Menuju konten utama
Kultum Quraish Shihab

Mengapa Islam Amat Mengedepankan Sopan Santun?

Bahkan tersenyum kepada orang-orang yang berperilaku buruk pun dianjurkan selama dimaknai untuk mudarah.

tirto.id - Dalam dunia pergaulan dikenal “basa-basi” yang bisa (saja) dianggap sebagai bagian dari adab sopan santun. Bahkan dalam ajaran Islam pun dikenal apa yang dinamai mudarah yaitu bersikap lemah lembut, menampilkan senyum dan berbicara halus terhadap seseorang yang sikapnya buruk. Mudarah ini ditampilkan oleh seseorang yang sebenarnya merasa tidak terlalu simpatik kepada orang yang sedang dihadapinya.

Diriwayatkan bahwa suatu ketika ada seseorang yang meminta izin menemui Nabi SAW. Beliau mengizinkannya. Sebelumnya, Nabi menceritakan perangai buruk orang tersebut kepada sang istri, Aisyah RA. Setelah yang bersangkutan pergi, Aisyah bertanya: ”Wahai Nabi! Engkau tadi (di hadapanku) telah berucap (buruk) menyangkut perangai orang itu, tetapi engkau tetap berlemah lembut terhadapnya.“

Nabi menjawab: “Sesungguhnya orang yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah adalah siapa yang ditinggalkan oleh manusia karena ingin menjauhi keburukannya.” (HR.Muslim)

Sangat populer ungkapan yang oleh sementara ulama dinisbahkan kepada Nabi SAW: “Sungguh, kami menampakkan gigi (tersenyum) di hadapan sekelompok orang, padahal hati kami mengutuk mereka.”

Ucapan ini dinisbahkan kepada sahabat Nabi, Abu ad-Darda’. Pakar hadis kenamaan, Imam Bukhari, termasuk salah seorang yang menisbahkannya kepada sahabat mulia itu (bukan kepada Rasul). Kendati demikian, kandungan maknanya dapat diterima.

Dari sini pula dapat dimengerti mengapa al-Qur’an menjadikan salah satu ciri hamba-hamba Allah yang terpuji adalah mengucapkan salam perpisahan demi kedamaian pasif terhadap orang-orang yang berlaku picik. Bacalah QS. Al-Furqan ayat 63: "Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan."

Hal itu dikarenakan melayani orang picik dapat melahirkan kepicikan baru yang berkesinambungan, sedangkan mengabaikannya (baca: tidak meladeninya) dapat mematikan benih keburukan yang bersinambung.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/05/27/arrahmanarrahim.JPG" width="860" alt="Infografik Seri Al asma Al Husna" /

Perlu dicatat bahwa “basa-basi” atau mudarah yang ditampilkan Nabi di atas berbeda dengan mudahanah yang dilarang oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.

Kata mudarah secara umum dimaknai sebagai upaya meraih manfaat dunia atau akhirat atau keduanya dengan basa-basi. Sedangkan mudahanah adalah upaya meraih manfaat duniawi dengan mengorbankan agama atau manfaat akhirat. Kalau Anda menutup mata, maka itu diperkenankan dan itulah mudarah. Tetapi jika Anda menutup mata karena kepentingan duniawi semata dan mengesankan menyetujui sikap salah/keliru pihak lain, maka inilah yang telarang.

Basa-basi yang dibenarkan adalah bersikap lemah lembut pada pihak lain dengan harapan lahirnya simpati sehingga yang dihadapi dapat menerima kebenaran tak ubahnya seperti dokter yang melayani pasien yang menderita luka borok yang terinfeksi. Sang dokter dengan perlahan dan lemah lembut membersihkannya dan memberinya obat sehingga pada akhirnya yang bersangkutan sembuh. Sedang yang mudahanah adalah dokter yang mengahadapi pasien serupa sambil berkata: “Ini ringan, tak mengapa dan tak perlu diobati. Tutupi saja agar boroknya tidak terlihat.” Demikian lebih kurang penjelasan Ibnu al-Qayyim.

Hal-hal di atas memperlihatkan betapa kedudukan akhlak/sopan santun demikian tinggi dan amat ditekankan oleh Islam. Bahkan Islam sendiri adalah akhlak yang luhur. Penekanan ini, antara lain, karena dengan akhlak/sopan santun akan tercipta keharmonisan hubungan dan kedamaian di bumi. Damai adalah dambaan setiap makhluk.

Dengan sopan santun, permusuhan dapat dihindari, bahkan permusuhan dapat menjadi pertemanan yang akrab (QS. Fushshilat ayat 34). Di sisi lain, sopan santunlah yang lebih mampu meraih simpati dan menciptakan hubungan baik dibandingkan dengan apa pun selainnya, termasuk materi.

Dalam pendidikan di pesantren, akhlak dan sopan santun bahkan menjadi pondasi pendidikan. Sebelum belajar ilmu-ilmu agama yang lebih rumit, santri akan dididik lebih dulu mengenai adab dan sopan santun. Selengkapnya, baca:

Kuli Bangunan yang Menjadi Kiai.

Diriwayatkan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Kalian tidak dapat menjangkau semua orang dengan harta benda kalian, tapi mereka dapat terjangkau oleh kalian dengan wajah yang cerah dan akhlak yang luhur.” (HR. Al-Bazzar dan lain-lain)

Sopan santun adalah yang paling banyak dilihat orang. Tolok ukurnya pun dikenal luas walau oleh orang yang tidak terpelajar sekali pun. Akidah kepercayaan tidak tampak karena tempatnya di dalam hati, ibadah pun tidak selalu dapat ditampilkan. Salat hanya wajib lima kali sehari dan tidak harus di depan umum. Puasa adalah rahasia antara yang berpuasa dengan Tuhan. Bisa jadi seseorang tidak berpuasa, tapi diduga berpuasa. Namun, ciri utama sopan santun adalah harus tampak ke permukaan dan itulah yang dapat menjadi indikator utama tentang baik buruknya agama yang dianut.

Masuknya Islam ke Indonesia, bahkan Asia tenggara, adalah bukti konkret tentang hal di atas. Para pedagang yang datang dari Timur Tengah/luar Nusantara tidak mampu menggunakan bahasa lisan penduduk setempat, tetapi mereka berhasil menyebarkan Islam dengan bahasa sopan santun dan akhlak yang luhur.

Sebaliknya dewasa ini, kendati banyak di antara penganjur agama Islam yang dapat berbahasa dengan bahasa setempat, tetapi penampilan keras dan teror yang dilakukan oleh sementara orang yang mengaku Muslim atau yang mengatas namakan Islam telah mencoreng wajah Islam dan menjauhkan orang dari agama ini.

Oleh karena itu, sekali lagi, sopan santun sangat dibutuhkan, bukan saja untuk memperkenalkan Islam, tetapi lebih-lebih untuk mewujudkan hubungan harmonis dan kedamaian di persada bumi ini.

========

*) Naskah dinukil dari buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak yang diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati. Pembaca bisa mendapatkan karya-karya Prof. Quraish Shihab melalui website penerbit.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/05/27/KultumQuraishShihab.jpg" width="860" alt="Kultum Quraish Shihab" /

Baca juga artikel terkait KULTUM QURAISH SHIHAB atau tulisan lainnya dari M. Quraish Shihab

tirto.id - Pendidikan
Reporter: M. Quraish Shihab
Penulis: M. Quraish Shihab
Editor: Zen RS
-->