Menuju konten utama

Mengapa Kebudayaan Perlu Menjadi Landasan Pembangunan Nasional?

Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan adalah pondasi untuk membangun sekaligus menguatkan ekosistem kebudayaan, termasuk tata kelolanya.

Mengapa Kebudayaan Perlu Menjadi Landasan Pembangunan Nasional?
Salah satu pertunjukan Indonesia Bertutur 2024, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek, 7 - 18 Agustus 2024 di Bali. Program ini menampilkan 100 karya dari 900 pelaku budaya dari dalam dan luar negeri. foto/Istimewa

tirto.id - Dalam acara Peluncuran Digitalisasi Layanan Perizinan Penyelenggaraan Event, Senin (24/6/2024), Presiden Joko Widodo tak bisa menyembunyikan kekecewaannya terkait kegagalan Indonesia mendatangkan Taylor Swift. Menurut Jokowi, dari 360 ribu penonton yang menyaksikan pertunjukan pelantun Shake It Off itu di Singapura, Maret 2024, setengahnya berasal dari Indonesia.

"Apa yang terjadi kalau kita berbondong-bondong ke Singapura? Itu ada yang namanya capital outflow, aliran uang dari Indonesia ke Singapura. Kita kehilangan bukan hanya untuk beli tiket, tapi kehilangan uang Indonesia untuk bayar hotel, makan, untuk transpor dan lain-lainnya," ungkap Jokowi.

Kekecewaan Jokowi beralasan. Dalam laporannya di Bloomberg, Chintya Li menyebut konser Taylor Swift di Negeri Singa sanggup menambah Produk Domestik Bruto (PDB) Singapura sebesar SG$300-SG$400 juta, setara Rp3,7 triliun, di kuartal pertama. Sedangkan menurut Singapore Business Review, pemesanan penerbangan menuju Singapura meningkat hingga 186% dan pemesanan akomodasi meroket hingga 462% selama konser berlangsung.

Dengan statistik demikian, negeri mana yang tak kepincut Swiftonomics, bukan?

Dalam mendatangkan Taylor Swift, jelas, Indonesia keteteran. Namun demikian, dalam perkara mendulang pundi-pundi, negeri ini punya banyak potensi, terutama dari aspek budaya, dengan nilai yang sanggup melebihi perputaran ekonomi imbas konser Taylor Swift bahkan di seluruh dunia.

Potensi itu, salah satunya, muncul dari tanaman bakau alias mangrove. Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan, Hilmar Farid, menerangkan seperempat mangrove dunia ada di Indonesia dengan total luas 3,36 juta hektare (ha). Dari angka itu, 1.56 juta ha mangrove ada di Papua.

“Riset menunjukkan, jika mangrove dikelola secara lestari berbasis kearifan lokal, maka hasilnya bisa mencapai 500-600 juta rupiah per hektare per tahun. Jadi, kalau 20 persen saja dari potensi mangrove Indonesia digarap, ada pendapatan sekitar 350 triliun rupiah per tahun,” papar Hilmar di kanal Youtube Jalin.

Tak ada jalan instan untuk meraup keuntungan, apalagi yang berkelanjutan. Karenanya, Hilmar menegaskan, perlu perencanaan, kebijakan, dan investasi yang tepat agar potensi Indonesia di bidang budaya dapat dioptimalkan untuk kepentingan bersama.

“Kearifan lokal, salah satu aset kebudayaan yang paling berharga, dipertemukan dengan sains dan teknologi sehingga kontribusi ekonomi terjadi dan mangrove tetap lestari. Jika dikerjakan dengan baik, ini akan berkontribusi bagi penyelamatan iklim pula. Sebagai negeri dengan keanekaragaman biokultural terbesar di dunia, inilah jalan yang mestinya ditempuh Indonesia ke depan,” sambung Hilmar.

Jalan Kebudayaan

“Jalan yang mestinya ditempuh Indonesia ke depan” dalam keterangan Hilmar di atas adalah jalan kebudayaan. Berbekal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, sudah semestinya Indonesia menempatkan kebudayaan sebagai landasan pembangunan nasional.

Dalam banyak kesempatan, Hilmar Farid kerap menyebut persoalan mendasar dalam pemajuan kebudayaan di Indonesia adalah tata kelola. Sebab itu, keberadaan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan tak ubahnya pondasi untuk membangun sekaligus menguatkan ekosistem kebudayaan, tak terkecuali tata kelolanya.

“Fondasinya sudah berhasil diletakkan. Tantangan ke depan, bangunan ekosistem kebudayaannya yang harus dikuatkan. Sebagai fasilitator, tugas pemerintah adalah memastikan bahwa tata kelola yang ada didesain untuk mendukung inisiatif dan aspirasi masyarakat dalam memajukan kebudayaan,” kata Hilmar, di Jakarta, Jumat (21/6/2024).

Upaya memfasilitasi masyarakat agar berpartisipasi dalam kerja-kerja pemajuan kebudayaan terlihat pada, salah satunya, program Dana Indonesiana. Staf Dirjen Kebudayaan, Alex Sihar, menyatakan bahwa dalam mengemas program-program pemajuan kebudayaan, termasuk Dana Indonesiana, pemerintah menjadikan aspek penguatan ekonomi sebagai salah satu pertimbangan.

“Tentu, dampak ekonomi menjadi pertimbangan dalam menyusun program-program pemajuan kebudayaan. Tapi, dampak ekonomi bukan satu-satunya perhatian. Dampak sosio-kultural juga tak kalah penting, terutama untuk penguatan identitas,” ungkap Alex Sihar kepada reporter Tirto.id, Selasa (20/8/2024).

Alex mencontohkan, banyak anak-anak muda sekarang yang bangga akan nilai-nilai lokal, bangga menjadi bagian dari suatu kebudayaan, serta memiliki kebanggaan akan kegiatan yang diselenggarakan di lingkungan tempat mereka berasal.

“Artjog, misalnya. Anak-anak muda dari Yogyakarta sekarang bangga karena mereka punya Artjog. Contoh lainnya, anak-anak muda dari Jawa Barat juga tentu bangga punya karinding. Ketika alat musik tersebut dimainkan dan dikenalkan kepada suku-suku lain, misalnya di Maluku, interaksi budaya terjadi, dan berdampak pada penguatan toleransi,” sambung Alex.

Alex menjelaskan, toleransi muncul karena adanya pemahaman, dan pemahaman akan perbedaan serta keragaman satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya dapat dibentuk lewat kebudayaan.

“Koefisitas sosial inilah yang terpenting. Makin tahu dengan apa yang ada di sekeliling, kesadaran kita akan identitas bangsa juga semakin kuat. Jika ini terbentuk, dampak ekonomi dan lain-lainnya pasti menyusul,” pungkas Alex.

Pada 2022, Artjog yang diselenggarakan selama dua pekan memberi dampak pada perputaran ekonomi Yogyakarta hingga Rp5 triliun. “Perhitungan perputaran uang itu dari penjualan tiket, kedatangan pengunjung dari luar daerah, akomodasi, makan dan minum, hingga lain-lainnya, termasuk jual beli karya seni rupa,” kata CEO Artjog, Heri Pemad, pada pembukaan Artjog 2023, Jumat (30/6/2023).

Alex Sihar juga menyatakan, dari tahun ke tahun program Dana Indonesiana didesain semerata mungkin. Dengan begitu, penguatan identitas budaya yang berdampak pada ekonomi masyarakat bisa dirasakan sebanyak-banyaknya kalangan, dari Aceh sampai Papua.

“Untuk daftar penerima, datanya ada di laman Dana Indonesiana. Tapi untuk studi dampak, bagaimana program-program Dana Indonesiana memberi dampak sosio-kultural dan ekonomi bagi masyarakat sekitar, studinya baru akan kami lakukan tahun depan,” pungkas Alex.

Cerita dari Tasikmalaya dan Rangkasbitung

Meski belum ada data resmi terkait dampak penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada pemajuan kebudayaan, cerita-cerita dari penerima Dana Indonesiana menunjukkan hal demikian. Pelan tapi pasti, upaya-upaya menggerakkan roda ekonomi lewat kegiatan budaya di berbagai daerah kian masif setelah platform Dana Indonesiana diluncurkan pada 2022.

Kepada reporter tirto.id, Agus Salim, 27 tahun, pegiat budaya asal Langgam Pustaka, Tasikmalaya, menyebut setelah pihaknya mendapatkan fasilitasi Dana Indonesiana dua tahun lalu, kelom geulis, salah satu kerajinan khas Kota Tasik, kini semakin dikenal publik.

Pada 2022, terang Agus, Langgam Pustaka menggelar Festival Literasi Digital dengan sub-acara yang beragam. Mulai dari pelatihan dan pembuatan kelom geulis, hingga seminar soal kelom geulis (di dalamnya dibicarakan soal kelom geulis sebagai objek penulisan karya sastra serta pemanfaatan kelom geulis untuk penulisan karya sastra), dan pemberian penghargaan kepada para pegiat kelom geulis. Acara melibatkan perwakilan masyarakat dari setiap kecamatan di Kota Tasikmalaya serta diikuti seluruh stakeholder pemerintah Kota Tasikmalaya.

“Begitu acara selesai, gaung kelom geulis kedengaran lagi. Demikian informasi yang kami dapat dari para pengrajin kelom geulis,” kata Agus, Senin (19/8/2024).

Komunitas Aing, penerima Dana Indonesiana 2022 lainnya dari Serang, Banten, juga menyinggung dampak ekonomi dari revitalisasi Kacapi Baduy yang mereka lakukan dua tahun lalu.

“Ketika menyelenggarakan Festival Batara Endah Sora, pertunjukan 5 alat musik petik di Museum Multatuli, Rangkasbitung, tentu ada perputaran ekonominya. Tapi, tak kalah penting dari itu adalah Kacapi Buhun, kecapi khas masyarakat Baduy, kembali dikenal oleh publik. Itu berdampak langsung pada penguatan ekonomi pembuat Kacapi Buhun sendiri,” ungkap sastrawan Niduparas Erlang, Ketua Komunitas Aing kepada reporter Tirto.id, Senin (19/8/2024).

Niduparas menerangkan, jangankan di antero Banten, bahkan di Rangkasbitung sendiri Kacapi Buhun nyaris tak dikenal lagi. Pada 2011, tercatat sudah 18 tahun Ki Pantun Ayah Anirah vakum memproduksi dan memainkan Kacapi Buhun.

“Dengan kata lain, karena sudah lama sekali tidak ada yang nanggap pertunjukan Kacapi Buhun, jadi kecapinya sendiri sudah lama tidak diproduksi. Komunitas Aing meminta Ki Pantun membuat kacapi untuk dimainkan di Festival Batara Endah Sora. Setelahnya, beberapa orang memesan Kacapi Buhun buatan Ki Pantun,” sambung Nidu.

Ketika tulisan ini diproses, Kamis (22/8/2024), Kacapi Buhun baru saja ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan di Jakarta. Niduparas menjelaskan, dengan adanya status tersebut kini Pemerintah Kabupaten Lebak maupun Pemerintah Provinsi Banten punya kewajiban untuk melestarikan dan melindungi Kacapi Buhun.

“Ini kabar menggembirakan. Ketika Kabupaten Lebak menyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) pada 2018 lalu, Kacapi Baduy tidak teridentifikasi, dan baru ‘ketemu’ pada 2021. Jadi, PPKD Lebak juga mesti di-update,” sambung Nidu.

Diketahui, Kacapi Buhun berbeda dengan kecapi lain yang beredar di Tatar Sunda. Ukurannya lebih kecil, dawainya pun lebih sedikit. “Ia mirip jentreng (kecapi) Rancakalong, tapi dimainkan secara tunggal, tidak diiringi alat musik lain. Pertunjukan jentreng Rancakalong lazim disebut tarawangsa, karena diiringi alat musik tarawangsa, semacam rebab,” pungkas Nidu.

Selain Festival Batara Endah Sora, Museum Multatuli, Rangkasbitung, juga merupakan venue tetap kegiatan Festival Seni Multatuli. Ubaidillah Muchtar, Kepala Museum Multatuli, menyebut sejak dilaksanakan pada 2018 hingga 2023, jumlah kunjungan selama pelaksanaan kegiatan berada di kisaran 25.000 orang.

“Perputaran ekonominya dapat dilihat dari hunian hotel dan penginapan di Rangkasbitung yang selalu penuh, terisi selama sepekan Festival Seni Multatuli berlangsung,” kata Ubai kepada reporter Tirto.id, Kamis, (14/8/2024).

Ubai menjelaskan, pada 2018, Festival Seni Multatuli dibiayai APBN sebesar 1,6 miliar rupiah, kemudian makin mengecil pada tahun-tahun berikutnya. Sedangkan dari APBD, kegiatan ini tercatat pernah menggunakan anggaran di kisaran 400-600 juta rupiah.

Pada 2023, Festival Seni Multatuli juga didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, lewat platform Kharisma Event Nusantara (KEN). Sebelumnya, di rentang 2018-2022, festival ini berada di bawah platform Indonesiana Festival milik Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, cikal bakal Dana Indonesiana.

“Dalam catatan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lebak, perputaran ekonomi dampak Festival Seni Multatuli mencapai 15-20 miliar rupiah, termasuk pameran UMKM,” pungkas Ubai.

Jika penyelenggaraan kegiatan budaya di satu kabupaten punya dampak ekonomi mencapai belasan hingga puluhan miliar rupiah, bayangkan, apa jadinya jika hal serupa serentak terjadi di seluruh Indonesia?

Dalam webinar Silaturahmi Merdeka Belajar “Kongres Kebudayaan dan Pekan Kebudayaan Nasional dalam Menjaga Tradisi untuk Menyongsong Masa Depan,” Kamis (12/10/2023), Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid menyebut selama ini pihaknya melakukan pengukuran terhadap pembangunan kebudayaan berdasarkan Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK).

Instrumen tersebut adalah satu-satunya alat ukur di dunia yang dapat mengukur capaian pembangunan kebudayaan di suatu wilayah–bukan mengukur nilai budayanya. IPK sendiri dibuat bersama oleh Dirjen Kebudayaan bersama dengan Bappenas dan Badan Pusat Statistik (BPS), terdiri atas 7 (tujuh) dimensi, rinciannya: Dimensi Ekonomi Budaya, Dimensi Pendidikan, Dimensi Ketahanan Sosial Budaya, Dimensi Warisan Budaya, Dimensi Ekspresi Budaya, Dimensi Budaya Literasi, dan Dimensi Gender.

“Ternyata, hasil riset teman-teman menunjukkan, semakin tinggi dimensi ekonomi budaya di dalam indeks itu, ada korelasinya dengan penurunan tingkat kemiskinan,” ungkap Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid. Selain itu, Hilmar menambahkan, semakin tinggi indeks ketahanan sosial budaya di suatu wilayah, semakin tinggi pula indeks kerukunan antarumat beragama.

Keterangan Hilmar menegaskan, jika kebudayaan dikelola dengan sungguh-sungguh, bukan hanya nilai ekonomi yang kita dapat, tapi juga penguatan akan aspek sosio-kultural dan lain-lainnya. Dalam konteks demikian, menempatkan kebudayaan sebagai landasan pembangunan menjadi sangat relevan–jika bukan sangat mendesak. []

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis