tirto.id - Dengan mimik menahan geram, Billie Eilish memperagakan respons orang-orang saat melihat video kompilasinya mengeluarkan tic (gerakan atau ucapan berulang yang muncul secara tak terkendali). Kepada Ellen DeGeneres ia mengatakan rekaman gambar itu muncul saat dirinya menunggu jeda pertanyaan dalam sebuah wawancara.
“Biasanya ketika tic saya muncul, mereka (media) menghentikan wawancara sementara. Tapi tidak saat itu, saya diam menunggu pertanyaan dan melakukan (tic),” kata Eilish, ia menggelengkan kepala ke arah kanan secara hiperbolis untuk menyindir bocornya video ke publik.
“Ada banyak video kompilasi yang beredar dan mereka berkata ‘haha itu sangat lucu’.”
Selama perjalanan kariernya, Eilish tidak pernah mengaku memiliki gejala Sindrom Tourette (TS). Dirinya tak ingin publik mengenalnya sebagai “Billie Eilish si artis dengan Tourette”. Tapi, Eilish akhirnya buka suara dengan mengunggah sederet kalimat pengakuan di Instagram pada November 2018. Setelahnya, ia mendapat banyak dukungan dan cerita dari para penggemar yang mengalami kondisi serupa.
“Mereka bikin komunitas untuk saling mendukung ... membuat saya jadi merasa lebih nyaman karena sudah bicara,” ungkapnya.
Sindrom Tourette yang dialami Eilish pernah juga dikeluhkan oleh Tora Sudiro saat aktor itu tertangkap basah mengonsumsi dumolid sebagai obat penenang pada pertengahan 2017 lalu. Hasil pencitraan otak menunjukkan bahwa pengidap TS memiliki perbedaan syaraf. Kondisi abnormal terjadi ketika korteks frontal mengirimkan sinyal ke ganglia basal untuk menghentikan gerakan tertentu sehingga terjadilah tic.
Lobus frontal bertugas merencanakan dan melaksanakan gerakan dan pikiran, sedangkan ganglia basal bertindak sebagai rem untuk mencegah gerakan dan suara yang tidak diinginkan. Kondisi ini ditandai dengan gangguan tic baik sederhana maupun kompleks. Laman Tourette Canada memaparkan contoh tic motorik sederhana yang hanya melibatkan gangguan dari satu kelompok otot, misalnya berkedip, menjilat bibir, mengangkat bahu, atau menyentakkan kepala.
Atau, pada tic vokal sederhana perilaku penderita berubah jadi mengendus, mendengus, bersenandung, dan mengucap suku kata tunggal (misal "uh-uh-uh"). Sementara tic kompleks melibatkan gerakan terkoordinasi yang dihasilkan sejumlah otot. Pada level tic motorik kompleks, seseorang dengan TS secara tidak sadar melakukan perilaku tak pantas/tabu (copropraxia) atau meniru gerakan orang lain (echopraxia), misalnya, menyentuh, melompat, atau berputar.
Tic vokal kompleks meliputi pengucapan frasa, mengubah nada, atau volume suara. Ekspresi yang muncul adalah pengulangan frasa yang didengar dari orang lain (echolalia), mengulang frasa milik sendiri (palilalia), atau mengucap kata-kata kotor atau frasa tabu sosial (coprolalia). Contoh terakhir adalah alasan mengapa kondisi ini sering disebut sebagai “swearing disease” alias penyakit mengumpat.
“Meski tidak mempengaruhi kecerdasan, namun TS sering membikin pengidapnya malu, apalagi ketika mengalami coprolalia, dan sekitar 10 persen dari mereka coprolalia,” tulis Tourette Canada.
Tak Bisa Disembuhkan
Selain menimbulkan rasa malu dan tidak nyaman, dalam beberapa kasus respons tubuh berulang yang ditimbulkan oleh sindrom tourette juga menimbulkan sakit fisik, seperti sakit kepala, otot tegang, atau nyeri. Gangguan ini membuat penderita TS mendapat stigma. Orangtua dengan anak TS juga seringkali merasa khawatir terhadap dampak psikologis dari gangguan tersebut.
“Ejekan, intimidasi, sulit menjalin pertemanan, serta susah mendapat pekerjaan,” demikian laporan dari organisasi orang dengan sindrom tourette di Kanada tentang diskriminasi yang lazim dialami penderita TS.
Tak ada yang bisa dilakukan untuk menghilangkan sindrom tourette karena gangguan kronis ini tidak dapat disembuhkan. Tapi, umumnya gejala tic akan berkurang seiring bertambahnya umur. Sekitar 24 persen anak-anak mengembangkan tic di beberapa titik tubuh. Pada populasi dewasa, kondisi ini juga umum terjadi—sekitar 1-3,8 persen dari keseluruhan populasi.
“Pada laki-laki peluang terjadinya TS menjadi lebih besar sekitar 3-4 kali dibanding perempuan,” sebut laman yang sama.
Tic pada pengidap TS biasanya akan terus berubah. Tic berkedip pada pengidap bisa berubah menjadi jenis tic lain, misalnya menyentak bahu atau mengendus. Perubahan tic dan kemunculannya tak dapat dikontrol tapi bisa diprediksi karena didahului gejala awal. Jika diibaratkan, kemunculan tic serupa bersin.
Bersin tak bisa dikontrol kemunculannya tapi bisa ditahan agar tidak keluar, begitu pula dengan tic. Hanya saja, kemampuan tiap pengidap TS memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk menahan tic. Selain itu, perlu energi besar untuk menahan tic sehingga pengidap seringkali sulit berkonsentrasi terhadap hal lain. Tic justru akan berkurang ketika tidak ditahan dan jika si pengidap berada di lingkungan yang mendukung.
Kondisi genetis adalah salah satu faktor risiko kemunculan TS. Individu dengan TS berpeluang 5-15 persen memiliki saudara, anak, atau anggota keluarga lain dengan kondisi serupa. Selain itu, beberapa penelitian juga menunjukkan faktor prenatal, perinatal, autoimun, dan lingkungan yang berkontribusi atau mengubah tingkat keparahan gejala.
Editor: Windu Jusuf