tirto.id - Saat menempuh pendidikan di perguruan tinggi, kita sering menemui beberapa teman kuliah yang terlihat bahagia seperti tidak dibebani oleh apapun.
Ia tampak berhasil dalam setiap hal, lulus ujian dengan nilai baik, bahkan setelah lulus bisa mendapatkan pekerjaan yang cemerlang. Namun, pernahkah Anda juga menyadari bahwa selalu ada pengorbanan di balik kesuksesan teman Anda?
Siapa sangka bahwa ternyata di balik kesuksesan-kesuksesan pada tampak luar hidup teman Anda, ia sebenarnya sering diterpa banyak beban, namun tetap bisa tenang menghadapinya. Kondisi ini lah yang dinamakan dengan duck syndrome.
Spectrum Health and Human Services menuliskan istilah duck syndrome pertama kali muncul di Universitas Stanford untuk menggambarkan persoalan para mahasiswanya.
Duck syndrome merujuk pada sebuah perilaku di mana seseorang tampak baik-baik saja dari luar namun sebenarnya sedang dirundung banyak masalah.
Istilah tersebut juga diambil dengan menganalogikan bebek yang sedang berenang. Anda hanya akan melihat bebek yang tenang dan lihai saat meluncur di atas permukaan air. Namun, tidak banyak yang peduli bahwa nyatanya si bebek sedang berusaha keras mendayung air dengan kakinya di bawah permukaan untuk tetap dapat melaju pada jalannya.
Hal ini lah yang dapat dikaitkan dengan kehidupan pada mahasiswa, terlihat tenang di luar namun pada kenyataannya sedang berjuang keras untuk berhasil.
Alih-alih mengakui kesulitan yang dihadapinya, orang dengan duck syndrome memang sengaja “berpura-pura” sampai mereka mencapai keberhasilan yang diinginkan.
Padahal, pada kenyataannya kondisi ini juga dapat menjadikan keadaan diri lebih buruk.
Pysch Central menuliskan bahwa kecenderungan untuk memiliki sindrom ini di masa perguruan tinggi disebabkan oleh kepribadian di sekolah menengah mereka.
Di masa sekolah menengah, banyak remaja memiliki kepiawaian dalam belajar, berteman, atau berorganisasi.
Mereka pun berusaha ingin mempertahankan kepribadian tersebut hingga perguruan tinggi tanpa menyadari bahwa kondisi juga berubah.
Kehidupan perguruan tinggi memiliki tuntutan yang lebih besar dalam semua aspek akademis maupun non-akademis, yang membuat seseorang bisa memiliki duck syndrome tersebut.
Sementara itu, reaksi setiap orang terhadap stres berbeda. Ada yang dapat mengatasinya dengan baik, sedangkan tidak sedikit pula yang memiliki keadaan lebih kacau akibat stres tersebut.
Mengutip dari Better Help, reaksi fisik terhadap stres yang ekstrem pada kasus sindrom bebek ini bervariasi.
Beberapa di antaranya adalah sakit kepala, gangguan tidur, tidak dapat berkonsentrasi dengan baik, hingga ketidakstabilan emosi. Akan tetapi, ada pula yang melaporkan perasaan depresi, kurang nafsu makan, hingga kelelahan yang membuat penderita kehilangan keinginan untuk melakukan apapun.
Cara Mengatasi Duck Syndrome
Solusi untuk mengatasi keadaan ini, menurut Psychology Today, adalah dengan melakukan apapun sesuai dengan kemampuan diri.
Tidak hanya itu, ada baiknya seseorang juga mengatakan kesulitan-kesulitan yang dialami.
Better Help juga menyarankan bagi Anda untuk berkonsultasi kepada psikiater atau psikolog.
Jika kondisi Anda parah, ahli akan menggabungkan terapi dengan obat-obatan tertentu yang digunakan untuk mengobati depresi dan kecemasan dalam upaya untuk meredakan keresahan pasien.
Para konselor kesehatan mental akan menggunakan dua jenis utama psikoterapi atau terapi berbicara ketika menangani pasien yang menderita sindrom ini yaitu psikoterapi interpersonal dan terapi perilaku kognitif.
Kedua metode tersebut membutuhkan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan untuk menjadi efektif. Pada kasus yang parah, psikoterapi ini juga membutuhkan waktu yang lebih lama lagi.
Terapi-terapi tersebut akan membantu pasien untuk mengembangkan keterampilan mengatasi emosi dan hubungannya secara efektif.
Contohnya, setelah masalah pasien didefinisikan dengan benar, maka ia dapat menetapkan tujuan realistis untuk mengatasinya. Di sisi lain, terapi ini juga mungkin akan mengubah cara pandang seseorang terhadap masalah tertentu.
Pada titik ini, dokter akan membantu pasien memahami pikiran dan asumsi yang menyebabkannya merasa tertekan, depresi, cemas, atau stres.
Penulis: Dinda Silviana Dewi
Editor: Yandri Daniel Damaledo