Menuju konten utama

Mengapa People Power ala Eggi Tak Perlu Dikategorikan Makar?

Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menilai seruan people power yang dilakukan Eggi Sudjana, setidaknya hingga saat ini masih jauh dari ketegori makar.

Mengapa People Power ala Eggi Tak Perlu Dikategorikan Makar?
Kuasa Hukum Koalisi Masyarakat Anti Hoaks Eggi Sudjana usai acara diskusi di Sekretariat Nasional BPN Prabowo-Sandi, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (5/3/2019). tirto.id/Bayu Septianto

tirto.id - Penetapan Eggi Sudjana sebagai tersangka makar menuai pro dan kontra. Sebab, seruan people power yang dilakukan politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu jauh dari kategori makar sebagaimana diatur dalam KUHP.

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan memang keliru jika Eggi dikenakan pasal makar. Sebab, seruan people power yang dilakukan Eggi, setidaknya hingga saat ini masih jauh dari ketegori makar.

“Kalau orang hanya sekadar mengatakan [people power] tanpa ada pengerahan kekuatan, akan repot. [Makar] artinya serangan, bukan seruan saja,” kata Isnur kepada reporter Tirto, Kamis (9/5/2019).

Pernyataan Isnur berdasarkan kepada KUHP berbahasa Belanda. Kata makar adalah terjemahan dari "anslaag", yang artinya adalah serangan atau violence attack. Unsur kekerasan ini yang sekarang kerap dilupakan, bahkan oleh polisi sekalipun.

Lalu, bagaimana melihat kasus Eggi Sudjana ini dalam konteks sosial-politik?

Dalam kasus ini, yang dipermasalahkan adalah pernyataan Eggi pada hari pencoblosan, 17 April 2019, di rumah Prabowo Subianto, di Kertanegara, Jakarta Selatan. Saat itu, Eggi menyerukan people power --istilah yang makin marak dipakai belakangan ini-- untuk merespons pemilu yang menurutnya penuh kecurangan dan manipulatif.

“Kekuatan people power itu mesti dilakukan. Setuju? Berani? Berani? Kalau people power itu terjadi, kita tidak perlu lagi mengikuti konteks tahapan-tahapan, karena ini sudah kedaulatan rakyat. Bahkan mungkin ini cara dari Allah untuk mempercepat Prabowo dilantik. Tidak harus menunggu 20 Oktober," kata Eggi.

Pengajar politik di Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin sependapat dengan Isnur. Sebab, secara politik seruan Eggi Sudjana juga belum termasuk dalam kategori makar.

“Makar bisa dilakukan oleh orang-orang atau tokoh-tokoh yang kecewa terhadap pemerintah. Dan gerakan makar biasanya ada pra-kondisi di mana ekonomi negara dalam kedaaan sekarat, dan secara diam-diam atau terang-terangan militer ada di belakangnya,” kata Ujang saat dihubungi reporter Tirto, Jumat kemarin.

Karena itu, kata Ujang, dirinya sulit menyebut gerakan yang diinisiasi Eggi Sudjana tersebut masuk ke dalam kategori makar, karena secara politik tidak kuat.

“Karena militer dan polisi loyal pada negara untuk menjaga pemerintahan yang sah. Dan rakyat juga masih banyak yang mendukung pemerintah,” kata Ujang.

Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Aditya Perdana menilai kondisi saat ini sangat jauh untuk bisa dikatakan makar. Ia bahkan menyebut pra-kondisi yang memungkinkan agenda makar tak hanya karena krisis ekonomi dan kelemahan politik.

“Pra-kondisinya sangat banyak, enggak hanya karena krisis ekonomi. Masih sangat jauh dari makar ini kasusnya,” kata Aditya.

“Ini hanya kontestasi Pemilu yang biasa saja. Ada menang dan kalah. Harusnya tidak direspons berlebihan. Ini malah yang kalah tetep kekeuh menang, sedangkan yang menang malah represif bikin perangkat-perangkat dan nangkap orang,” kata dia.

Sementara itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai bila polisi memang menetapkan Eggi sebagai tersangka makar, tentu alasannya bukan hanya sekadar seruan people power.

Ia menyebut pasti ada bukti lain karena tersangka makar itu harus memenuhi beberapa usur, misalnya soal adanya pemufakatan.

Kalau betul Eggi dijadikan tersangka, polisi kan tidak bodoh juga. Artinya pasti ada dua alat bukti untuk menyatakan itu. Saya tidak tau alat buktinya karena saya tidak tau dia tersangka,” kata Mahfud.

Merugikan Jokowi

Karena itu, Aditya mengkritik keras langkah beberapa petinggi penegak hukum yang akhir-akhir ini berlaku represif. Ia menilai, respons pemerintah terhadap keadaan sosial politik saat ini terlalu gegabah.

“Pemerintah merespons terlalu gegabah tindakan yang dilakukan oleh kelompok oposisi. Menurut saya apa yang dilakukan pemerintah sangat berlebihan. Saya setuju jika ada yang menyebut pemerintah panik,” kata dia.

Aditya menilai apa yang dilakukan pemerintah, khususnya Menkopolhukam Wiranto dan kepolisian membikin iklim demokrasi di Indonesia buruk. Ia menilai semestinya pemerintah yang memiliki kekuasaan membuat ruang partisipasi selebar-lebarnya, bahkan bagi oposisi.

“Jangan bikin tim-tim ini, nanti yang rugi justru Jokowi. Mestinya Pak Jokowi punya sikap yang jelas dan tegas untuk meredam konflik-konflik seperti ini. Ini, kan, jenderal-jenderal yang ada di lingkaran kekuasaan melihat dari kacamata kekerasan dan militerisme. Jokowi harusnya bicara terbuka,” kata dia.

Baca juga artikel terkait KASUS DUGAAN MAKAR atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz