Menuju konten utama

Mengapa Jumlah Sperma Pria di Barat Turun hingga 50 Persen?

38 tahun silam pria di negara-negara Barat punya rata-rata 99 juta sperma per milimeter. Kini hanya 47 juta. Mengapa?

Mengapa Jumlah Sperma Pria di Barat Turun hingga 50 Persen?
Ilustrasi sperma. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Kisah tentang kemandulan umat manusia pernah menjadi topik hiburan sejak lama. Alfonso Cuaron, misalnya, mengangkat cerita novel “Children of Men” ke layar lebar pada 2006. Remake serial The Handmaid's Tale juga disiarkan sejak tahun ini. Meski menuai pujian sekaligus kekhawatiran, sebab terasa amat realistis, keduanya tetaplah berangkat dari narasi fiksi (demikian juga mayoritas film atau serial bertema post-apocalypse dari Hollywood).

Kemarin mencuat kabar yang menarik (25/7/2017). Menurut hasil penelitian terbaru yang diunggah di Jurnal Human Reproduction Update, para pria di negara-negara Barat mengalami penurunan jumlah sperma hingga lebih dari separuh jika dibandingkan jumlah sperma yang tercatat pada 40 tahun silam.

Dr. Hagai Levine dari Hebrew University of Jerussalem adalah kepala penelitian yang bekerja sama dengan tim peneliti internasional dari Brazil, Denmark, Israel, Spanyol, dan Amerika Serikat. Total riset yang dianalisis mencapai 185 buah dan dihasilkan sepanjang periode tahun 1973 hingga 2011. Jika ditotal, partisipannya berjumlah 42.935 pria yang berasal dari 50 negara.

Hasilnya ditemukan penurunan sebesar 1,4 persen per tahun atau 52,4 persen sepanjang periode 1973-2011 (38 tahun) pada pria yang tinggal di Amerika Utara, Eropa, Australia, dan Selandia baru. Temuan ini mengagetkan Levine hingga ia awalnya hampir tak percaya. Yang juga menarik, sebagaimana ia ungkapkan kepada CNN, kondisi tersebut secara signifikan tak ditemukan pada para pria yang dinggal di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.

Wacana kemandulan pria kerap menjadi topik yang hangat diperbicangkan selain soal kemandulan yang dialamatkan pada kaum hawa. Riset serupa sudah banyak dipublikasikan, namun banyak yang dibantah maupun dikritisi. Riset Levine dan kawan-kawan patut disimak sebab dinilai sebagai salah satu yang paling komprehensif dari segi sumber.

Salah satu temuan terpenting dalam riset tersebut adalah fakta bahwa penurunan jumlah sperma tak hanya terjadi pada para ayah dan pria dewasa, namun juga pada generasi muda. Anak-anak muda ini diistilahkan sebagai yang “tak terpilih”. Mereka bukan ayah biologis apalagi punya pasangan yang hamil. Jadi kemampuan sperma mereka belum pernah diuji coba secara riil.

Rata-rata jumlah sperma yang dimiliki barisan pria muda yang tercatat pada 1973 yakni sebanyak 99 juta per mililiter. 38 tahun setelahnya, angka rata-ratanya turun menjadi 47 juta per mililiter.

Jumlah ini masih tergolong sehat menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan minimal 15 juta per mililiter, namun WHO pernah menjelaskan bahwa sperma di bawah 40 juta per mililiter akan mulai menimbulkan kendala jika yang bersangkutan ingin menghamili pasangannya. Sementara itu jika sudah di bawah 15 juta per mililiter maka hampir dipastikan yang bersangkutan tak akan bisa menghamili pasangannya.

Beberapa Tanggapan terhadap Riset Levine, dkk

Banyak ikhtiar untuk mengetahui penyebab penurunan jumlah sperma pada pria. Michael Duorson, profesor di Risk Science Center, berkata pada CNN bahwa obesitas bisa jadi akar permasalahan. Namun profesor di University of Cincinnati College of Medicine itu tak mau memastikan sebab -- sayangnya -- riset Levine dkk., memang tak mencangkup pengukuran dan analisis Indeks Massa Tubuh (Body Mass-Index/BMI).

Dourson menyatakan temuan riset Levine dkk., tergolong solid dan bukan berdasarkan peluang saja. Sebagaimana diketahui, terkadang riset tentang kemandulan didasarkan pada peluang kehamilan. Namun temuan Levine dkk., tidak demikian. Secara umum, katanya, perlu penelitian dan eksplorasi lanjut, terutama untuk mengetahui penyebab pasti dan apa yang perlu dipersiapkan umat manusia selanjutnya.

Dr. Harry Fish, profesor klinis urologi di Weill Cornell Medicine, tergolong berada di barisan mereka yang menganggap penemuan tersebut menarik namun masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Terutama pada bagian metodologi pengukuran jumlah sperma yang belum ada standarisasi yang jelas untuk semua negara.

Saat ditanya akar permasalannya, ia menyebutkan ada faktor lingkungan, namun ini pun bisa dibagi antara yang “tak kontroversial” dan "yang kontroversial". Menurut Fish, faktor lingkungan yang bisa diterima yakni perubahan suhu bumi secara ekstrem atau yang dikenal dengan fenomena pemanasan global. Sayang, penjelasan rincinya tak ia sebutkan.

Infografik Krisis Sperma di negara barat

Biang Kerok: Gaya Hidup Tak Sehat

Levine sendiri menyatakan tersangka utamanya sesungguhnya tak jauh-jauh: gaya hidup dan lingkungan hidup yang modern dan dibangun oleh tangan-tangan pria itu sendiri. Ia sendiri mengaku ingin menelitinya dulu agar tak sekedar menebak. Satu yang bisa ia pastikan, efek lingkungan hidup modern kepada kesehatan populasi yang tinggal di dalamnya itu tergolong besar.

“Jumlah sperma telah lama dikaitkan dengan isu lingkungan dan gaya hidup, termasuk paparan bahan kimia sebelum janin dilahirkan, paparan pestisida saat seseorang telah dewasa, kebiasaan merokok, stres, dan kegemukan. Setiap manusia bisa menghindari paparan bahan kimia, berhenti merokok, menjaga berat tubuh dengan diet, juga bisa mengurangi stres yang dialaminya,” kata Levine.

Levine menyiratkan bahwa jika perkara kesehatan sperma terasa menakutkan, maka kunci jawabannya terletak dalam penerapan gaya hidup sehat. Dimulai dari pola tidur, misalnya. Menurut sebuah studi yang dipublikasikan University of China pada pertengahan Mei lalu, diketahui bahwa kurangnya durasi tidur rupanya dapat menurunkan kualitas sperma.

Dalam studi yang dipublikasikan di Medical Science itu para peneliti menemukan bahwa para pria yang tidur enam jam di malam hari jumlah spermanya akan lebih rendah 25 persen dibandingkan dari para pria yang tidur delapan jam sehari. Meski demikian efek yang sama juga ditemukan pada partisipan yang tidur hingga sembilan jam atau lebih.

Dr. Brian Levine, spesialis endokrinologi reproduksi dan kesuburan dari CCRM New York, berkata pada New York Post bahwa gaya hidup pada 2017 tak lagi sama dengan gaya hidup pada 1967. Ada banyak faktor yang membuat seorang pria malas bergerak dan memilih kegiatan-kegiatan pasif seperti menonton serial televisi tanpa henti.

“Gaya hidup kekinian lebih tak beraturan,” katanya.

Sedangkan tubuh manusia sesungguhnya perlu bergerak minimal 150 menit per minggu, demikian kata spesialis kesuburan lain, Dr. Jamin Brahmbhatt dari Florida. Jika tidak, jumlah sperma pada pria akan menurun.

Penurunan jumlah sperma iini ia saksikan sendiri terjadi pada para pasiennya selama empat tahun membuka praktik. Tak bergerak sama dengan kegemukan. Kegemukan sama dengan potensi ketidaksuburan kian meningkat. Sesederhana itu saja.

Baca juga artikel terkait SPERMA atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Zen RS