Menuju konten utama

Mengenang Chairil Anwar di Hari Puisi Nasional 28 April 2020

Hari Puisi Nasional bertepatan dengan tanggal meninggalnya penyair Indonesia, Chairil Anwar.

Mengenang Chairil Anwar di Hari Puisi Nasional 28 April 2020
Seorang seniman membacakan puisi pada pementasan teater dan puisi di Bekasi, Jawa Barat, jumat (29/4) malam, untuk mengenang penyair pelopor angkatan 1945 Chairil Anwar. antara foto/suwandy/pd/16

tirto.id - Setiap tahunnya, tanggal 28 April diperingati sebagai Hari Puisi Nasional, yang bertepatan dengan tanggal meninggalnya penyair Indonesia, Chairil Anwar. Ia meninggal pada tahun 1949 di umurnya yang ke 27, akibat TBC yang diidapnya.

Penyair yang dijuluki Si Binatang Jalang tersebut lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922, dari pasangan Toeloes dan Saleha. Di usianya yang ke-15 tahun, ia sudah bertekad untuk menjadi seorang penyair. Bakatnya tersebut tidak lain muncul akibat kecintaannya membaca yang telah ditanamkan ayahnya sejak kecil.

Saat ia duduk di bangku SMP, Chairil telah melahap semua buku untuk siswa Hogare Burgerlijk School (HBS), yang lebih mentereng daripada MULO di mana ia belajar. Kala itu, ia juga telah membaca tulisan-tulisan sastrawan barat termasuk Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, Edgar Du Perron, dan banyak lainnya.

“Semua buku mereka aku sudah baca,” kata Chairil, seperti dikutip Eneste Pamusuk dalam Mengenal Chairil Anwar (1995).

Kecintaan terhadap membaca tersebut juga membuatnya memutuskan untuk tidak harus bersekolah tinggi. Modal bacaan lebih penting baginya.

Di usianya yang ke 19 tahun, kedua orang tuanya bercerai. Chairil lantas memutuskan untuk ikut ibunya pindah ke Batavia, yang menjadi jalan pembuka perkenalannya pada dunia sastra. Namanya melejit di tahun 1942, saat tulisan pertamanya dipublikasikan Majalah Nisan.

Di Jakarta, penyair yang terkenal dengan puisi berjudul “Aku” tersebut juga pernah bekerja pada Hatta. Namun, hal tersebut tidak bertahan lama sebab ia yang tak menyukai hidup dan bekerja secara teratur.

Puisi dan berbagai tulisan karya Chairil Anwar menjadi bentuk perlawanannya terhadap penjajah. Di masa pendudukan Jepang, Chairil harus merasakan perihnya siksaan Kempeitai atau Polisi Rahasia Jepang yang dikenal kejam akibat karya provokatifnya berjudul “Siap Sedia”.

Akibatnya, Chairil didakwa dengan tuduhan menganjurkan pemberontakan pada Jepang.

Di tahun 1945, puisinya yang berjudul “Aku” dimuat di majalah Timur meski telah ia tulis sejak dua tahun sebelumnya. Melalui puisinya tersebut, ia dianggap oleh sebagian khalayak sastra sebagai pendobrak cara berpuisi, dan dijuluki “Binatang Jalang”.

Selama periode 1942-1949, si Binatang Jelang ini telah menghasilkan 94 tulisan yang termasuk 70 sajak asli, 4 saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Dia telah berhasil menjadi apa yang ia inginkan di saat ia duduk di bangku sekolah, yakni seorang penyair dan seniman.

Chairil pernah menikah dengan Hapsah Wiriaredja pada 6 Agustus 1946, namun harus bercerai pada akhir 1948. Bersama Hapsah, ia memiliki anak perempuan bernama Evawani Alissa. Setelah perceraiannya tersebut, ia tak produktif berkarya sementara kesehatannya terus memburuk.

Ia dilarikan ke CBZ (sekarang RS Cipto Mangunkusumo), Jakarta, akibat paru-parunya yang terserang Tuberkulosis (TB). Hingga akhirnya, ia meninggal di usia 27 tahun, pada 28 April 1949, menyisakan nasionalisme melalui karya-karyanya.

Baca juga artikel terkait CHAIRIL ANWAR atau tulisan lainnya dari Dinda Silviana Dewi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Dinda Silviana Dewi
Penulis: Dinda Silviana Dewi
Editor: Alexander Haryanto