Menuju konten utama

Mengenal Diffuse Axonal Injury yang Dialami Korban Penganiayaan

Diffuse Axonal Injury adalah kondisi yang kerap dialami korban penganiayaan berupa cedera otak akibat pukulan benda tumpul.

Mengenal Diffuse Axonal Injury yang Dialami Korban Penganiayaan
Ilustrasi Cedera Otak. foto/IStockphoto

tirto.id - Korban penganiayaan anak pejabat pajak Mario Dandy Satriyo, David saat ini tengah menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Mayapada.

David sempat mengalami koma dan didiagnosis diffuse axonal injury. Cedera tersebut disebabkan oleh benturan keras pada kepala yang dialaminya ketika dianiaya oleh pelaku.

Menurut dokter yang merawat David, berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS), alat pengukur tingkat kesadaran pasien, David saat ini berada pada skala 6/15. Kondisi ini meningkat dari sebelumnya yang hanya pada skala 4/15.

Sesuai kronologi dari pihak kepolisian, Mario Dandy Satriyo melakukan penganiayaan setelah mendengar cerita kekasihnya A (15) yang mengaku mendapatkan perlakuan tidak baik dari David.

"Berawal info dari saudari A (teman Dandy), kepada MD, bahwa ada yang memperlakukan kurang baik terhadap A," kata Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Pol Ade Ary Syam wartawan, Rabu (22/2/2023).

Berdasarkan rekaman video saat kejadian yang beredar di media sosial, Dandy tampak menendang kepala dan leher David berkali-kali meskipun tubuh David sudah tersungkur di tanah.

Rekaman video itu tentu menjelaskan mengapa David dapat mengalami luka parah. Lantas, apa sebenarnya diffuse axonal injury yang dialami oleh David usai dianiaya oleh Mario Dandy Satriyo?

Pengertian Diffuse Axonal Injury

Berdasarkan studi berjudul Diffuse Axonal Injury yang dilakukan oleh Fassil B dkk, diffuse axonal injury (DAI) adalah jenis cedera otak traumatis (TBI) yang diakibatkan oleh pukulan tumpul pada otak.

Di Amerika Serikat, cedera otak traumatis merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di kalangan anak-anak dan dewasa muda.

The Center for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan bahwa ada lebih dari 1,5 juta kasus cedera otak traumatis yang dilaporkan setiap tahun di Amerika Serikat.

Cedera otak traumatis diklasifikasikan menjadi tiga yaitu ringan, sedang, dan berat berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS).

Pasien cedera otak traumatis dengan GCS 13 sampai 15 tergolong ringan, yang termasuk mayoritas pasien cedera otak traumatis.

Pasien dengan GCS sembilan hingga 12 dianggap memiliki cedera otak traumatis sedang, sedangkan pasien dengan GCS di bawah delapan diklasifikasikan memiliki cedera otak traumatis berat.

Kegiatan ini mengulas pemeriksaan cedera aksonal difus dan peran profesional kesehatan yang bekerja sama untuk mengelola kondisi ini.

Infografik SC DAI

Infografik SC DAI. tirto.id/Fuad

Efek Diffuse Axonal Injury pada Korban Penganiayaan

Efek DAI tergantung dengan tingkat keparahannya. Kondisi ini dapat menyebabkan cacat temporer, cacat permanen, hingga kematian.

Sebagian dari gejala DAI dapat ditangani dengan perawatan yang tepat. Namun, pada penderita dengan tingkat keparahan tinggi, mungkin memerlukan rehabilitas pascacedera seumur hidup.

Menurut laman John Hopkins Medicine, efek cedera DAI dapat menyebabkan rentetan penurunan kemampuan individu termasuk defisit kognitif, defisit motorik, defisit persepsi atau sensorik, defisit komunikasi dan bahasa, defisit fungsional, kesulitan sosial, gangguan regulasi, perubahan kepribadian atau kejiwaan, hingga epilepsi traumatis. Kondisi tersebut meliputi:

Defisit kognitif

  • Koma
  • Kebingungan
  • Rentang perhatian singkat
  • Masalah memori dan amnesia
  • Defisit pemecahan masalah
  • Masalah dengan penilaian
  • Ketidakmampuan untuk memahami konsep abstrak
  • Kehilangan rasa ruang dan waktu
  • Penurunan kesadaran diri dan orang lain
  • Ketidakmampuan untuk menerima lebih dari satu atau dua langkah perintah pada waktu yang sama.

Defisit motorik

  • Kelumpuhan atau kelemahan
  • Pengencangan dan pemendekan otot (spastisitas)
  • Kesulitan menyeimbangkan tubuh
  • Daya tahan menurun
  • Ketidakmampuan untuk merencanakan gerakan motorik
  • Keterlambatan gerak
  • Tremor
  • Masalah menelan
  • Koordinasi yang buruk.

Defisit persepsi atau sensorik

  • Perubahan pendengaran, penglihatan, rasa, bau, dan sentuhan
  • Kehilangan sensasi atau peningkatan sensasi bagian tubuh
  • Pengabaian sisi kiri atau kanan
  • Kesulitan memahami posisi anggota tubuh dalam hubungannya dengan tubuh
  • Masalah penglihatan, termasuk penglihatan ganda, kurangnya ketajaman visual, atau jangkauan penglihatan yang terbatas.

Defisit komunikasi dan bahasa

  • Kesulitan berbicara dan memahami ucapan (afasia)
  • Kesulitan memilih kata yang tepat untuk diucapkan (afasia)
  • Kesulitan membaca (aleksia) atau menulis (agraphia)
  • Kesulitan mengetahui bagaimana melakukan tindakan tertentu yang sangat umum, seperti menyikat gigi (apraksia)
  • Bicara lambat, ragu-ragu dan penurunan kosa kata
  • Kesulitan membentuk kalimat yang masuk akal
  • Masalah mengidentifikasi objek dan fungsinya
  • Masalah dengan membaca, menulis, dan kemampuan bekerja dengan angka.

Defisit fungsional

  • Gangguan kemampuan dengan aktivitas hidup sehari-hari, seperti berpakaian, mandi, dan makan
  • Masalah dengan pengaturan, belanja, atau pembayaran tagihan
  • Ketidakmampuan untuk mengendarai mobil atau mengoperasikan mesin.

Kesulitan sosial

  • Kapasitas sosial yang terganggu mengakibatkan hubungan interpersonal yang sulit
  • Kesulitan dalam membuat dan mempertahankan teman
  • Kesulitan memahami dan menanggapi nuansa interaksi sosial.

Gangguan regulasi

  • Kelelahan
  • Perubahan pola tidur dan kebiasaan makan
  • Pusing
  • Sakit kepal
  • Kehilangan kontrol usus dan kandung kemih.

Perubahan kepribadian atau kejiwaan

  • Apatis
  • Menurunnya motivasi
  • Labilitas emosional
  • Sifat lekas marah
  • Kecemasan dan depresi
  • Kesulitan mengendalikan perilaku impulsif (disinhibition), termasuk kemarahan, agresi, kutukan, penurunan toleransi frustrasi, dan perilaku seksual yang tidak pantas
  • Gangguan kejiwaan tertentu lebih mungkin berkembang jika kerusakan mengubah komposisi kimiawi otak.

Epilepsi Traumatis

Epilepsi dapat terjadi dengan cedera otak, tetapi lebih sering terjadi dengan cedera parah atau penetrasi. Sementara sebagian besar kejang terjadi segera setelah cedera atau dalam tahun pertama setelah cedera.

Epilepsi juga mungkin muncul beberapa tahun kemudian. Epilepsi mencakup kejang besar atau umum dan kejang kecil atau parsial.

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari Balqis Fallahnda

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Yonada Nancy