Menuju konten utama

Mengapa PSBB ala Menkes Terawan Terlalu Birokratis & Persulit Pemda

Peraturan soal PSBB yang dibuat Menkes Terawan dianggap terlalu menyulitkan.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (3/2/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wsj.

tirto.id - Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto merilis Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 (PDF) sebagai peraturan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Peraturan turunan ini ditetapkan Jumat (3/4/2020) lalu.

Seperti namanya, PSBB adalah salah satu upaya pemerintah dalam menangani penyebaran COVID-19--yang per Selasa (7/4/2020) kemarin telah mencapai 2.738 kasus positif, dengan angka kematian sebanyak 221. Pasal 1 Permenkes mendefinisikan PSBB sebagai "pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi COVID-19 sedemikian rupa."

"Kegiatan tertentu" yang dimaksud adalah "meliburkan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, kegiatan di tempat umum, kegiatan sosial budaya, pembatasan moda transportasi, dan kegiatan lain," kata Sekjen Kemkes Oscar Primadi, dikutip dari Antara.

PSBB berbeda dengan karantina wilayah atau lockdown--yang istilahnya lebih populer di masyarakat. Oscar bilang dalam karantina wilayah, masyarakat sama sekali tidak diperbolehkan ke luar rumah.

Perbedaan lain, mengikuti definisi dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pemerintah pusat tak punya beban atau kewajiban untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang ada di wilayah PSBB. Sementara dalam karantina wilayah, "kebutuhan dasar orang dan makanan hewan tenak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat."

Memilih PSBB alih-alih karantina wilayah, menurut Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, adalah upaya sengaja dari pemerintah pusat "lepas tanggung jawab untuk menjamin kebutuhan hidup masyarakat."

Birokratis

Ada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi pemerintah daerah sebelum menetapkan status PSBB. Masalahnya, menurut Direktur Lokataru Fondation Haris Azhar, itu terlalu birokratis dan rumit. "Permenkes ini terlalu federalistik dan birokratis," kata Haris Azhar kepada reporter Tirto, Selasa (7/4/2020) kemarin.

Haris menjelaskan pasal per pasal yang dia anggap bermasalah. Salah satunya pasal 4 yang mengatur apa saja yang harus dipenuhi kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) saat mengajukan permohonan PSBB ke pusat. Pasal 4 ayat (1) menyebut kepala daerah harus memberi data tentang: peningkatan jumlah kasus menurut waktu; penyebaran kasus menurut waktu; dan kejadian transmisi lokal.

"Data diasumsikan ada di daerah. Dengan kata lain, Kemkes tidak punya sistem pemantauan dan data [sendiri]. Seolah-olah ini masalah pemerintah daerah," katanya, lalu menegaskan bahwa selama ini kontrol data ada di tangan pusat.

Data peningkatan jumlah kasus menurut waktu harus disertai dengan kurva epidemiologi, sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (2). Haris bilang itu tentu bukan perkara gampang diselesaikan dalam waktu dekat, sementara di sisi lain daya penyebaran COVID-19 sangat tinggi.

Kasus di Kalimantan Barat membuktikan pernyataan Haris. Kepala Dinas Kesehatan Kalbar Harisson mengaku "tidak punya data akurat" terkait tracing pasien positif saat mengomentari dua korban meninggal yang berasal dari satu majelis taklim.

Ketentuan dalam pasal 4 ayat (4) juga akan sulit dipenuhi Kalbar. Di sana dijelaskan bahwa data transmisi lokal harus "disertai dengan hasil penyelidikan epidemiologi yang menyebutkan telah terjadi penularan generasi kedua dan ketiga." Ditegaskan pula bahwa harus ada "kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain," sebagaimana tertulis dalam pasal 2 b.

Harisson mengaku belum sepenuhnya tahu transmisi lokal yang terjadi karena orang-orang yang terkait dengan klaster penyebaran sempat "tidak kooperatif."

Haris juga mengatakan jika kriterianya adalah ada transmisi lokal, maka PSBB tidak mungkin diterapkan di daerah yang ingin melakukan pencegahan. Contohnya Papua. Mereka sempat membatasi akses orang dengan alasan fasilitas kesehatan tidak memadai--misalnya, hanya ada 200 ruang isolasi. Tapi keputusan ini diveto pusat.

Haris juga menyoroti soal Pasal 4 ayat (5) yang menyebut pengajuan PSBB juga harus disertai "informasi mengenai kesiapan daerah tentang aspek ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial, dan aspek keamanan." Menurutnya, pasal ini adalah bentuk lepas tangan pemerintah pusat.

"Kalau tanggung jawab pangan ada di daerah miskin, APBD mereka kecil tetapi wilayah besar, pasti akan membebankan," katanya. "Sebaiknya kalau mau memberikan syarat, harus diimbangi dengan mobilisasi bantuan dulu."

Kritik serupa disampaikan ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia Syahrizal Syarif. Persyaratan untuk menerapkan PSBB bukan meringankan kepala daerah, katanya, malah akan mempersulit mereka.

"Masak situasi darurat kaya gini masih aja dikasih persyaratan untuk PSBB, memberikan syarat administrasi yang ribet? Ini keburu mati orang," katanya kepada reporter Tirto, Selasa (7/4/2020).

Oleh karena itu, Syahrizal menyarankan pemerintah pusat menjadikan persyaratan yang tertuang di dalam Permenkes 9/2020 sebagai indikator keberhasilan pemerintah daerah dalam menerapkan PSBB, alih-alih jadi syarat.

"Jadi pemerintah pusat tinggal instruksikan saja apa yang harus dilakukan pemerintah daerah sesuai indikator tersebut. Jadi pemda bisa kerja cepat, bukannya malah memperlambat proses menangani COVID-19."

Syahrizal memprediksi akan banyak daerah mengajukan PSBB dengan tolok ukur Jakarta. Ibu kota Indonesia ini siap menetapkan PSBB pada 10 April nanti. Masalahnya, kata Syahrizal, akan sulit bagi daerah mengikuti jejak Jakarta dengan alasan sederhana: "DKI punya APBD yang besar sekali dan sarana penunjang."

Kasus Jakarta

Jakarta memang telah di ditetapkan sebagai daerah PSBB oleh Terawan pada Selasa (7/4/2020) lalu. Penetapan PSBB untuk wilayah DKI tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/239/2020.

Dalam surat tersebut, Pemprov DKI Jakarta diwajibkan melaksanakan PSBB sesuai ketentuan perundang-undangan dan secara konsisten mendorong dan mensosialisasikan pola hidup bersih. PSBB di DKI ditetapkan "selama masa inkubasi terpanjang dan dapat diperpanjang jika masih terdapat bukti penyebaran."

Namun jalan DKI untuk mendapat status PSBB pun tidak mulus. Pada 1 April 2020 kemarin, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengusulkan penetapan PSBB di Jakarta kepada Terawan. Upaya itu dilakukan setelah usulan Anies melakukan karantina wilayah ditolak mentah-mentah oleh Jokowi.

"Hari ini kami akan mengirimkan surat kepada Menkes. Meminta Menkes untuk menetapkan PSBB," katanya.

Namun usulan tersebut ditolak Terawan. Anies disebut belum melengkapi permohonan dengan syarat yang diatur dalam Permenkes yang baru terbit dua hari kemudian (3 April). Pada 5 April, Terawan membalas surat permohonan Anies dan memberi waktu selambatnya dua hari agar syarat terpenuhi.

"Mohon saudara dapat melengkapi data dan dokumen pendukung," tulis Terawan melalui surat yang diterima Tirto pada Senin (6/4/2020). Anies menyanggupinya. Terawan lantas menyetujui penerapan PSBB di DKI pada Senin malam.

Baca juga artikel terkait PSBB JAKARTA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino
-->