sang buah hati. Sebab kata Probo, anak-anak lebih banyak meniru, sehingga orangtua harus mendampingi anak.

“Orangtua harus mengawasi semua itu. Kan kita bicara masalah Tik Tok itu dipegang siapa. Aplikasi untuk dewasa dipegang anak-anak, ya enggak pas. Anak-anak kan lebih belajar [dari] model,” kata Probo.

Probo juga mengatakan penggunaan sosial media yang tidak bijak dapat membuat ketimpangan. Dalam kasus ini, pemerintah tak seharusnya langsung memblokir aplikasi Tik Tok. Kemenkominfo sudah seharusnya menerapkan regulasi yang jelas, termasuk pembatasan umur pengguna aplikasi dan memberikan edukasi kepada masyarakat. Tak semua orangtua mengikuti perkembangan dunia maya.

“Seharusnya ada edukasi kepada masyarakat, kenapa enggak boleh. Ada peringatan dulu. Apalagi belum semua orangtua memahami soal Tik Tok ini," imbuh Probo.

Infografik Tik Tok

Hingga kini, di Indonesia belum ada tolok ukur yang jelas ketika melakukan pemblokiran platform. Jika pemerintah hanya menggunakan alasan pornografi dan tidak mendidik, nyatanya hampir semua platform masih kecolongan dengan dua hal itu. Jadi jika ingin menggunakan alasan tersebut, pemerintah sebaiknya tak hanya melakukan pemantauan terhadap platform yang sedang hits saja, tapi secara merata pada semua platform.

Beberapa pengguna menganggap pemblokiran aplikasi Tik Tok sebagai hal yang tak bijaksana. Meski tak menampik adanya konten berbau pornografi dalam platform itu, mereka berpendapat Tik Tok tak otomatis berefek negatif. “Aku belum menemukan sih kenapa Tik Tok sebegitu ngehits dibanding kayak musical.ly gitu, dan kenapa malah jadi berdampak negatif. Tapi kalau buat aku, enggak ada dampak negatifnya,” ungkap Brigitta.

Pendapat Delphy juga senada. Sebagai pengguna aktif, ia tak setuju Tik Tok diblokir. Menurutnya, tak semua pengguna Tik Tok mengunggah konten vulgar atau mengandung unsur pornografi. Dalam aplikasi itu, masih banyak anak muda yang memanfaatkan Tik Tok untuk berkreasi.

Hendrar Prihadi juga berpendapat sama. Tik Tok, katanya, bukanlah aplikasi media sharing pertama di Indonesia yang dianggap memiliki dampak negatif. Sebelumnya pemerintah juga pernah memblokir beberapa aplikasi seperti Vimeo dan Tumblr.

“Titik berat permasalahannya sama, yaitu pada konten di dalamnya, bukan aplikasinya secara keseluruhan. Kalau dilihat, positifnya ada, negatifnya juga ada. Jadi harus dilihat kasus per kasus,” kata Hendi.

Baca juga artikel terkait TIK TOK atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Widia Primastika
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani